Namun tak hanya kita saja yang menerima TKA dari luar negeri, faktanya Indonesia juga menjadi penyumbang TKA ke berbagai negara di dunia. Bahkan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, lebih banyak dari TKA di dalam negeri.
Justru keberadaan Perpres No. 20 Tahun 2018 ini berguna untuk melindungi masyarakat Indonesia dari serbuan TKA di era globalisasi dan dari dampak keikutsertaan Indonesia dalam pasar bebas. Peraturan yang baru diteken Presiden Jokowi itu memiliki semangat untuk memperketat masuknya TKA ke Indonesia.
Dengan demikian, Fadli Zon dan Anggota DPR yang mendukung pansus Hak Angket Perpres TKA sepertinya tidak paham dengan substansi Perpres tersebut. Mereka seharusnya mengkaji terlebih dahulu secara mendalam ada atau tidaknya hal yang merugikan masyarakat terkhusus kaum buruh/pekerja.
Bila kita paham alur liberalisasi pasar tenaga kerja di atas, maka kritik Fadli Zon hari ini sebenarnya sudah basi. Dia sebagai sisa-sisa Orde Baru yang dilantik menjadi Anggota MPR RI pada 19 Agustus 1997 harusnya juga menolak keputusan Soeharto di masa itu.
Pasalnya, Soeharto lah yang membawa Indonesia harus terikat dalam perjanjian internasional yang membuat kita harus membuka pasar tenaga kerja asing. Harusnya Fadli Zon berani mengkritik dan tidak pengecut atas keputusan Soeharto yang dampaknya diprotes oleh Fadli hari ini.
Terlepas dari itu, sebagai seorang politisi, mulut Fadli Zon memang tidak konsisten. Misalnya, meneriakkan pemerintahan Presiden Jokowi Komunis, tetapi dirinya sendiri ziarah ke makam Karl Marx dan merangkul patung Lenin dengan menyebut Lenin sebagai Kamerad atau saudara se partai.
Kini, Fadli Zon berusaha membenturkan masyarakat dengan Presiden Jokowi melalui Perpres 20 Tahun 2018 dan memainkan skema seolah-olah memihak kepada masyarakat. Namun ternyata hal tersebut dilakukan semata demi kepentingan politik kelompoknya.
Dalam kondisi Indonesia yang berada dalam perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden-Presiden sebelumnya, kini Presiden Jokowi berada dalam dua pilihan yang sulit, yaitu Pertama, menolak rangkaian perjanjian internasional pasar bebas yang didesain 29 tahun lalu dengan konsekuensi Indonesia menjadi lawan dunia internasional, atau Kedua, Presiden Jokowi berupaya memperlambat dan melakkan pengetatan dengan berbagai kebijakan agar Indonesia lebih siap menghadapi pasar bebas.
Dalam kondisi saat ini, Presiden Jokowo secara realistis mengambil posisi kedua. Hal itu diputuskan berdasarkan pertimbangan yang matang demi kemaslahatan masyarakat Indonesia secara luas.
Jadi, kita harus paham mengenai isu TKA ini. Kita harus lihat akar masalah dan konteksnya. Hal itu akan menghindarkan kita dari upaya adudomba yang diskenariokan oleh pihak oposisi. Apalagi mengingat mereka kini sedang mencari bahan bakar isu untuk menggaet suara pada Pemilu tahun depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H