Mohon tunggu...
Suara Merdesa
Suara Merdesa Mohon Tunggu... -

Mengabdi desa, Menyuarakan yang tak terungkap.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengungkap Celah 'Permainan' Kemendes Dalam Seleksi Pendamping Desa 2016 (Bagian 1)

22 Mei 2016   18:42 Diperbarui: 24 Mei 2016   18:54 14432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa kesempatan, Kementerian Desa memang menegaskan bahwa pendamping desa dari eks PNPM memiliki kesempatan lebih besar dalam seleksi tahap 2 karena akan ada pembobotan atas pengalaman melalui evaluasi kualifikasi pelamar.

Kemendes mengesankan tahapan evaluasi kualifikasi pelamar seakan-akan merupakan penilaian portofolio pelamar. Semakin banyak pengalamanya maka akan semakin tinggi nilainya, demikian kira-kira apa yang dimaksudkan kemendes.

Sayangnya asumsi itu salah besar. kemendes Masih seperti biasa, apa yang dinyatakan di depan publik dalam berbagai media tidak pernah sejalan dengan faktanya. Termasuk soal pembobotan pengalaman pelamar seleksi pendamping Desa 2016.

Dalam memetakan kualifikasi pengalaman pemberdayaan, kemendes memetakan hanya dalam 2 grade. Kita akan ambil contoh pelamar dari pendidikan S1 untuk lowongan pendamping Desa pemberdayaan maupun teknis (PDP/PDTI) karena ini kota terbesar yang diperebutkan.

Grade 1 dengan dengan nilai 10 poin untuk pelamar S1 yang memiliki pengalaman 2 sampai 10 tahun. Grade 2 dengan nilai 15 poin untuk pelamar S1 yang memiliki pengalaman pemberdayaan di atas 10 tahun.

Tolok ukur penilaian kualifikasi bidang pengalaman sengaja disetting untuk memberi peluang yang sama kepada para pelamar yang minim pengalaman. Pengalaman 2 tahun nilainya sama dengan mereka yang berpengalaman 5 hingga 10 tahun. Tolok ukur ini tentu mengingkari akal sehat.

Ibaratnya mahasiswa semester akhir dianggap punya pemahaman yang sama dengan mahasiswa semester 2 yang baru belajar mengenal dunia kampus. Seakan di Kemendes tidak ada profesor yang paham Bagaimana membuat tolok ukur penilaian portofolio yang objektif.

Jika mau jujur dan objektif kemendes sebenarnya bisa membuat tolok ukur yang lebih proporsional. Misalnya dengan memberikan poin penilaian yang sama dengan jumlah tahun pengalaman peserta. Peserta dengan pengalaman 2 tahun mendapat 2 poin, pengalaman 3 tahun dinilai 3 poin dan begitu seterusnya. Tapi kenapa ini tidak dilakukan. Ada apa dibalik semua ini.

Dengan tolok ukur pembobotan pengalaman pemberdayaan yang mengingkari akal sehat, tiada yang dirugikan kecuali mereka yang telah berpengalaman diatas 2 tahun. Buat apa pengalaman bertahun-tahun Kalau akhirnya dinilai sama dengan mereka yang hanya pengalaman 2 tahun.

[caption caption="Juknis hal 3"]

[/caption]

3. Tidak Ada Klasifikasi Pengalaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun