Mohon tunggu...
Merdeka Bro
Merdeka Bro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bukan Jokowi, Soeharto Bapak Tenaga Kerja Asing di Indonesia

1 Mei 2018   06:36 Diperbarui: 1 Mei 2018   08:25 2044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wakil Ketua DPR RI sekaligus Waketum Partai Gerindra, Fadli Zon, secara resmi mengajukan diri sebagai pengusul pembentukan Pansus Hak Angket tentang Tenaga Kerja Asing (TKA).

Tak bisa dipungkiri, usulan hak angket tenaga kerja asing tersebut merupakan respon atas terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing.

Melalui agenda tersebut, Fadli dan kelompok oposisi terus 'menggoreng' isu seakan Presiden Jokowi adalah sebab musabab banyaknya tenaga asing di Indonesia. Secara khusus, Fadli menuduh Presiden Jokowi sebagai agen liberalisasi tenaga kerja di Indonesia.

Padahal, kalau kita mau sedikit belajar mengenai sejarah, maka tak ada kenyataan hari ini yang tak disebabkan oleh masa lalu. Semuanya saling terkait, dan tidak 'ujug-ujug' terjadi.

Hadirnya tenaga kerja asing saat ini, tidak sepenuhnya salah Presiden Jokowi. Karena kondisi tersebut sudah ada dan disyaratkan sejak dahulu.

Kalau kita telusuri, justru pangkal mulanya adanya kebijakan soal tanaga kerja asing dimulai sejak masa Orde Baru. Jadi kalau mau jujur dengan sejarah, Bapak Tenaga Kerja Asing itu bukanlah Jokowi saat ini, melainkan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru dulu.

Hal itu dimulai dari keterlibatan Indonesia dalam perjanjian internasional yang mengharuskan adanya liberalisasi di beberapa sektor, salah satunya pasar tenaga kerja.

Adapun keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional pasar bebas yang menyebabkan masuknya TKA ke Indonesia, dimulai ketika Soeharto menyetujui usulan Bob Hawke untuk bergabung di APEC pada 1989. Kemudian, pertemuan pertama APEC terjadi pada 1993.

Pertemuan APEC tahun 1994 di Bogor menghasilkan Bogor Goals yang isinya mendorong investasi terbuka Asia Pasifik yang ditargetkan dimulai 16 tahun kemudian yaitu pada tahun 2010. Kemudian pada tahun 1995 dibentuk AFTA (Asean Free Trade Area) yang merupakan cikal bakal Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Indonesia bergabung di AFTA atas keputusan Soeharto dengan limitasi waktu pasar bebas dimulai pada 2015.

Berikutnya, pada tahun 2001 terbentuk CAFTA (China Asean Free Trade Area) di Brunei. CAFTA sendiri  adalah perjanjian perdagangan bebas antar negara ASEAN dengan Cina selama 10 tahun. CAFTA disahkan pada tahun 2008.

Berada dalam 'kuncian' kesepakatan yang dibuat oleh para Presiden sebelumnya, di era globalisasi kini membuat Indonesia sekarang tidak bisa menutup diri dalam arus masuknya TKA.

Namun tak hanya kita saja yang menerima TKA dari luar negeri, faktanya Indonesia juga menjadi penyumbang TKA ke berbagai negara di dunia. Bahkan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, lebih banyak dari TKA di dalam negeri.

Justru keberadaan Perpres No. 20 Tahun 2018 ini berguna untuk melindungi masyarakat Indonesia dari serbuan TKA di era globalisasi dan dari dampak keikutsertaan Indonesia dalam pasar bebas. Peraturan yang baru diteken Presiden Jokowi itu memiliki semangat untuk memperketat masuknya TKA ke Indonesia.

Dengan demikian, Fadli Zon dan Anggota DPR yang mendukung pansus Hak Angket Perpres TKA sepertinya tidak paham dengan substansi Perpres tersebut. Mereka seharusnya mengkaji terlebih dahulu secara mendalam ada atau tidaknya hal yang merugikan masyarakat terkhusus kaum buruh/pekerja.

Bila kita paham alur liberalisasi pasar tenaga kerja di atas, maka kritik Fadli Zon hari ini sebenarnya sudah basi. Dia sebagai sisa-sisa Orde Baru yang dilantik menjadi Anggota MPR RI pada 19 Agustus 1997 harusnya juga menolak keputusan Soeharto di masa itu.

Pasalnya, Soeharto lah yang membawa Indonesia harus terikat dalam perjanjian internasional yang membuat kita harus membuka pasar tenaga kerja asing. Harusnya Fadli Zon berani mengkritik dan tidak pengecut atas keputusan Soeharto yang dampaknya diprotes oleh Fadli hari ini.

Terlepas dari itu, sebagai seorang politisi, mulut Fadli Zon memang tidak konsisten. Misalnya, meneriakkan pemerintahan Presiden Jokowi Komunis, tetapi dirinya sendiri ziarah ke makam Karl Marx dan merangkul patung Lenin dengan menyebut Lenin sebagai Kamerad atau saudara se partai.

Kini, Fadli Zon berusaha membenturkan masyarakat dengan Presiden Jokowi melalui Perpres 20 Tahun 2018 dan memainkan skema seolah-olah memihak kepada masyarakat. Namun ternyata hal tersebut dilakukan semata demi kepentingan politik kelompoknya.

Dalam kondisi Indonesia yang berada dalam perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden-Presiden sebelumnya, kini Presiden Jokowi berada dalam dua pilihan yang sulit, yaitu Pertama, menolak rangkaian perjanjian internasional pasar bebas yang didesain 29 tahun lalu dengan konsekuensi Indonesia menjadi lawan dunia internasional, atau Kedua, Presiden Jokowi berupaya memperlambat dan melakkan pengetatan dengan berbagai kebijakan agar Indonesia lebih siap menghadapi pasar bebas.

Dalam kondisi saat ini, Presiden Jokowo secara realistis mengambil posisi kedua. Hal itu diputuskan berdasarkan pertimbangan yang matang demi kemaslahatan masyarakat Indonesia secara luas.

Jadi, kita harus paham mengenai isu TKA ini. Kita harus lihat akar masalah dan konteksnya. Hal itu akan menghindarkan kita dari upaya adudomba yang diskenariokan oleh pihak oposisi. Apalagi mengingat mereka kini sedang mencari bahan bakar isu untuk menggaet suara pada Pemilu tahun depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun