Adanya sebuah permasalahan yang muncul ditengah kehidupan manusia, menjadikan munculnya sebuah kearifan di tengah masyarakat yang terbentuk guna menyelesaikan permasalahan yang ada. Seperti yang terjadi pada masyarakat Petalangan. Suku Petalangan, merupakan kelompok masyarakat yang ada di kabupaten Pelalawan, provinsi Riau. Sebagian besar pemukiman pemukiman orang petalangan berada di dalam hutan, tepi hutan, dan juga di pinggiran sungai.Â
Masyarakat petalangan tidaklah termasuk golongan suku terasing, yang dimana sebuah kelompok yang tinggal ataupun hidup dan terisolasi dari peradaban global. Namun orang petalangan terkadang dianggap sebagai masyarakat yang bermutu rendah, bahkan kementrian sosial mengkategorikan mereka termasuk Komunitas Adat Terpencil (KAT).
Masyarakat petalangan lebih cenderung menolak budaya luar yang masuk, dan sangat menggenggam kuat adat yang telah turun temurun diwariskan oleh orang tua. Bahkan terdapat kalimat yang mereka tuturkan " Biar mati anak asal jangan mati adat ", kalimat tersebut sudah cukup jelas menggambarkan bagaimana kekukuhan mereka dalam memegang kuat sebuah tradisi lokal yang telah diwariskan.
Kesejahteraan masyarakat lokal petalangan terwujud dari bagaimana mereka mengelola sumber daya alam. Kehidupan mereka yang cenderung banyak di daerah hutan, secara langsung memaksa mereka untuk beradaptasi terhadap lingkungan, yang dimana hal tersebut akan melahirkan kearifan-kearifan lingkungan sebagai bentuk atau hasil yang tercipta dari pengalaman mereka dalam mengelola lingkungan. Biasanya, kearifan lokal akan memiliki makna yang mendalam dan hubungan yang lekat dengan agama atau kepercayaan dan hukum adat.
Masyarakat petalangan sendiri memiliki sebuah kearifan lokal yang sering disebut dengan "tradisi menumbai" atau "upacara menumbai". Tradisi ini merupakan sebuah ritual pengambilan madu dengan menurunkan sarang lebah dari pohon sialang. Pohon ini dapat tumbuh hingga 50-100 meter dan diameter batang 10-15 meter di tengah hutan.
Tinggi dan besar nya pohon sialang tentu menjadi salah satu penghambat masyarakat petalangan untuk meraih sarang lebah yang bergantungan di cabang cabang batang pohon, hal itu lah yang membuat ritual ini memerlukan berbagai alat-alat seperti; (1) Timba atau timbo, merupakan wadah yang diberi tali dan dibawa naik ke atas pohon untuk dijadikan tempat menampung sarang lebah yang telah dipanen.Â
(2) Tunam, merupakan alat yang digunakan untuk menyapu kerumunan lebah yang berada di sarang nya. Alat ini berbentuk semacam obor yang terbuat dari sabut kelapa kering yang kemudian dililit dan dimantrai (3) Ubo, yang merupakan tempat memeras sarang lebah untuk  memperoleh madu. (4)  Semangket, atau kayu-kayu yang diikat pada batang pohon sialang untuk dijadikan tangga.Â
Tradisi menumbai akan dilakukan masyarakat petalangan sekitar 2-3 kali setahun,  ketika didapati pohon sialang telah memiliki sarang lebah yang banyak dan penuh madu. Ritual pengambilan madu ini dilangsungkan pada malam hari ketika bulan sedang gelap tanpa pencahayaan. Dan dilakukan secara beramai-ramai. Proses ritual menumbai ini diawali dengan pembacaan doa dan mantra mantra serta dilengkapi dengan bahan bahan ritual seperti air, daun limau, cawan dan bunga bunga yang dilakukan di hadapan pohon sialang  dengan kepercayaan agar lebah mau naik dan bersarang di sarang nya.
Pada prosesi pemanjatan pohon sialang, tidak semua orang diperbolehkan naik dan mengambil serang lebah. Hanya beberapa orang khusus yang sering dikenal dengan sebutan "juagan tuo" dan "juagan mudo". Juagan tuo biasanya merupakan orang yang dituakan di tengah masyarakat Petalangan atau yang sudahn pernah melakukan ritual ini sebelumnya.Â
Ketika pembacaan doa dan mantra telah dilakukan, dan kemudian telah melakukan segala persiapan, juagan tuo akan naik dan dibantu oleh para anggota juagan mudo dengan semangket dan membawa alat alat serta bahan yang telah disiapkan. Pada proses naik, juagan tuo akan melantunkan mantra dan nyanyian untuk mengusir hewan-hewan liar dan berbisa yang bersarang disana. Salah satu bunyi mantra nya yaitu:
Mbat menghemat ake gadung
Mbat mai di ate tanggo
Kalau iya sialang ini
Lingkaran tedung dan nago
Tetaplah juo di banie kayu
Maksud dari kalimat diatas ialah, jika sialang dilingkari ular tedung (ular besar) dan naga sekali pun, hendaklah mereka tetap di tempatnya, di banir kayu, selama pohon dipanjat.
Setelah para juru panjat naik, nyanyian dan mantra akan kembali dilatunkan oleh juagan tuo, pada tahap ini sering disebut dengan  "Menuokan sialang".  Mantra dalam ritual ini berfungsi untuk menjinakan lebah dan meminta perlindungan kepada tuhan dari bahaya.Â
Masyarakat petalangan mempercayai bahwa lebah harus diperlakukan dengan baik, mereka menganggap bahwa lebah merupakan makhluk yang perlu dihormati  ketika dipanggil layaknya manusia, yakni panggilan Cik Dayang atau si Itam Mani, yang dimana cik dayang digunakan ketika menyapa seluruh lebah yang terdapat di pohon sialang, dan panggilan si Itam Mani untuk lebah lebah yang ditemukan oleh juagan di sarang lebah pohon sialang. Semua prosesi pada tradisi pasti terdapat mantra-mantra khusus yang akan dilantunkan, mulai dari berangkat bersama kearah pohon sialang hingga ritual selesai.
Para anggota juagan mudo akan ikut membantu juagan tuo menyapu lebah di atas pohon dan masyarakat petalangan lain nya yang berada di bawah pohon membantu mengumpulkan timbo berisi madu yang diturunkan dengan tali.
Tradisi menumbai ini juga menjadi salah satu sumber bagi orang-orang petalangan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagai pemanen madu. Hal itu juga yang menjadi alasan tradisi ini terus dijalankan dan diwariskan secara turun temurun kepada masyarakat petalangan, yang dimana tradisi ini menjadi sebuah kearifan ditengah mereka.
Hal ini dapat dibuktikan dari banyak nya manfaat yang ada dibalik seluruh rancangan tradisi menumbai, diantaranya dalam pemanfaatan sumber ekonomis, mereka memperlakukan alam dengan mempertimbangkan keseimbangan dan keteraturan.Â
Mereka memanfaatkan sumber-sumber yang disediakan alam tanpa merusaknya. Mereka mengambil madu tanpa menebang pohon bahkan merusak dahan tempat lebah bersarang. Cara mereka menyingkirkan lebah dengan obor sekaligus menjadi pelindung diri mereka tanpa membunuh lebah lebah di sarang nya. Tradisi menumbai petalangan menjadi sebuah konsep pemanfaatan sumber daya alam yang berbeda dengan konsep eksplorasi yang dilakukan oleh korporasi, pemerintah, bahkan para petani sawit di zaman ini.
Sumber :Â
Yance,I (2018) Ritual Menumbai Orang Petalangan dalam Perspektif Linguistik Antropologis. Patrawidya. Vol. 19, No. 3
Syafi'I,M (2018) Peranan Masyarakat Adat Petalangan dalam Mengamalkan Nilai Struktur Adat Berbasis Kearifan Lokal Lingkungan. Dinamika Lingkungan Indonesia. Vol. 5, No. 2
Zulfajri,M (2020) Etnografi Komunikasi Tradisi Menumbai Sialang di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. JOM FISIP. Vol.7
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI