Mereka yang marah itu mungkin dikarenakan iri saja, mengapa pergantian tahun tidak berdasarkan budaya mereka. Itu sebenarnya lebih banyak karena disebabkan oleh keterbelakangan budaya mereka. Itu fakta dan memang menyakitkan, tetapi waktu tidak bisa dibalikkan lagi.
Keesokan harinya, Kratominus berjalan ke pasar, di mana ia mendengar pembicaraan para pedagang tentang tahun baru yang akan segera tiba.
"Sudah siap pesta nanti malam?" tanya seorang pedagang buah pada tetangganya.
"Tentu saja! Kami akan menyalakan obor di depan rumah dan membuat bubur kacang hijau. Anak-anak pasti senang!" jawabnya sambil tertawa.
Namun, di sudut lain, seorang pria tua dengan jubah lusuh menggelengkan kepala. "Semua itu hanya buang-buang waktu. Tahun baru? Tidak ada yang benar-benar baru. Kita hanya mengulang hal yang sama."
Kratominus mendekati pria itu. "Pak, kenapa Bapak berpikir begitu?"
Pria itu menoleh dan menatap Kratominus tajam. "Karena waktu itu ilusi, anak muda. Semua ini hanyalah hitungan manusia. Apa bedanya malam ini dengan malam kemarin? Hanya karena angka berubah, kau pikir dunia akan berubah juga?"
Kratominus terdiam, memikirkan ucapan pria itu. Tapi kemudian, ia berkata, "Mungkin angka itu tidak mengubah dunia, Pak. Tapi harapan yang muncul dari angka itulah yang membuat manusia terus berjalan."
Pria itu tersenyum samar, lalu berjalan pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Hari itu, Kratominus merasa semakin yakin bahwa perayaan tahun dan milenium adalah bagian dari perjalanan manusia. Bukan soal protes atau pengakuan, tapi tentang bagaimana manusia memberi makna pada waktu, berharap hari esok selalu lebih baik dari hari ini.
Karena setuju atau tidak, marah atau tidak, iri atau tidak, protes atau tidak, pergantian tahun tetap berlangsung dan kita juga semua menjalani hidup bersama di tahun yang sudah berganti itu.