[caption caption="Alur seleksi pendamping desa 2016"][/caption]
Namanya juga penguasa. Apapun bisa dilakukan demi melindungi kepentingannya. Begitu juga penguasa di Kementerian Desa PDTT. Perlawanan antara Kemendes versus Pendamping Desa dari Eks PNPM yang didukung sebagian besar pemerintah di daaerah telah mencoreng citra Menteri Desa dan berdampak pada nama baik partainya.
Sudah kepalang basah, lebih baik mandi sekalian. Mengalah kepada arus kontra seperti mencoreng arang dimuka sendiri. Maka mending serang terus sampai habis semua musuh dan para penggunggu. Begitulah kalimat yang bisa menggambarkan peraseteruan antara pihak Kemendes melawan 12.000 pendamping desa Eks PNPM.
Meski penolakan bertubi-tubi datang dari berbagai daerah, namun keteguhan kemendes tak tergoyahkan. Rencana seleksi harus tetap jalan, sembari meyakinkan publik bahwa seleksi tahun ini akan lebih baik dan transparan. Terang benderang terang bulan purnama.
Namun Benarkah apa yang dikatakan kemendes itu. Benarkah seleksi pendamping desa tahap 2 tahun 2016 ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya yang menghasilkan kader-kader partai dan pekerja sampingan? Ataukah justru seleksi tahap dua ini menjadi etape akhir dari skenario bumi hangus pendamping desa Eks PNPM? Mari kita lihat.
Data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mencatat, kuota pendamping desa tahun ini dibuka bagi 19.096 orang. Pendamping ini terdiri dari 1.600 orang untuk kualifikasi tenaga ahli yang saat ini ditempati TA dari Eks PNPM, pendamping desa tingkat kecamatan 10.893 orang (saat ini juga ditempati Pendamping desa dari Eks PNPM), serta pendamping lokal desa sebamyak 6.603 orang.
[caption caption="Juknis perekrutan Hal 1"]
Sesuai Juknis Rekrutmen yang dikeluarkan Kemendes pada 3 Mei 2016, seleksi pendamping desa tahun ini dilaksanakan dalam 2 tahap. Tahap pertama tes tulis dan tahap kedua evaluasi kualifikasi. Bersamaan dengan tes tulis, juga dilakukan psikotes.
Bobot nilai tes tulis ditentukan maksimal 50 dengan passing grade minimal 35. Namun meski memenuhi passing grade, jika nilai psikotes dibawah 40, dipastikan tetap gugur dan tidak dapat mengikuti tahapan selanjutnya.
Tahapan kedua setelah lolos tes tulis dan psikotes, peserta memasuki tahap evaluasi kualifikasi. Bobot nilai dalam tahap ini juga 50. Pada tahap ini, evaluasi dibedakan dalam dua hal. Kualifikasi pendidikan dan pengalaman pemberdayaan. Lebih jelasnya silahkan lihat bagan.
[caption caption="Juknis hal 2"]
Hingga hari terakhir penutupan pendaftaraan, 16 Mei 2016, total pelamar pendamping desa sebanyak 74000 orang pelamar. Namun sumber yang beredar, pada saat koordinasi di kantor kemendes bersama 5 Satker se Jawa tanggal 17 Mei 2016, disebutkan jumlah pelamar mencapai hingga 140 ribu.
Dengan kuota yang dibutuhkan, maka para pelamar yang jumlahnya 140.000 hanya memiliki peluang 5% untuk bisa lolos menjadi pendamping desa. Itu jika persaingan dilaksanakan secara sportif. Masing-masing pihak mentaati prosedur yang ada. Tidak ada yang melaju dijalan pintas.
Namun jika cara-cara kotor masih dipraktikkan oleh pihak-pihak tertentu sebagaimana pengalaman seleksi pendamping Desa 2015, makan peluang 5% di atas akan makin mengecil bahkan tidak ada peluang sama sekali.
Jika merujuk pada fakta lapangan hari ini, makan cara-cara instan dimungkinkan masih akan ditempuh oleh kelompok yang memiliki dukuangan kuat di kementerian. Tak peduli meski seleksi pendamping desa kali ini mendapat sorotan penuh dari berbagai pihak. 'Orang dalam' tetap tidak kurang akal. Berikut beberapa potensi yang bisa menjadi ruang permainan dalam seleksi pendamping desa 2016.
1. Kebocoran Soal Seleksi Tes Tulis dan Psikotes
Bukan rahasia lagi bahwa pada seleksi pendamping desa tahun 2015 lalu banyak kebocoran soal dan jawaban seleksi tes tulis. Soal-soal tes yang diduga berasal dari oknum orang dalam kemendes menyebar secara massif melalui gerbong partai yang memiliki kedekatan dengan sang menteri.
Saking masifnya, kebocoran soal dan jawaban juga menyebar keluar gerbong kepentingan yang diharapkan. Tidak kurang akal, demi menyelamatkan kepentingan kelompoknya, soal dan jawaban pun diubah dan dibocorkan kembali. Menurut salah satu sumber yang menerima bocoran, hingga detik akhir menjelang tes, ditengarai terjadi perubahan sebanyak 3 kali atas soal dan jawaban seleksi yang dibocorkan.
Atas praktek kotor tersebut, banyak pelamar yang sebenarnya lebih berkompetan dan berpengalaman gugur dikalahkan oleh para pelamar yang memiliki afiliasi politik tertentu. (Baca: Fakta Keterlibatan Kader PKB dalam Seleksi Pendamping Desa 2015 )
Jika mengaca pada proses seleksi pendamping desa tahun 2015 lalu, maka kebocoran soal berikut jawabannya pada seleksi tahun ini juga sangat besar kemungkinannya. Penyusunan dan distribusi soal menjadi kewenangan penuh satker Pusat melalui panitia seleksi pendamping desa.
Keterlibatan perguruan tinggi di masing-masing provinsi hanya pada saat pelaksanaan tes tulis di lapangan. Mereka tidak terlibat dalam proses penyusunan soal maupun pengawasan proses distribusinya. Tanpa pengawasan pihak independen, siapa yang menjamin bahwa soal-soal tersebut tidak akan bocor?
2. Pembobotan pengalaman pemberdayaan yang asal-asalan.
Dalam beberapa kesempatan, Kementerian Desa memang menegaskan bahwa pendamping desa dari eks PNPM memiliki kesempatan lebih besar dalam seleksi tahap 2 karena akan ada pembobotan atas pengalaman melalui evaluasi kualifikasi pelamar.
Kemendes mengesankan tahapan evaluasi kualifikasi pelamar seakan-akan merupakan penilaian portofolio pelamar. Semakin banyak pengalamanya maka akan semakin tinggi nilainya, demikian kira-kira apa yang dimaksudkan kemendes.
Sayangnya asumsi itu salah besar. kemendes Masih seperti biasa, apa yang dinyatakan di depan publik dalam berbagai media tidak pernah sejalan dengan faktanya. Termasuk soal pembobotan pengalaman pelamar seleksi pendamping Desa 2016.
Dalam memetakan kualifikasi pengalaman pemberdayaan, kemendes memetakan hanya dalam 2 grade. Kita akan ambil contoh pelamar dari pendidikan S1 untuk lowongan pendamping Desa pemberdayaan maupun teknis (PDP/PDTI) karena ini kota terbesar yang diperebutkan.
Grade 1 dengan dengan nilai 10 poin untuk pelamar S1 yang memiliki pengalaman 2 sampai 10 tahun. Grade 2 dengan nilai 15 poin untuk pelamar S1 yang memiliki pengalaman pemberdayaan di atas 10 tahun.
Tolok ukur penilaian kualifikasi bidang pengalaman sengaja disetting untuk memberi peluang yang sama kepada para pelamar yang minim pengalaman. Pengalaman 2 tahun nilainya sama dengan mereka yang berpengalaman 5 hingga 10 tahun. Tolok ukur ini tentu mengingkari akal sehat.
Ibaratnya mahasiswa semester akhir dianggap punya pemahaman yang sama dengan mahasiswa semester 2 yang baru belajar mengenal dunia kampus. Seakan di Kemendes tidak ada profesor yang paham Bagaimana membuat tolok ukur penilaian portofolio yang objektif.
Jika mau jujur dan objektif kemendes sebenarnya bisa membuat tolok ukur yang lebih proporsional. Misalnya dengan memberikan poin penilaian yang sama dengan jumlah tahun pengalaman peserta. Peserta dengan pengalaman 2 tahun mendapat 2 poin, pengalaman 3 tahun dinilai 3 poin dan begitu seterusnya. Tapi kenapa ini tidak dilakukan. Ada apa dibalik semua ini.
Dengan tolok ukur pembobotan pengalaman pemberdayaan yang mengingkari akal sehat, tiada yang dirugikan kecuali mereka yang telah berpengalaman diatas 2 tahun. Buat apa pengalaman bertahun-tahun Kalau akhirnya dinilai sama dengan mereka yang hanya pengalaman 2 tahun.
[caption caption="Juknis hal 3"]
3. Tidak Ada Klasifikasi Pengalaman.
Disamping itu, juknis perekrutan pendamping Desa tahun 2016 juga tidak merinci derajat pengalaman pendampingan peserta, misalnya pengalaman di level Desa, Kecamatan, Kabupaten dan seterusnya. Akibatnya Tim 7 / Tim Seleksi tidak akan mampu berbuat banyak kecuali tetap memberikan nilai yang sama, pada saat ada 2 peserta yang sama-sama memiliki pengalaman 5 tahun misalnya, namun yang satu pengalaman pendampingan di level Kecamatan sebagai fasilitator Kecamatan (FK) PNPM dan satunya lagi pengalaman pendampingan di level desa sebagai pengurus LPMDesa, BPD, PKK, Pengurus BUmDesa atau mungkin menjadi pengurus Lembaga Kemasyarakatan lainnya di tingkat desa.
Atas lemahnya tolok ukur penilaian pengalaman evaluasi kualifikasi peserta, maka yang dirugikan jelas mereka yang merasa telah memiliki banyak pengalaman. Dan itu adalah pendamping desa yang per 31 Mei 2016 besuk diberhentikan oleh kemendes.
Tidak salah jika kemudian ada yang menganggap bahwa juknis ini sengaja dibuat sebagai skenario bumi hangus eks PNPM yang diatas Kertas lebih banyak pengalaman. Setidaknya eks PNPM memiliki pengalaman 5 tahun pasca perluasan besar-besaran, lokasi PNPM terakhir di 2009. Jika mereka terlibat di PNPM sebelum perluasan lokasi di 2009 maka pengalamannya pasti lebih lama lagi.
Ironisnya 5 tahun pengalaman di pemberdayaan program pemerintah, nilai sama dengan mereka yang hanya berpengalaman menjadi pengurus BPD, LPMDesa, PKK paupun Kartar Desa dengan cukup modal legalitas keterangan dari kepala desa. Atau bahkan pengalaman pendampingan yang direferensikan dari LSM yang tidak jelas program kerjanya terkait pemberdayaan desa. (Bersambung)
 [caption caption="Juknis Hal 4"]
 Baca Lanjutannya: Mengungkap Celah 'Permainan' Kemendes Dalam Seleksi Pendamping Desa 2016 (Bagian 2)
Desa Makin Terpuruk Di Tangan Menteri Desa Tanpa Pemahaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H