Disuatu ketika sewaktu kami masih berstatus mahasiswa Arkeologi. Sebahagian dari kami sudah ada yang terlihat kecenderungan saintis pada dirinya. Dan mereka pun mulai terasuki dalam pola hidup 'ilmiah' tersebut.Â
Sibuk dengan buku-buku teori, terlibat dalam penelitian ilmiah dari sang dosen. Hingga suatu ketika saat refresh dan waktu untuk menunaikan shalat. Kami pun mengajaknya. Tapi beliau berkata. " maaf saya sudah tidak lagi melakukan ritual primitif itu". Kami tercengang, apa maksud dari perkataanya itu. Apakah bercanda atau serius. Entahlah.
Ternyata larut dalam sains harus menyiapkan mental, hati dan pikiran yang jernih. Agar tidak terpedaya oleh sains yang kita geluti. Sains tidak pernah berbohong dalam prosesnya.Â
Namun para pengguna dan aktifisnyalah yang perlu untuk cermat dan bijak, Â salah satu contoh saintis yang banyak memiliki pengikut dan pengaruh yaitu Stephen Hawking.fisikawan yang tak percaya akan adanya Tuhan (atheis). Dalam larutnya dengan fisika, Stephen Hawking lebih meyakini idea-ideanya daripada keberadaan Tuhan sebagai pencipta semesta.Â
Kontroversi pun mewarnai kancah sains. Dan banyak pula yang sainstiis yang mantap dengan berkeyakinan sesuai dengan apa yang diyakininya (agama).Â
Moralitas dan spritualitas adalah dua hal yang saling memenuhi. Sains pun harus memiliki aspek tersebut. Sains menawarkan mentalitas yang berpegang teguh pada unsur-unsur ilmiah. Obyektif, Sistematis dan bisa diterima oleh semua orang. Jika seandainya setiap manusia memahami sains sebagai bentuk keberkahan ilmu dan memberi manfaat maka akan bertambahlah keimanan mereka. Dan sains bisa menjadi wasilahnya.
"Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain." (H.R. Bukhari).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H