Mayoritas Bernasib Minoritas
Oleh: Indah Shofiatin (alumni FKM Unair)
Tidak berlebihan bila judul tulisan di atas menjadi gambaran nasib kaum muslimin di negeri muslim mayoritas terbesar di dunia ini. Jumlah memang mayoritas, tapi nasib hidup tak ubahnya seperti kaum minoritas. Bagaimana tidak? Coba saja tengok apa yang baru-baru ini terjadi.
Saat Gereja St. Lidwina Sleman diserang (11/1/2018), media demikian gencar memberitakan mulai dari kejadian, kronologi, bahkan latar belakang kasus penyerangan tersebut. Densus 88 langsung diturunkan, banyak pejabat yang angkat bicara. Pelakunya?Â
Teroris yang terpengaruh paham radikal Poso, laporan dari Tito Karnavian, Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Siapa teroris ini? Suliyono, seorang mahasiswa yang membawa ijazah di tasnya saat melakukan penyerangan. Muslim. Apa yang terjadi pada pelaku? Langsung dibekuk, ditembak polisi, dilabeli teroris dan menjadi terkenal sebagai muslim berbahaya abad ini, dicari informasi tentang keluarganya, bahkan telah ditemukan motif radikal semacam apa yang mendorong perilaku teror pelaku. Apakah ada umat Kristen yang mengikuti misa pagi itu yang menjadi korban jiwa? Tidak, beberapa terluka. Ini tindakan teror yang berbahaya tentu saja, meskipun mengandung berbagai macam hal yang memancing kecurigaan akan apa yang sebenarnya terjadi.
Di lain pihak, saat terjadi penyerangan dua ulama di Jawa Barat, begitu pula di berbagai tempat daerah lain di negeri ini, hal serupa tidak terjadi. Bahkan ketika Brigadir Prawoto, ketua Persis menjadi korban penganiyaan hingga kehilangan nyawa, media tidak ramai-ramai meliput, densus 88 tidak diturunkan, para pejabat tidak ramai memberi laporan, suasana tenang. Kenapa? Karena pelakunya orang gila yang datang subuh-subuh, mencari-cari ustaz lalu menganiaya dua orang ustaz di dua tempat berbeda dengan dua orang gila yang berbeda sampai berdarah-darah. Karena pelakunya orang gila, tentu saja pelakunya bukan dilabeli teroris dan tidak perlu dianggap.Â
Siapa orang gila yang dimaksud? Entahlah. Sampai sekarang belum ada kronologi kejadian, identitas pelaku, laporan kejiwaan pelaku, latar belakangnya, kegilaan semacam apa yang menjadi motif pelaku menyerang ulama, dan banyak hal yang tak bisa diketahui publik.Â
Polres Bandung hanya menurunkan laporan bahwa dua kasus penyerangan ulama di Jawa Barat yang sama-sama melibatkan pelaku orang gila sebagai, "Tidak berkaitan satu sama lain", dan, "Masih terus diselidiki". Sampai mana penyelidikannya? Tentu tidak tahu, tidak ada media yang siang-malam ramai memberikan hasil liputan seperti halnya dalam kasus penyerangan Gereja St. Lidwina. Apakah umat Islam merasa aman dengan kasus yang tidak selesai ini? Tentu tidak. Tiap saat kami merasa khawatir para ulama kami dihabisi.
Bukan dalam kasus ini saja perbedaan njomplang nasib mayoritas dan minoritas terasa menyengat. Lihat saja kasus penistaan agama oleh Joshua Suherman yang sampai sekarang masih melenggang versus kasus penghinaan oleh Jonru Ginting yang langsung mendekam di balik jeruji besi. Bahkan saat penghinaan terhadap Islam, Al-Qur'an, Rasulullah dan hal lain yang berkenaan dengan Islam merebak di berbagai media sosial, bukan hanya satu-dua pelakunya, umat Islam meradang sendirian. Kenapa? Tidak ada tindakan tegas kepada para penghina agama Islam ini, ditangkap lalu dibebaskan pun kejadian langka. Mengapa begini nasib umat mayoritas ini?
Inilah negeri kita. Negeri di mana nasib umat Islam yang mayoritas ternyata tak lebih baik dari pada nasib umat Kristen yang minoritas, atau bahkan sebanding sekalipun. Bila keadilan itu adalah hak segala bangsa dan kewajaran yang diterima semua warga negara, kenapa pula nasib umat mayoritas ini harus berbeda dengan minoritas? Bukankah keberadaaan negara salah satu fungsinya adalah untuk menjamin keadilan dan keamanan dirasakan siapa saja, tak peduli mayoritas atau minoritasnya golongan itu?
Patutlah kita mengingat hadis Rasulullah SAW. saat menggambarkan tragisnya nasib umat Islam mayoritas di zaman kita ini, dari Tsauban RA. beliau shalallahu 'alayhi wasallam bersabda yang artinya, "Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring". Kemudia seseorang bertanya, "Katakanlah (wahai Rasulullah), apakah karena jumlah kami pada saat itu yang sedikit? Rasulullah menjawab, "Bahkan jumlah kalian saat itu banyak, tetapi kalian bagaikan sampah yang dibawa air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan ke dalam hati kalian al-wahn". Kemudian para shahabat bertanya, "Wahai Rasulullah! Apakah al-wahn itu?". Beliau menjawab, "Cinta dunia dan takut mati" (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Al-wahn. Itulah yang menjadi penyebab kelemahan umat raksasa ini, yang menjadikan mayoritas jumlah tidak sebanding dengan penghormatan, perlakuan baik, perlindungan, dan jaminan keamanan serta keadilan.Â
Rasulullah sudah mengingatkan, bahwa di masa akan datang, masa kita ini, umat Islam akan memiliki jumlah besar, raksasa dalam kuantitas, mayoritas dalam perbandingan jumlah. Namun nasibnya hanya seperti sampah yang dibawa hujan: tak berarti, tak dianggap penting, hina, lemah dan tak berdaya. Dijadikan bulan-bulanan pun tak punya kuasa untuk menyelamatkan harga diri. Mau memiliki kekuatan, para penguasa menganggap anak tiri. Kenapa? Karena dalam pikiran umat ini sudah bersarang al-wahn: cinta dunia, takut mati.
Penyakit ini membuat seorang muslim lupa akhirat, memilih tanpa pertimbangan dosa-pahala, mengejar rupiah siang-malam seperti orang gila, merasa bergengsi bila punya rumah dan mobil mewah, merasa bangga punya pasangan cantik-tampan di muka. Bila diingatkan mati, jangankan berterimakasih, malah menganggap sedang diteror secara pikiran dan menghindar mati-matian. Inilah wujud dari sekulerisme, di mana umat Islam secara sadar atau tidak telah menceraikan urusan dunia dari urusan akhirat, menganggap masalah Islam dan syariat Allah hanya dibahas di masjid saja, bukan di tempat kerja, bukan di sekolah atau kampus, bukan di pasar, bukan di jalan-jalan, lebih bukan lagi dalam pertemuan para menteri, presiden dan anggota dewan perwakilan rakyat yang terhormat.Â
Bicara akhirat nanti-nanti bila ingat, urusan dunia harus dikejar sampai mati. Uang lebih menyilaukan daripada pahala, dosa kalah pamor dari cibiran tetangga atau hardikan penguasa dunia. Akibatnya, syariat Allah dianggap menentang hak asasi manusia, aturan Islam dianggap kemunduran. Negara berhak mengatur segalanya sesuai pendapat manusia, halal-haram bukan pertimbangan.
Masyarakat serba permisif, keimanan bukan menjadi tren. Ulama dicaci dan difitnah tiap hari, penista agama dihormati dan dibela tanpa henti. Inilah al-wahn, penyakit umat mematikan yang lebih familiar disebut sekulerisme. Selama umat ini terus merasa sehat-sehat saja, tidak menyadari sedang berpenyakit al-wahn kronis, selamanya nasib mayoritas ini tak akan lebih dari sampah terbawa hujan atau buih di lautan, lemah dan terhina, terbelakang dan termiskinkan.
Karena itu, mari semua bertobat wahai Saudaraku! Kita akhiri zaman peminggiran umat Islam ini dengan mewujudkan kekuatan kita sebenarnya: Islam dalam hati, perkataan, perbuatan dan langkah kita. Kita ambil Islam secara keseluruhan, kita taati aturan Allah tanpa ada yang ditinggalkan (QS. 2: 208).Â
Kita jadikan akhirat sebagai cita-cita pribadi, masyarakat dan negara. Kita hidupkan Islam di masjid, rumah-rumah, jalan-jalan, kampus-kampus, bahkan di pemerintahan. Kita miliki negara yang mengatur dan memutuskan dengan al-Qur'an dan Sunnah, bukan dengan nafsu pribadi atau partai dan para cukong di belakang. Hanya dengan itulah al-wahn akan hilang. Dan hanya dengan itulah martabat umat mayoritas ini tak lagi menjadi angan-angan, melainkan kenyataan yang ada dalam gengaman. Dengan izin Allah, dengan pertolongan-Nya, semua akan terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H