Sebagian orang tua mungkin merasa asing dengan anak-anak mereka, bahkan hampir tidak mengenalinya. Seringkali ditemui orang tua yang terkejut melihat anak-anak mereka memiliki kepribadian atau perilaku yang berbeda di lingkungan yang berbeda, baik dirumah atau sekolah. Ketika guru memuji perilaku anak yang aktif, rajin, sopan dan berkarakter baik di sekolah, orang tua memandang dengan perspektif yang sebaliknya, yang mana seorang anak yang terlihat penuh energi di sekolah terkadang bisa menjadi pribadi yang pendiam di rumah. Perbedaan ini seringkali menjadi kontradiksi di mata orang tua, bahkan membuat mereka bertanya, "Siapa sebenarnya anak saya?". Fenomena ini tidak hanya mencerminkan masalah dalam dinamika keluarga tetapi juga berkaitan dengan proses belajar dan pembelajaran yang dialami oleh anak.
Salah satu permasalahan dari fenomena ini melibatkan seorang anak berusia 20 tahun bernama Fifi (nama samaran), mahasiswi semester 3 di sebuah Perguruan Tinggi. Fifi lebih suka (betah) berkegiatan di luar rumah daripada membantu orang tua dirumah. Hal ini sudah terjadi pada Fifi sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Beberapa orang mungkin menganggap Fifi durhaka bahkan orang tua Fifi sendiri karena Fifi seringkali menghindari pekerjaan rumah.
Apakah kejadian seperti ini ada penyebabnya? Tentu saja ada.
Bermula ketika Fifi menginjak bangku SD kelas 2. Fifi dituntut belajar terus-menerus dibawah tekanan sang Ibu untuk meraih juara kelas, bahkan Fifi tidak diizinkan bermain keluar rumah bersama teman-teman. Apabila ingin bermain, teman-teman Fifi hanya boleh datang ke rumah. Fifi lebih menghabiskan waktu untuk belajar bersama Ibunya. Ibu Fifi kerap membentak Fifi yang mana Ia kurang memahami soal-soal pada sebuah materi pembelajaran. Bahkan seringkali Ibunya melontarkan kata-kata kasar seperti "bodoh", "anak tidak berguna", dan lain-lain. Tidak hanya bentakan yang Fifi terima, bahkan tamparan, jeweran, dan hukuman fisik lainnya. Anak sekecil itu tentu menangis kesakitan, sementara sang Ibu masih saja memarahi Fifi karena lebih banyak menangis daripada memikirkan jawaban atas soal-soal yang diberikan. Memang benar setelah menjadi juara, Fifi diberi hadiah atas pencapaiannya. Namun, Fifi membutuhkan apreasi. Fifi lebih diapresiasi guru ketika di sekolah. Di sisi lain, ia sering di hujani kritik terhadap hal-hal positif yang ia lakukan.
Fifi dianggap biang masalah oleh sang Ibu. Hampir setiap hari Fifi dibentak atas kesalahan-kesalahan kecil yang dia lakukan, seperti memecahkan piring, tidak becus membantu pekerjaan rumah, menumpahkan minuman dan lain-lain. Fifi hanya bisa menangis dan kebingungan, apa yang harus ia perbuat apabila terjadi hal semacam ini. pernah suatu ketika terjadi peristiwa dimana sang Ibu kehilangan uang dalam jumlah yang terbilang besar di rumah. Fifi menjadi tersangka atas kejadian ini, karena faktor dari uang saku Fifi yang dibatasi, Fifi dianggap mencuri. Sang Ibu seenaknya menuduh Fifi dengan nada tinggi. Fifi sudah mencoba menjelaskan apa yang ia ketahui. Namun, Ibunya tutup telinga. Mengetahui pendapatnya tidak didengar, Fifi mencoba menggunakan nada lebih tinggi lagi. Bukannya malah memperhatikan penjelasan Fifi, Ibunya menganggap Fifi anak yang durhaka. Beberapa hari kemudian, ternyata uang tersebut berada di saku kantong celana Ibunya sendiri. Dia hanya tersenyum tanpa meminta maaf kepada Fifi. Kesalahan-kesalahan yang Fifi lakukan selalu saja dihakimi, sementara ketika Fifi menegur sang Ibu, ia tidak peduli dan tidak ingin disalahkan.
Fenomena yang dialami Fifi hampir terjadi setiap hari ketika masa Sekolah Dasar (SD) bahkan terus berulang-ulang hingga Fifi menginjak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada akhirnya, apapun yang ia lakukan, Fifi lebih memilih menjadi pendiam di lingkungan rumah sejak saat itu. Diamnya seorang Fifi adalah contoh dari akibat gangguan mental yang dialaminya sejak masih kecil hingga beranjak remaja. Berikut beberapa penyebab gangguan mental yang terjadi pada anak menurut para ahli :
- Pengaruh Trauma.Â
Menurut Dr. Joan Luby (2020), ahli psikiatri anak ini meneliti pengaruh trauma masa kecil terhadap perkembangan otak. Ia menemukan bahwa trauma seperti pelecehan atau penelantaran dapat meningkatkan risiko gangguan mental, termasuk depresi dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Dalam kasus Fifi, ia mengalami trauma di rumah atas perlakuan sang ibu terhadapnya sedari kecil (SD) sehingga ia lebih merasa nyaman di luar rumah karena lingkungan luar lebih mengerti Fifi.
- Polah Asuh Otoriter
Menurut Dr. Sarah Bren (2019). Fokus pada peran lingkungan keluarga dan pola asuh terhadap kesehatan mental anak. Dr. Bren menyebutkan bahwa pola asuh otoriter atau permisif dapat memengaruhi regulasi emosi anak. Â Seperti ditunjukkan pada apa yang dialami Fifi, ia sulit mengekspresikan emosi ketika di rumah. Ia cenderung cuek dan pendiam. Ditambah, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga juga menjelaskan bahwa masa transisi remaja menuju dewasa, ditambah dengan stereotip yang menganggap remaja tidak memiliki masalah dibandingkan orang dewasa, membuat mereka rentan terhadap gangguan mental. Beberapa jenis gangguan mental pada remaja :
- Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorders) : Remaja sering mengalami rasa cemas berlebihan yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Tekanan akademis, sosial, dan ekspektasi dari lingkungan sekitar dapat menjadi pemicu utama.
- Depresi : Ditandai dengan perasaan sedih berkepanjangan, kehilangan minat pada aktivitas yang disukai, dan perubahan pola tidur atau makan. Depresi pada remaja dapat berdampak signifikan terhadap perkembangan dan kualitas hidup mereka.
- Gangguan Perilaku (Conduct Disorder): Remaja dengan gangguan ini cenderung menunjukkan perilaku agresif, melanggar aturan, dan kurang empati terhadap orang lain. Hal ini dapat menyebabkan masalah dalam hubungan sosial dan akademis.
- Gangguan Emosional : Meliputi perubahan mood yang ekstrem, seperti mudah marah atau perasaan putus asa. Gangguan ini dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dan kesejahteraan umum remaja.
- Menyakiti Diri Sendiri dan Bunuh Diri : Tindakan menyakiti diri sendiri atau pikiran untuk bunuh diri merupakan tanda serius dari masalah kesehatan mental yang memerlukan perhatian segera.Â
Dari jenis-jenis tersebut,terbukti bahwa gangguan mental sangat merugikan diri sendiri dan orang lain. Apalagi masa remaja sangat rentan terkena gangguan mental. Beruntung Fifi masih memiliki seseorang yang peduli terhadapnya seperti Ayahnya walau bekerja sangat jauh, keluarga sepupu sebagai rumah yang membuatnya nyaman, dan teman-teman organisasi di sekolah semasa SMP membuat ia merasa dicintai sehingga membuat Fifi aktif dan belajar banyak hal ketika di luar rumah. Fifi dirumah dianggap seseorang yang pendiam, pemalas, dan cuek oleh keluarganya, sedangkan di luar rumah, ia gadis yang periang dan suka bersosialisasi. Fifi cenderung leluasa belajar berbagai hal yang ada di luar rumah seperti belajar berkomunikasi dengan baik, belajar aktif, belajar untuk menghargai orang lain dan lain-lain, yang mana lebih mendukung perkembangannya, daripada ia belajar di rumah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hal ini menjadi bukti bahwa kejadian yang menimpa Fifi semasa kecilnya dapat memengaruhi proses belajar.
Apa itu proses belajar? menurut Slameto (2018) Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan setiap individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Lingkungan pertama dan utama bagi seorang anak adalah keluarga. Menurut Khrisna (2019): Keluarga adalah kelompok orang yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh ikatan pernikahan atau adopsi dengan tujuan untuk menciptakan, memelihara kebudayaan, serta meningkatkan pertumbuhan fisik, mental, emosional, dan sosial dari masing-masing anggota keluarga. Keluarga bagi seorang anak adalah seseorang yang dekat, pemberi kasih sayang, rasa aman serta dukungan emosional.
Dalam konteks ini, dinamika keluarga memainkan peran penting dalam meningkatkan perkembangan anak. Menurut Nurhudaya (2020) dalam bukunya "Dinamika Keluarga Pada Masa Pandemi COVID-19", Nurhudaya menjelaskan bahwa dinamika keluarga mencakup interaksi antara anggota keluarga, komunikasi, peran, dan pola yang berkembang dalam hubungan tersebut. Pola asuh, adaptasi terhadap perubahan, dan respons terhadap situasi krisis, seperti pandemi, menjadi bagian integral dari dinamika ini. Apabila terjadi ketidakstabilan dalam dinamika keluarga, seperti terjadi konflik, kurangnya komunikasi, dan ketidakhadiran peran emosional orang tua, dapat menghambat proses belajar dan pembelajaran sehingga anak tidak mampu berkembang, baik dalam aspek sosial, emosional maupun akademis. Akibatnya, anak cenderung tidak nyaman secara emosional yang membuat mereka pasif di rumah, tetapi berperilaku aktif di luar rumah.
Â
Perilaku anak seperti ini terkadang membuat para orang tua bertanya-tanya. Mengapa anak mereka seperti memiliki kepribadian ganda. Banyak orang tua tidak menyadari bahwa hal seperti ini disebabkan oleh gangguan mental yang mereka ciptakan sendiri. Ironisnya, orang tua sering kali menyalahkan anak atas perilaku tersebut tanpa introspeksi terhadap pola asuh atau kondisi keluarga yang menjadi penyebab utama. Orang tua tanpa adanya edukasi kesehatan mental akan semakin memperburuk kondisi sang anak. Anak dengan trauma masa kecil membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk sembuh. Penanganan anak yang mengalami gangguan mental akibat trauma masa kecil, seperti dalam kasus Fifi, memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan aspek psikologis, sosial, dan medis yang setidaknya dapat mengurangi waktu penyembuhan. Berikut adalah teori dan metode penanganan yang disarankan oleh para ahli :
1. Pendekatan Terapi Psikologis
- Terapi Kognitif Perilaku (CBT) adalah terapi yang efektif untuk mengatasi trauma, gangguan kecemasan, dan depresi. Menurut Judith Beck (2021), CBT membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif menjadi lebih adaptif, serta mengelola emosi dengan cara yang sehat.Â
- Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy (TF-CBT) dirancang untuk anak-anak yang mengalami trauma. Berdasarkan penelitian Cohen et al. (2020), TF-CBT dapat membantu anak memproses pengalaman traumatis, mengembangkan strategi koping, dan memperbaiki hubungan dengan orang tua atau pengasuh.Â
- Terapi Attachment-Based Family Therapy (ABFT) berfokus pada perbaikan hubungan antara anak dan orang tua. Menurut Diamond et al. (2022), terapi ini efektif untuk anak yang mengalami kesulitan emosional akibat hubungan yang rusak dengan orang tua.Â
2. Pendekatan Sosial
- Pendidikan Kesehatan Mental untuk Orang Tua
- Orang tua perlu diberi edukasi tentang kesehatan mental anak dan dampak pola asuh. Program seperti Parent-Child Interaction Therapy (PCIT) efektif meningkatkan hubungan emosional dan komunikasi antara orang tua dan anak (Zisser & Eyberg, 2020). Â .
- Dukungan Komunitas dan Sekolah
- Lingkungan sosial, seperti teman dan guru, memainkan peran penting dalam membangun rasa percaya diri anak. Menurut Juvonen & Espinoza (2021), keterlibatan anak dalam kegiatan organisasi atau kelompok sosial dapat memberikan rasa memiliki dan mendukung perkembangan emosional
3. Pendekatan Medis
- Obat Psikotropika (Jika Diperlukan)
- Untuk gangguan kecemasan atau depresi yang parah, penggunaan obat seperti selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) dapat membantu. Menurut penelitian Walkup et al. (2021), SSRIs aman digunakan untuk remaja dengan pengawasan ketat.
4. Pencegahan dan Rehabilitasi Jangka Panjang
- Program Intervensi Dini
- Intervensi sejak dini dapat mencegah gangguan mental berkembang lebih parah. Menurut Greenberg et al. (2022), program berbasis sekolah seperti MindUP dapat meningkatkan regulasi emosi dan empati pada anak.Â
- Mindfulness-Based Interventions
- Latihan mindfulness membantu anak mengelola stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional. Kabat-Zinn et al. (2020) menunjukkan bahwa mindfulness efektif untuk mengurangi dampak trauma masa kecil.Â
Rekomendasi Praktis :
- Psikoterapi untuk Anak : Konsultasikan dengan psikolog anak untuk terapi jangka panjang.
- Pelibatan Orang Tua: Orang tua perlu mengikuti sesi terapi keluarga untuk memperbaiki hubungan.
- Lingkungan Positif: Berikan ruang bagi anak untuk berkreasi dan belajar di lingkungan yang mendukung.
- Monitoring Kesehatan Mental: Pantau perkembangan mental anak secara berkala melalui tenaga profesional.Â
DAMPAK SETELAH PENANGANAN
Berikut adalah beberapa dampak yang umumnya diharapkan setelah menjalani berbagai terapi :
- Perbaikan Kesehatan Mental:Â
Terapi Psikologis (CBT, TF-CBT, ABFT) dapat membantu anak mengatasi trauma dan stres emosional. Sebagai contoh, menurut Judith Beck (2021), terapi kognitif perilaku (CBT) efektif dalam mengubah pola pikir negatif menjadi lebih adaptif, yang dapat mengurangi gejala depresi dan kecemasan. Penelitian  Cohen et al. (2020) mengenai Trauma-Focused CBT menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami trauma dapat lebih baik memproses pengalaman traumatis dan membangun mekanisme koping yang sehat. Dengan demikian, anak dapat merasa lebih aman dan lebih mampu mengelola perasaan mereka.
- Peningkatan Kualitas Hubungan Keluarga :
Terapi Keluarga Berbasis Attachment (ABFT) berfokus pada memperbaiki hubungan emosional antara anak dan orang tua. Diamond et al. (2022) menyatakan bahwa pendekatan ini sangat efektif untuk mengatasi gangguan emosional akibat hubungan yang rusak dengan orang tua. Ketika hubungan antara anak dan orang tua diperbaiki, dinamika keluarga menjadi lebih sehat, yang juga berdampak positif pada perkembangan emosional anak.
- Meningkatkan Regulasi Emosi dan Keterampilan Sosial :
Pendidikan Kesehatan Mental untuk Orang Tua seperti Parent-Child Interaction Therapy (PCIT) dapat meningkatkan komunikasi dan hubungan emosional antara orang tua dan anak (Zisser & Eyberg, 2020). Orang tua yang lebih paham tentang pentingnya pola asuh yang suportif dapat mengurangi tekanan yang tidak perlu pada anak dan lebih menghargai usaha mereka. Hal ini mendukung perkembangan keterampilan emosional anak serta rasa percaya diri mereka, baik di rumah maupun di lingkungan sosial.
Â
- Dukungan Sosial yang Lebih Kuat :
Dukungan Komunitas dan Sekolah sangat berperan dalam meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan diterima pada anak. Juvonen & Espinoza (2021) menyatakan bahwa keterlibatan dalam kelompok sosial atau kegiatan ekstrakurikuler dapat memberikan anak rasa memiliki yang penting untuk kesejahteraan emosional mereka. Ini memungkinkan anak untuk belajar keterampilan sosial dan beradaptasi dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
- Pemulihan yang Lebih Cepat dan Efektif :
Intervensi Medis seperti penggunaan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) pada anak-anak dengan gangguan kecemasan atau depresi yang lebih parah dapat membantu mengurangi gejala-gejala tersebut, seperti yang dijelaskan oleh Walkup et al. (2021). Dengan pengawasan medis yang tepat, anak-anak dapat mengalami perbaikan dalam mood dan perilaku mereka, yang memudahkan mereka untuk berfungsi lebih baik dalam kehidupan sehari-hari.
- Pencegahan Gangguan Mental yang Lebih Parah :
Program Intervensi Dini seperti MindUP dapat mengajarkan anak cara-cara untuk mengelola stres dan emosi mereka dengan cara yang sehat, yang membantu mencegah gangguan mental menjadi lebih parah di kemudian hari. Greenberg et al. (2022) menunjukkan bahwa program berbasis sekolah ini dapat meningkatkan regulasi emosi dan empati pada anak, yang bermanfaat dalam kehidupan sosial dan akademik mereka.
- Peningkatan Kesejahteraan Jangka Panjang :Â
Secara keseluruhan, pendekatan holistik yang mencakup psikoterapi, edukasi orang tua, dukungan sosial, dan intervensi medis dapat menghasilkan perubahan signifikan dalam kesejahteraan mental anak. Anak-anak yang mendapatkan dukungan ini cenderung menunjukkan peningkatan dalam kemampuan untuk mengatasi stres, perkembangan emosional yang lebih sehat, serta kemampuan untuk membangun hubungan sosial yang positif.
Â
KESIMPULAN
Perbedaan perilaku anak di rumah dan di sekolah mencerminkan adanya trauma masa kecil, pola asuh yang otoriter, dan dinamika keluarga yang tidak sehat yang memengaruhi proses belajar dan pembelajaran pada anak, seperti yang dialami oleh Fifi. Kasus Fifi mencerminkan dampak psikologis yang bertahan lama akibat tekanan dan perlakuan negatif dari orang tua, yang membuatnya merasa lebih nyaman berada di luar rumah daripada di lingkungan keluarganya. Â Solusi untuk mengatasi gangguan mental akibat trauma masa kecil:
- Terapi Psikologis: Pendekatan seperti CBT, TF-CBT, dan ABFT sangat efektif untuk membantu anak memproses trauma dan memperbaiki hubungan dengan orang tua.
- Pendidikan Kesehatan Mental: Orang tua perlu diedukasi tentang pentingnya pola asuh yang mendukung dan responsif terhadap kebutuhan anak.
- Pendekatan Sosial: Lingkungan sosial yang positif, seperti dukungan dari teman, guru, dan kegiatan organisasi, dapat membantu anak mengembangkan rasa percaya diri dan keterampilan emosional.
- Intervensi Medis: Dalam kasus tertentu, obat-obatan seperti SSRIs dapat digunakan untuk mengelola gejala gangguan mental dengan pengawasan medis.
- Pencegahan Jangka Panjang: Â Program intervensi dini dan latihan mindfulness dapat mencegah perkembangan gangguan mental lebih lanjut.
Rekomendasi:
- Orang tua harus introspektif dan memperbaiki pola asuh.
- Anak perlu diberi ruang untuk belajar dan berkembang di lingkungan yang mendukung.
- Terapi keluarga dapat membantu memperbaiki dinamika keluarga.
- Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental anak.
Dengan pendekatan yang holistik, yaitu melalui terapi psikologis, pendidikan kesehatan mental, dukungan sosial, intervensi medis, dan program pencegahan, dapat mengurangi  jangka trauma pada anak dan mencapai potensi terbaiknya. Orang tua, guru, dan masyarakat memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang aman, suportif, dan penuh kasih. Dengan introspeksi diri, perubahan pola asuh, serta kolaborasi dalam terapi keluarga, hubungan antaranggota keluarga dapat diperbaiki. Selain itu, meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental anak menjadi tanggung jawab bersama agar generasi mendatang dapat tumbuh menjadi individu yang sehat secara fisik dan emosional. Upaya ini adalah investasi jangka panjang untuk masa depan yang lebih baik.
REFERENSI
Beck, J. S. (2021). Cognitive Behavioral Therapy: Basics and Beyond. New York: The Guilford Press.
Bren, S. (2019). Parenting Styles and Their Impact on Children's Mental Health. Psychology Today. Retrieved from https://www.psychologytoday.com
Cohen, J. A., Mannarino, A. P., & Deblinger, E. (2020). Trauma-Focused CBT for Children and Adolescents. New York: The Guilford Press.
Diamond, G. S., et al. (2022). Attachment-Based Family Therapy for Adolescent Depression. New York: The Guilford Press.
Greenberg, M. T., et al. (2022). The Impact of MindUP on Child Development. Journal of School Psychology, 82, 1-16.
Juvonen, J., & Espinoza, G. (2021). Social Networks and Adolescent Development. Cambridge University Press.
Kabat-Zinn, J., et al. (2020). Mindfulness-Based Stress Reduction in Pediatrics. Journal of Pediatric Psychology, 45(4), 394-405.
Luby, J. L., et al. (2020). The Effects of Early Life Stress on Brain Development and Function. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 59(4), 309-317.
Nurhudaya, M. (2020). Dinamika Keluarga Pada Masa Pandemi COVID-19. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Slameto. (2018). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Walkup, J. T., et al. (2021). "Safety of SSRIs in Adolescents with Depression." Journal of Child and Adolescent Psychopharmacology, 31(5), 400-412.Zisser, A., & Eyberg, S. M. (2020). Parent
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI