Aksi biadab terorisme kembali terjadi. Ledakan bom bunuh diri terjadi di tiga titik di Surabaya, Jawa Timur, pada Minggu pagi (13/05).
Tiga lokasi yang dijadikan sasaran adalah gereja. Lokasi pertama terjadi di Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel, Kecamatan Gubeng. Kemudian, lokasi kedua terjadi di sebuah gereja di Jalan Diponegoro, dan lokasi ketiga di sebuah gereja di Jalan Arjuna.
Aksi tersebut mengakibatkan sejumlah korban jiwa dari para jemaat Gereja. Juga puluhan orang luka-luka.
Menanggapi kebiadaban para teroris tersebut, sejumlah pihak mengeluarkan pernyataan bela sungkawa dan keprihatinannya. Namun ada juga yang mEnyesalkan kinerja aparat keamanan, termasuk kinerja Badan Intelijen Negara.
Bahkan, terdapat beberapa politisi yang menilai negatif kinerja BIN dan Polri dalam menanggulangi ancaman terorisme di Indonesia.
Setiap pendapat yang menilai kejadian terorisme ini pada dasarnya sah-sah saja. Namun, dalam situasi darurat seperti saat ini, sebaiknya masing-masing pihak dari kita, termasuk para tokoh di Indonesia, bisa menahan diri untuk tidak saling menyalahkan satu sama lain.
Apalagi menyampaikan tuduhan yang tendensius guna mendiskreditkan instansi tertentu.
Hal itu tidak penting karena bisa memperkeruh situasi di tanah air. Juga mengesankan seolah-olah negara tidak memberikan perlindungan terhadap warganya. Di sisi lain juga berpotensi meningkatkan collateral damage dari insiden tersebut.
Padahal, faktanya kita tahu bahwa aparat keamanan, baik Polri maupun BIN, telah bekerja keras dalam mencegah aksi terorisme selama ini. Mereka sudah bekerja maksimal hingga banyak penggagalan rencana pengeboman di sejumlah tempat.
Dalam kasus terorisme, deteksi dini dan pencegahan bukan hanya menjadi tanggung jawab BIN, tapi juga menjadi tanggung jawab secara spesifik Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT).
Di badan negara tersebut, terdapat Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi yang lebib efektif untuk melakukan pemantauan dan deteksi dini terhadap pergerakan jaringan terorisme di Indonesia.
Terkait aksi terorisme belakangan ini, pihak intelijen sendiri sebenarnya sudah mencium gelagat pergerakan dari sekitar 57 orang yang dicurigai teroris sebelum bom di Surabaya ini meledak. Tetapi karena tidak ada instrumen hukum yang membolehkan tindakan hukum sebelum ada bukti/tindakan kriminal, maka aparat keamanan tidak bisa menangkap dengan semena-mena.
Hal itu menjadi bukti bahwa kepolisian dan intelijen tidak pernah lengah sedikit pun. Berbeda dengan anggapan Ketua Presidium IPW, Neta S Pane yang menyebut aparatur kepolisian dan intelijen tidak berdaya menghadapi para teroris.
Sebagaimana yang kita tahu, pasca penghapusan UU Subversif, BIN tidak dapat lagi melakukan tindakan responsif dalam melakukan penanganan terorisme.
Meski demikian, selama ini BIN telah melakukan upaya deteksi dini secara maksimal, namun proses aktual dari pencegahan aksi terorisme terhambat sehingga hasil deteksi dini tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Kondisi ini menyebabkan lokasi dan waktu terjadinya aksi teror sulit untuk dipantau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H