Setiap hari, aku dituntut untuk bisa menghibur orang lain. Sehingga tidak ada waktu lagi untuk menghibur diriku sendiri. Ironis pekerjaan ini. Orang-orang menganggap aku lucu sementara aku menganggap mereka yang menertawakanku adalah menyebalkan.
Mereka berani membayarku mahal hanya untuk mengenyangkan rasa warasnya. Sementara aku, untuk membeli sepiring humor saja, tidak ada yang menjual. Padahal berapapun akan aku bayar kalau memang itu memenuhi selera humorku.
Akibat stroke, kondisi kesehatanku sangat payah. Mulut, tulang pipi dan leherku sudah tidak simetris lagi. Aku tak bisa berkata-kata, cuma bisa senyum dan senyum. Tidak ada orang yang tahu arti dan maksud dari senyumnya.
Hanya aku dan Tuhan saja yang tahu. He he he, Tuhan, kemana-mana ku cari yang menjual sepiring humor ternyata Kau punya selera humor juga. Dengan stroke yang menimpaku aku jadi ingat Kamu. He he he.”