Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hidup dalam Bayangan Kemiskinan

9 Desember 2024   07:33 Diperbarui: 9 Desember 2024   10:55 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kedua orang tua kita meninggal, dunia yang kita kenal seakan runtuh. Mereka adalah tempat berpulang, tempat kita merasa aman, dan sumber nasihat yang tak pernah kering.

Namun, kepergian mereka sering kali membuka tabir kehidupan yang baru---tabir yang menyadarkan kita bahwa dunia ini tidak selalu sebaik yang kita bayangkan. Dalam kerapuhan, di tengah duka mendalam, ada kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh keluarga besar: "Kalau ada kesulitan, katakan saja pada kami."

Kata-kata ini terdengar menenangkan, seolah ada jaminan bahwa kita tidak akan berjalan sendirian. Tapi apa yang terjadi ketika ucapan itu diuji oleh kenyataan?

Tidak jarang, janji itu hanya tinggal janji. Saat membutuhkan, kita menemukan bahwa banyak dari mereka yang mengucapkannya hanya mengatakannya untuk formalitas, tanpa niat untuk benar-benar membantu.

Ada kalanya ketika kita mencoba meminta pertolongan, respons yang kita dapatkan hanyalah kebisuan atau dalih. Mereka yang tadinya terlihat peduli tiba-tiba menghilang.

Pesan yang kita kirim diabaikan, bahkan mungkin dihapus tanpa sempat dibaca. Lalu kita bertanya pada diri sendiri: mengapa?

Janji Kosong dalam Lingkaran Keluarga

Banyak yang berkata bahwa keluarga adalah tempat berlindung terakhir, terutama di saat kesusahan. Tapi kenyataan sering kali berbeda. Ketika kita kehilangan orang tua, ada jarak yang perlahan terbentuk antara kita dan kerabat yang dulu tampak dekat.

Mungkin bukan karena mereka tidak peduli, tetapi ada prioritas lain dalam hidup mereka yang lebih penting dari sekadar membantu kita. Hidup masing-masing orang penuh dengan tuntutan---pekerjaan, anak-anak, atau masalah finansial mereka sendiri.

Tapi ada hal lain yang lebih menyakitkan: kesadaran bahwa uang dapat mengubah segalanya. Tidak jarang kita mendapati bahwa hubungan darah tidak selalu menjamin kasih sayang atau bantuan.

Ketika kita miskin, mereka yang kaya cenderung merasa superior. Bagi mereka, kita mungkin hanya beban tambahan. Di tengah keadaan ini, ungkapan bahwa uang tidak bersaudara menjadi semakin terasa nyata.

Dusta Para Penguasa

Di dunia luar, tidak hanya keluarga yang menawarkan janji kosong. Kita sering mendengar para calon legislatif dan kepala daerah berjanji dengan penuh keyakinan untuk membantu rakyat kecil.

Mereka berdiri di atas panggung, tersenyum penuh percaya diri, sambil mengatakan bahwa mereka akan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Kata-kata mereka terasa seperti secercah harapan, terutama bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan. Tapi sekali lagi, kenyataan sering kali bertolak belakang.

Setelah mereka terpilih dan berhasil duduk di kursi kekuasaan, harapan itu berubah menjadi kecewa. Pesan-pesan yang kita kirim tidak direspons, bahkan mungkin dihapus sebelum sempat dibaca.

Ada yang dengan sengaja mengatur penghapus otomatis pada aplikasi pesan mereka, agar tidak perlu repot-repot membaca permohonan kita. Ini bukan sekadar pengabaian, tetapi cerminan dari sistem yang tidak peduli pada mereka yang membutuhkan.

Para pemimpin ini mungkin merasa tidak bertanggung jawab kepada rakyat, kecuali saat pemilihan berikutnya mendekat. Pada saat itulah mereka kembali dengan janji-janji manis yang sama, berharap bahwa kita melupakan kekecewaan sebelumnya. Tapi, apakah kita benar-benar bisa melupakan?

Mengapa Kemiskinan Dipandang Sebelah Mata

Hidup dalam kemiskinan adalah perjuangan yang melelahkan, tidak hanya karena kekurangan materi, tetapi juga karena kurangnya empati dari orang lain. Dalam masyarakat, orang miskin sering dianggap tidak berharga.

Ketika kita miskin, banyak orang yang menganggap kita tidak memiliki hak untuk bermimpi atau berbicara tentang kebutuhan.

Ironisnya, mereka yang kaya sering kali lupa bahwa kemiskinan bukanlah pilihan. Tidak ada orang yang ingin hidup dalam kekurangan. Namun, stigma yang melekat pada kemiskinan membuat orang miskin sering kali diperlakukan dengan tidak adil.

Bahkan dalam keluarga sendiri, kemiskinan bisa menjadi alasan untuk menciptakan jarak. Orang-orang yang tadinya akrab mulai menjauh karena takut terlibat dalam kesulitan kita.

Pelajaran dari Kehidupan yang Kejam

Ketika kita merenungkan kenyataan ini, kita sadar bahwa hidup mengajarkan kita banyak hal. Salah satunya adalah bahwa tidak ada yang benar-benar peduli pada kita selain diri kita sendiri.

Jika kita tidak berjuang untuk keluar dari kemiskinan, tidak ada yang akan membantu kita. Kata-kata manis, baik dari keluarga maupun pemimpin, hanyalah ilusi.

Kita perlu menerima kenyataan bahwa dunia ini keras. Ini bukan alasan untuk menyerah, tetapi alasan untuk bangkit dan bekerja lebih keras. Kita harus belajar untuk mandiri, tidak menggantungkan diri pada orang lain, dan menemukan cara untuk mengubah nasib kita sendiri.

Harapan dalam Kegelapan

Meski kenyataan sering kali pahit, bukan berarti kita harus kehilangan harapan. Dalam kesendirian, ada kekuatan yang bisa kita temukan. Kita bisa belajar untuk bergantung pada diri sendiri dan mencari komunitas yang benar-benar peduli.

Tidak semua orang di dunia ini egois atau tidak peduli. Masih ada orang-orang baik yang mau membantu, meskipun jumlahnya sedikit.

Selain itu, kita bisa menggunakan pengalaman ini untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ketika kita berhasil keluar dari kemiskinan, kita bisa membantu mereka yang masih berjuang.

Dengan cara ini, kita tidak hanya mengubah nasib kita sendiri, tetapi juga menciptakan dunia yang sedikit lebih baik untuk orang lain.

Pesan Akhir Yang Patut Diperhatikan

Kehidupan sering kali penuh dengan ironi dan ketidakadilan. Kata-kata manis bisa berubah menjadi pisau yang menusuk ketika harapan kita tidak terpenuhi. Tapi meskipun dunia ini keras, kita tidak boleh menyerah. Kita harus terus berjuang, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk mereka yang kita cintai.

Jika kita tidak ingin terjebak dalam siklus kemiskinan, kita harus bekerja keras dan mengambil kendali atas hidup kita. Tidak ada yang akan mengubah nasib kita kecuali kita sendiri.

Meskipun uang tidak bersaudara, kita bisa menjadi saudara bagi sesama manusia, dengan menunjukkan empati dan kasih sayang yang tulus. Karena pada akhirnya, itulah yang benar-benar membuat hidup ini berharga.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun