Mohon tunggu...
Indah Shofiatin
Indah Shofiatin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas, Alumnus FKM Unair

Hidup hari ini, menang di hari nanti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mayoritas Bernasib Minoritas

17 Maret 2018   16:42 Diperbarui: 17 Maret 2018   16:49 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Al-wahn. Itulah yang menjadi penyebab kelemahan umat raksasa ini, yang menjadikan mayoritas jumlah tidak sebanding dengan penghormatan, perlakuan baik, perlindungan, dan jaminan keamanan serta keadilan. 

Rasulullah sudah mengingatkan, bahwa di masa akan datang, masa kita ini, umat Islam akan memiliki jumlah besar, raksasa dalam kuantitas, mayoritas dalam perbandingan jumlah. Namun nasibnya hanya seperti sampah yang dibawa hujan: tak berarti, tak dianggap penting, hina, lemah dan tak berdaya. Dijadikan bulan-bulanan pun tak punya kuasa untuk menyelamatkan harga diri. Mau memiliki kekuatan, para penguasa menganggap anak tiri. Kenapa? Karena dalam pikiran umat ini sudah bersarang al-wahn: cinta dunia, takut mati.

Penyakit ini membuat seorang muslim lupa akhirat, memilih tanpa pertimbangan dosa-pahala, mengejar rupiah siang-malam seperti orang gila, merasa bergengsi bila punya rumah dan mobil mewah, merasa bangga punya pasangan cantik-tampan di muka. Bila diingatkan mati, jangankan berterimakasih, malah menganggap sedang diteror secara pikiran dan menghindar mati-matian. Inilah wujud dari sekulerisme, di mana umat Islam secara sadar atau tidak telah menceraikan urusan dunia dari urusan akhirat, menganggap masalah Islam dan syariat Allah hanya dibahas di masjid saja, bukan di tempat kerja, bukan di sekolah atau kampus, bukan di pasar, bukan di jalan-jalan, lebih bukan lagi dalam pertemuan para menteri, presiden dan anggota dewan perwakilan rakyat yang terhormat. 

Bicara akhirat nanti-nanti bila ingat, urusan dunia harus dikejar sampai mati. Uang lebih menyilaukan daripada pahala, dosa kalah pamor dari cibiran tetangga atau hardikan penguasa dunia. Akibatnya, syariat Allah dianggap menentang hak asasi manusia, aturan Islam dianggap kemunduran. Negara berhak mengatur segalanya sesuai pendapat manusia, halal-haram bukan pertimbangan.

Masyarakat serba permisif, keimanan bukan menjadi tren. Ulama dicaci dan difitnah tiap hari, penista agama dihormati dan dibela tanpa henti. Inilah al-wahn, penyakit umat mematikan yang lebih familiar disebut sekulerisme. Selama umat ini terus merasa sehat-sehat saja, tidak menyadari sedang berpenyakit al-wahn kronis, selamanya nasib mayoritas ini tak akan lebih dari sampah terbawa hujan atau buih di lautan, lemah dan terhina, terbelakang dan termiskinkan.

Karena itu, mari semua bertobat wahai Saudaraku! Kita akhiri zaman peminggiran umat Islam ini dengan mewujudkan kekuatan kita sebenarnya: Islam dalam hati, perkataan, perbuatan dan langkah kita. Kita ambil Islam secara keseluruhan, kita taati aturan Allah tanpa ada yang ditinggalkan (QS. 2: 208). 

Kita jadikan akhirat sebagai cita-cita pribadi, masyarakat dan negara. Kita hidupkan Islam di masjid, rumah-rumah, jalan-jalan, kampus-kampus, bahkan di pemerintahan. Kita miliki negara yang mengatur dan memutuskan dengan al-Qur'an dan Sunnah, bukan dengan nafsu pribadi atau partai dan para cukong di belakang. Hanya dengan itulah al-wahn akan hilang. Dan hanya dengan itulah martabat umat mayoritas ini tak lagi menjadi angan-angan, melainkan kenyataan yang ada dalam gengaman. Dengan izin Allah, dengan pertolongan-Nya, semua akan terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun