Mohon tunggu...
Suara Merdesa
Suara Merdesa Mohon Tunggu... -

Mengabdi desa, Menyuarakan yang tak terungkap.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Buset, Begini Cara Kemendes Habisi 12.000 Pendamping Desa Berpengalaman

10 Mei 2016   21:07 Diperbarui: 14 Mei 2016   15:24 3045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Aksi Nasional 12.000 pendamping desa, 12 April 2016"][/caption]Kemendes telah resmi membuka pendaftaran pendamping desa 2016 secara online dan terpusat sejak Senin, 3 Mei 2016. Ada 16 ribu kuota yang dibuka, terdiri dari PLD, PD dan Tenaga Ahli. Kuota terbesar yang dibuka dalam seleksi ini adalah mengisi posisi 12 ribu pendamping desa yang saat ini ditempati pendamping peralihan Kemendagri yang sering disebut sebagai Eks PNPM.

Mungkin publik tidak banyak tahu bagaimana sengitnya benturan antara Kemendes versus Pendamping Desa. Wajar saja karena media mainstrem lebih banyak memberitakan suara dari Kemendes dan para pendukungnya. Sedangkan suara dari pendamping desa serta para pendukungnya tak pernah sebesar kenyataannya.

Tetapi yang pasti, upaya memuluskan kebijakan Kemendes untuk menghabisi pendamping desa berpengalaman ini telah berlangaung cukup lama. Melalui politik bumi hangus, Kemendes mengawalinya dengan membenturkan PNPM dengan UU Desa. Pihak-pihak yang memiliki kepentingan sama terus berjejaring secara konspiratif meski dengan menebar kebohongan dan pernyataan-pernyataan ngawur.

Pernyataan ngawur pertama disampaikan oleh Ketua Gerakan Indoneaia Bersih (GIB), Adhie Massardi. Dalam keterangannya , Adhie mengatakan bahwa PNPM adalah program yang sengaja didesain sejak awal untuk bancaan.

“PNPM didesain untuk bancakan memang dari awal. Kalau bisa dibilang, ini sengaja dibuat tidak ada mekanisme kontrol, sehingga bancakan itu terjadi, korupsi di segala level menjadi mulus,” ujar Adhi sebagaimana dikuti katakini.com.

Gerah atas statement Adhie, Aktivis Partnership for Governance Reforms, Ade Siti Barokah, yang saat saat ini sedang menempuh study S3 di The International Institute of Social Studies (ISS) - Erasmus Rotterdam University, Belanda, angkat bicara. Ade Barokah menganggap Massardi adalah wartawan yang lupa kode etik dan prinsip cover both side, sambil bercerita pengalaman panjangnya meneliti PNPM.

Mantan Jubir Gus Dur itu juga menuding ada 12 T asset dana bergulir hasil PNPM yang terbengkalai. "Saya tidak kaget kalau sekarang aset PNPM Rp 12 triliun dan menjadi terbengkalai. Mau tutup buku begitu saja, tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Ini semua karena memang sejak awal didesain begitu,” ujarnya.

Sayangnya statemen ini justru menampar muka koleganya sendiri yang saat ini sedang menjabat Menteri Desa. Kemendes membiarkan asset dana bergulir dikelola tanpa status hukum yang jelas. Para pengelolannya pun ketir-ketir dikriminalisasi.

"Kami dilapangan bingung harus mengambil langkah seperti apa, karena regulasi yang kami harapkan dari Kemendes tak kunjung terbit, sedangkan dari sisi hukum kegiatan kita ini masih ilegal setelah ditinggal PNPM" keluh Bandi, pengelola dana bergulir PNPM dari Jatikalen Nganjuk.

Dilain pihak, pembiaran asset hasil PNPM itu juga menyalahi rekomendasi KPK yang telah perekomendasikan kepada Kemendes yang kini dipimpin Marwan Jafar untuk segera memuntaskan.

"Saya deadline sampai Desember. Kalau tidak diselesaikan akan saya lapor ke presiden. Jangan-jangan sudah tidak ada tuh duit," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (16/3/2016) sebagaimana dikutip detik.com

Pernyataan membabi buta dari tokoh nasional sekelas Adhie Masaardi ini tentu mengundang kekecewaan para fans yang selama ini mengikuti pemikirannya yang kritis terhadap pemerintah. Pada saat menjadi Jubir Gusdur saja dia masih sempat mengkritis Gusdur, tapi kenapa demi membela kebijakan diakriminatif Marwan Jafar, dia mengorbankan idealismenya.

Pasca Adhie, muncul statemen serupa dari Kepala Bapemas Ponorogo bahwa nilai PNPM beda dengan semangat UU Desa. Menurutnya pendekatan di PNPM sesuai apa kata pendamping.

”PNPM merupakan program dari pusat dan desa terikat oleh aturan-aturan yang ada di PTO (petunjuk teknis operasional) sehingga desa harus ikut pendamping" kata Susilo sebagaimana di kutip koran-sindo.com, (21/3).

Pernyataan menyimpang ini menandakan Najib Susilo tidak paham tupoksinya selama memimpin Satker PNPM Kabupaten Ponorogo, kecuali lontaran itu sengaja demi kepentingan tertentu. Bagaimana mungkin dia bisa bilang di PNPM desa harus ikut pendamping, sedangkan dia tahu sendiri bahwa musyawarah desa menjadi forum pengambilan keputusan tertinggi di PNPM.

Dalam petunjuk teknis disebutkan bahwa pengambilan keputusan tertinggi ada di forum Musdes desangkan ditingkat kecamatan ada di Forum Musyawarah Antar Desa (MAD). Konsep inilah yang kemudian hari menginspirasi UU Desa hampir disebagian besar Pasalmya. Konsep Musdes kemudian pertajam dengan Permendesa No. 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa.

Siapa sebenarnya Kepala Bapemas Ponorogo Ini? Najib Susilo ternyata birokrat yang lekat dengan politik praktis. Dikutip dari lensaindonesia.com, ia pernah menjadi terlapor kasus perbuatan tidak menyenangkan terhadap salah satu partai di Ponorogo.

Berbeda dengan pernyataan Najib, inisiator UU Desa, Budiman Sudjatmiko menegaskan bahwa PNPM merupakan tempat belajar bagi siapapun, bahkan kaum yang terpinggirkan. Dengan semangat pemberdayaan dari PNPM, ia bersama Komisi II membuat UU Desa agar semangat program itu terus berjalan. Menurutnya UU Desa merupakan PNPM plus. Hanya mereka yang tidak paham sejarah saja yang membenturkan PNPM dengan UU Desa.

"Plus karena dari segi besaran anggaran, berkesinambungan karena Undang Undangnya harus dijalankan siapapun yang berkuasa," ujarnya sebagaimana dikutip katadata.co.id

Diluar mereka, muncul beragam LSM yang sok peduli desa namun statemennya hanya berkutat soal pendamping desa dengan mengkambinghitamkan PNPM. Budhis Utami, Wakil Ketua Pelaksana Harian Institusi Kapal Perempuan membuat kesimpulan yang membabibuta bahwa Pendamping PNPM tidak melakukan aspek pemberdayaan.

"Contohnya saja program PKH (Program Keluarga Harapan), yang seharusnya ada aspek pemberdayaan keluarga. Ini tidak ada sama sekali, yang mereka lakukan hanya sebatas fungsi administratif,” tandasnya.

Selanjutnya, LSM Kapal Perempuan dan beberapa LSM yang berstatemen sama kemudian terbukti memiliki hubungan erat dengan Kemendes. Melalui Pokja Masyarakat Sipil, Kemendes mengikat LSM-LSM ini sebagai mitra strategis yanf berperan penting sebagai corong Kemendes.

Lebih lanjut, Kemendes diduga memprakarsai kemunculan Ormas abal-abal yang mencatut rakyat Gorontalo guna mendukung keputusan kemendes yang mendiskriminasi pendamping desa. Ormas yang mengatasnamakan Jaringan Organisasi Untuk Kebangkitan Desa ini berkirim surat kepada Presiden Jokowi untuk mendukung keputusan Kemendes.

Ormas yang diketuai Yuyun Antu ini menuduh pendampung desa dari pelimpahan Kemendagri telah melakukan pemaksaan kepada aparat Desa untuk melakukan Desain dan RAB Kegiatan Fisik Di Desa hanya karena nilai materi. Sayangnya tuduhan itu tidak disertai bukti sama sekali.

Menanggapi pernyataan Yuyun, Tokoh lokal Gorontalo dari Kabupaten Boalemo, Apan Kamzah bereaksi keras. Apan menuding Yuyun Antu telah melakukan fitnah dan kebohongan publik. "Justru yang cakap mendampingi desa itu teman-teman pendamping dari eks PNPM. Jadi jangan suka memfitnah" katanya.

Kemunculan ormas yang diketuai Yuyun juga membuat Apan kaget. Pasalnya, ormas yang diketuainya itu sebenarnya tidak pernah ada di Gorontalo. "Ini ormas dari mana kok tiba-tiba mengklaim atas nama rakyat Gorontalo? Ini ormas ilegal. Jadi ga usah didengar" tambahnya.

Belakangan statemen Yuyun Antu ternyata tidak lepas dari kiprahnya di Kabupaten Boalemo yang dikenal memiliki kedekatan dengan partai tertentu.

"Setau saya Yuyun Antu itu sekretaris Ansor disini. Dia dekat dengan orang-orang PKB. Jadi kalo dia dukung Kemendes yang dipimpin orang PKB, itu wajar. Tapi ya jangan bawa-bawa rakyat gorontalo dong. Ini cara-cara culas" tegas Apan.

Selain giat komentar di media masa, mereka ini juga aktif di group-group jejaring sosial Facebook yang dihuni para pendamping desa. Sayangnya saat ditelusuri profil dan aktifitasnya di facebook, nampak bahwa mereka juga memiliki afiliasi politis yang tidak jauh dari sang menteri yang dibelanya. Bahkan, tidak sedikit akun anonim yang diduga dioperatori oleh oknum-oknum seknas pendamping desa yang sengaja dipakai untuk membuly pergerakan para pendamping desa.

Disamping jejaring konspiratif dari pihak eksternal, internal elit Kemendes juga terus menebar provokasi dan keputusan-keputusan kolutif. Aroma kolutif dari internal Kemendes, pertama kali tercium saat Dirjen PPMD, Profesor Erani Yustika mencabut tahapan Focus Group Discoussion (FGD) dan pelatihan dalam seleksi aktif pendamping desa tahun 2015.

Melalui surat Nomor : 184/DPPMD.1/Dit.V/VII/2015 Tanggal : 15 Juli 2015, Kemendes mencabut panduan seleksi yang diluncurkan 3 bulan sebelumnya, tnggal 27 Maret 2015 pada saat Dirjen PPMD masih dijabat Suprayoga Hadi.

Bagi yang terbiasa dengan dunia pemberdayaan, seleksi FGD menjadi cara paling obyektif dalam mengukur kapasitas seseorang. Peserta dikelompokkan dalam 10-15 orang dan masing-masing akan pempresentasikan pemahamannya tentang tema yang dipilih. Setelah presentasi, peserta lain akan bertanya dan memberikan tanggapan. Dengan cara ini, peserta yang tidak menguasai materi dan tidak terbiasa berbicara di depan forum, dipastikan akan kelabakan dan otomatis gugur. FGD juga akan menseleksi calon yang tidak berpengalaman. Kuat diduga, penghapusan tahapan ini dilakukan untuk mengamankan calon-calon pendamping desa yang minim kapasitas dan pengalaman.

Erani yang dikenal tokoh akademisi fenomenal, jebolan S3 University of Göttingen Jerman ini justru menjadi gagal paham dengan konsep-konsep pemberdayaan masyarakat. Diberbagai media, Dirjen PPMD ini terus berusaha membenturkan PNPM dengan UU Desa dengan argumentasi yang serampangan.

Erani yang dulu begitu akademis itu berubah menjadi sangat politis. Sebagai leading sektor program pendampingan desa, tak pernah sekalipun ia bicara capaian pendampingan, melainkan hanya sibuk mencari alasan pembenar atas keputusan-keputusannya yang ubsurd dan jauh dari profesional.

Berikutnya keputusan kedua Erani juga tidak kalah bobroknya. Pada saat pendamping desa sedang fokus mendampingi desa utamanya jelang penyaluran Dana Desa Tahap I, Kemendes justru membuyarkan konsentrasi Pendamping Desa dengan mengeluarkan surat yang mendiskriminasi pendampingan desa.

Melalui logika dikotomik, Kemendes mencari-cari perbedaan pendamping desa yang kemudian dijadikan dasar dalam memperlakukan berbeda. Ada pendamping desa yang harus diputus kontrak karena dianggap belum kengikuti seleksi terbuka dan ada pendamping desa yang akan terus dilanjutkan karena telah mengikuti seleksi. Jika mereka yang dianggap belum mengikuti seleksi terbuka itu pendamping ilegal, kenapa Kemendes mengontrak mereka sejak 9 bulan terakhir ini?

Kemendes seakan lupa dengan surat tertanggal 31 Desember 2015 yang secara tegas menetapkan alih status fasilitator PNPM-MPd menjadi pendamping desa. Kemendes lupa bahwa 12 ribu orang ini juga telah dilauncing sebagai pendamping desa dalam seremoni yang gegap gempita pada tanggal 2 Juli 2015. Kemendes juga lupa bahwa yang memberikan pelatihan pembekalan dan pratugas kepada seluruh pendampung desa hasil rekrutmen 2015 adalah para pendamping desa peralihan Kemendagri ini.

Kemendes lupa bahwa para pendamping desa yang ingin disingkirkan ini dilimpahkan dari Kemendagri ke Kementerian Desa, bersamaan dengan pelimpahan program dan pendanaannya, melalui berita acara serah terima (BAST) yang legal.

Sebelum Kemendes mengambil keputusan, desakan dan
Tidak cukup sampai disitu, Menteri Desa, Marwan Jafar dan Dirjen PPMD, Erani Yustika menuduh bahwa Pendamping desa dari Eks PNPM meminta dikontrak hingga 5 tahun. Tuduhan permintaan Eks PNPM itu pertama kali disampaikan dalam konferensi pers sehari jelang aksi nasional BNPD.  

"Justru kami yang memberikan pekerjaan kepada mereka (Eks PNPM). Tiba-tiba mereka ini ngotot minta diperpanjang lagi selama lima tahun tanpa diseleksi. Ini namanya sudah anarkis, mau-maunya sendiri," tuduh Menteri Marwan dalam konferensi persnya di kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kalibata, Minggu, (10/4). 

Tuduhan Eks PNPM tuntut kontrak 5 tahun terus diylang-ulang dalam berbagai kesempatan dan digoreng secara konspiratif untuk merusak kredibilitas pendamping desa di mata publik. Terakhir, tuduhan yang sama disampaikan Menteri Desa, Marwan Jafar dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V. "Tuntutan pekerja PNPM selama 5 tahun sangat tidak fair dan melanggar undang-undang" kata Marwan dihadapan Komisi V, Senin (18/4).

Belakangan diketahui, permintaan kontrak 5 tahun itu justru muncul dari kelompok pendamping desa hasil seleksi 2015 yang berdemo karena digerakkan oleh oknum Kemendes. Mereka tidak terima dengan model kontrak tahunan dan menuntut di perpanjang hingga 5 tahun.

"Pendamping desa yang direkrut pada Tahun 2015 agar dapat dipertahankan karena sudah melalui proses rekrutmen dan menghabiskan waktu dan SK pendamping diperpanjang dengan konsep SK 5 Tahun, tidak 1 tahun sekali seperti sekarang" bunyi tuntutan pendemo sebagaimana dikutip swarnajambi.com.

Atas konspurasi itu, 12 ribu Pendamping desa juga tidak tinggal diam. Melalui Barisan Nasional pendamping Desa (BNPD) juga melakukan perlawanan dengan gelar Aksi Nasional. Pasca aksi nasional, serentetan advokasi juga terus dilakukan ditingkat daerah. BPDP dimasing-masing daerah berhasil memberikan penjelasan yang lebih utuh kepada pemeribtah daerah.

Hasilnya, gerakan mereka mendapat banjir dukungan dari berbagai pihak. Menurut data yang dimiliki BNPD, 13 provinsi yang bersurat ke Kemendes itu antara lain pemerintah provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTT, Sumatra Barat, Lampung, Jambi, Aceh, Riau, Banten, Maluku, Sumatra Selatan dan Sumatra Utara.

Bahkan saat Rakornas Kemendes dengan sakter Provinsi pada Senin, 11 April 2016, Mayoritas provinsi se Indonesia mengusulkan agar Kemendes tidak menseleksi ulang pendamping desa dari PNPM Mandiri Perdesaan. Pertimbangannya, karena Eks PNPM MPd selama ini sudah terlatih dan memiliki pengalaman dalam pendampingan desa.

Terakhir, Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) juga melayangkan surat ke Menteri Narwan. Melalui surat tersebut, Komite I DPD RI meminta Kemendes mencabut surat no 749 Dirjen PPMD Tanggal 31 Maret 2016 dan meminta Kemendes menerbitkan surat baru yang tidak diskriminasi dan dikotomi. Selain itu, terkaut rencana seleksi ulang Eks PNPM, DPD RI meminta Kemendes memperhatikan suratnya tanggal 31 Desember 2015 yang telah mengalihstatus Eks PNPM menjadi pendamping desa.

Atas surat tersebut, Ketua Komute I DPD RI yang juga mantan Ketua Pansus RUU Desa, Ahmad Muqowan menegaskan bahwa keputusan Komite I DPD RI mendukung aspirasi pendamping desa itu telah melalui kajian dan pencermatan dengan memperhatikan pendapat pemerintah daerah dan masyarakat. “Komite ingin Hubungan pusat dan daerah berjalan secara sinergis sehingga implementasi UU Desa benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat” tandasnya.

Masukan yang sama sebelumnya juga disampaikan oleh Wapres, pimpinan DPR, Mensesneg hingga Kepala Bappenas. Berdasarkan amanah PP 47 Tahun 2015, Pasal 131 menegaskan bahwa Kemendes berkewajiban melakukan koordinasi dengan Kepala Bappenas untuk, salah satunya, soal penetapan kebijakan pendampingan desa. Namun semua diabaikan begitu saja. Gelar profesor ternyata mengalahkan kepentingan segalanya.

Disisi lain, upaya mematahkan gerakan anak bangsa yang merasa didiskriminasi, dianaktirikan dan bahkan akan disingkirkan ini juga terus dilakukan. Kelompok-kelompok kepentingan juga terus dikonsolidasikan untuk membangun opini bahwa gerakan perlawanan dari para pendamping desa yang terdholimi ini sarat dengan kepentingan. Mereka memfitnah gerakan pendamping desa dikonsolidir, dibiayai dan ditunggangi oleh partai tertentu untuk merebut kursi menteri desa.

Namun ternyata usulan itu tidak di tanggapi. Kemendes terus fokus dengan keputusannya memecat 12 ribu pendamping dari Eks PNPM agar memiliki alasan menggelar seleksi pendamping desa tahap II. Tanpa pemecatan tentu tidak ada kebutuhan 12 ribu pendamping desa yang tersebar merata diseluruh kecamatan di Indonesia. Tanpa memecat 12 ribu pendamping desa, tentu yang ada hanya kebutuhan Pendamping Lokal Desa di beberapa Propinsi saja.

Tak peduli meski 12 ribu pendamping desa mengutuk keras sikap Marwan Jafar yang anti terhadap pendamping desa berpengalaman, yang penting seleksi harus jalan. Yang penting oknum-okmun bisa kembali bermain memasukkan para pengurus partai dan memberi tambahan job bagi kader.

Tak peduli Seleksi pendamping tahap II dianggap menjadi bukti sikap Menteri Desa yang mengedepankan ambisi dan jauh dari visi profesional, tak peduli bagaimana capaian kinerja program pendampingan desa dengan SDM yang beluk terlatih, persetan juga dengan apa kata wapres, DPR, menteri, gubernur hingga bupati. Apalagi lalat-lalat pendamping desa Eks PNPM.

Sepertinya hanya peringatan dari Tuhan saja yang dapat menghentikan langkah Menteri Desa, Marwan Jafar dan Dirjen PPMD, Erani Yustika. Dan doa 12 ribu anak bangsa yang terdholimi, cepat atau lambat pasti akan dijawabNya. Amin..

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun