Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Beras Operasi Pasar Yang Berisi Pasir

25 November 2024   15:34 Diperbarui: 30 November 2024   07:30 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://tirto.id/bulog-gencar-operasi-pasar-beras-efektif-atasi-kenaikan-harga-gPJA

Hidup di sebuah kota kecil yang hiruk pikuk dengan permasalahan ekonomi, rakyat menghadapi kenyataan pahit setiap harinya. Harga kebutuhan pokok terus meroket, sementara pendapatan mereka tidak bertambah, bahkan sebagian semakin tergerus.

Tidak ada jalan keluar yang mudah. Para ibu rumah tangga harus berhitung dengan cermat, memastikan setiap rupiah digunakan seefisien mungkin. Di warung-warung, diskusi utama adalah soal harga beras, minyak, dan kebutuhan lainnya yang semakin tak terjangkau.

Setiap sudut kampung dipenuhi keluhan yang sama: "Kapan keadaan akan membaik?"

Dodol, seorang pria paruh baya yang tinggal di salah satu sudut kota kecil tersebut, merasa situasi ini semakin menekan hidupnya. Dodol adalah seorang buruh serabutan yang bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Setiap pagi ia berangkat dari rumah dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang cukup untuk membawa pulang makanan bagi istri dan kedua anaknya. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, hidupnya terasa semakin berat.

Harga beras yang merupakan kebutuhan pokok melonjak tinggi, membuat penghasilannya terasa tidak cukup meskipun ia bekerja seharian penuh. Minyak goreng dan deterjen pun, yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan, kini menjadi barang mewah yang sulit didapat.

Hari itu, terdengar kabar bahwa pemerintah setempat akan mengadakan operasi pasar. Operasi pasar adalah momen yang selalu ditunggu oleh warga. Dengan harapan besar, Dodol dan banyak warga lainnya segera bersiap menuju lokasi di mana barang-barang kebutuhan pokok akan dijual dengan harga lebih terjangkau.

Dodol pun berjalan kaki cukup jauh menuju pasar yang berada di lapangan kota. Di sana, ia mendapati kerumunan orang yang memadati tempat tersebut. Ibu-ibu berdesakan dengan membawa kantong belanja, sementara bapak-bapak seperti dirinya berbaris dengan wajah penuh harapan.

Ketika akhirnya tiba gilirannya, Dodol membeli beberapa kebutuhan pokok yang dijual di operasi pasar itu. Ia membeli beras, minyak goreng, dan deterjen. Senyum tipis muncul di wajahnya ketika ia membayar dengan uangnya yang sangat terbatas dan menerima barang-barang tersebut.

Rasanya seperti sebuah kemenangan kecil di tengah segala kesulitan yang ia hadapi. Dalam hatinya, Dodol berpikir bahwa setidaknya ia bisa membawa pulang makanan untuk keluarganya malam itu.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Sesampainya di rumah, ketika ia membuka karung beras yang dibeli, ia dikejutkan oleh sesuatu yang tidak diduga-duga.

Beras itu tidak seperti beras yang biasa ia beli. Warnanya kusam, ada banyak butiran pasir halus yang bercampur di dalamnya, bahkan ia menemukan beberapa potongan kecil batu.

Dodol terdiam. Ia mencoba mengambil segenggam beras itu, memeriksanya lebih dekat, dan semakin yakin bahwa ini bukan beras yang layak untuk dimakan.

"Ma, lihat ini," kata Dodol memanggil istrinya, Rina.

Dengan ragu, Rina mendekati Dodol dan melihat beras itu. Ia mengerutkan dahi, lalu mengambil beberapa butir untuk memastikannya. Benar saja, pasir yang bercampur dengan beras membuat mereka saling berpandangan dalam kebingungan.

"Beras ini berpasir? Kok bisa begitu?" Rina bertanya dengan nada penuh keheranan.

Dodol menggeleng pelan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Apakah semua beras yang dijual di operasi pasar itu sama kualitasnya, atau hanya kebetulan ia yang mendapat bagian seperti ini?

Namun, ia tidak punya waktu untuk terlalu banyak berpikir. Anak-anak mereka sudah lapar, dan mereka tidak punya pilihan lain selain mencoba membersihkan beras itu semampu mungkin sebelum memasaknya.

Malam itu, Rina dengan sabar mencuci beras tersebut. Ia membuang pasir-pasir kecil yang menempel dan mencoba memisahkan butiran beras dari batu-batu kecil yang bercampur.

Meski sudah beberapa kali dicuci, tetap saja ada rasa khawatir apakah beras itu aman untuk dimakan. Tapi mereka tidak punya pilihan lain. Ketika nasi akhirnya matang, aroma yang tercium tidak seperti nasi biasanya. Namun, Dodol dan keluarganya tetap makan dengan rasa syukur, meskipun mereka tahu nasi itu jauh dari sempurna.

Hari berikutnya, Dodol memutuskan untuk kembali ke pasar, bukan untuk membeli lagi, melainkan untuk mencari tahu apakah warga lain mengalami hal yang sama. Ia menemui beberapa tetangganya yang juga membeli beras dari operasi pasar itu.

Ternyata, cerita mereka serupa. Salah satu tetangga Dodol, seorang ibu bernama Wati, bahkan mengeluh bahwa anaknya sakit perut setelah makan nasi dari beras itu.

"Ini tidak adil, Pak Dodol," kata Wati dengan nada frustrasi. "Kita ini sudah susah, sudah berdesak-desakan di pasar, tapi dapatnya beras seperti ini. Pemerintah seharusnya membantu kita, bukan malah memberi barang yang tidak layak."

Kata-kata Wati membuat Dodol berpikir keras. Ia merasa marah dan kecewa, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Sebagai rakyat kecil, ia merasa suaranya tidak akan didengar.

Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia mulai berbicara dengan lebih banyak orang di kampungnya, mencoba mengumpulkan cerita dan pengalaman mereka.

Ia ingin memastikan bahwa kejadian ini tidak hanya menjadi keluhan diam-diam di antara warga, tetapi bisa sampai kepada pihak yang bertanggung jawab.

Beberapa hari kemudian, Dodol bersama beberapa tetangganya memutuskan untuk pergi ke kantor kelurahan. Mereka ingin menyampaikan langsung keluhan mereka tentang kualitas beras yang dijual di operasi pasar.

Di kantor kelurahan, mereka diterima oleh seorang staf yang tampak sibuk dan tidak terlalu peduli. Dengan nada santai, staf itu hanya berkata bahwa barang-barang yang dijual di operasi pasar berasal dari pihak distributor dan pemerintah hanya bertugas mendistribusikannya kepada warga.

"Kalau ada masalah dengan kualitas barang, kami tidak bisa berbuat banyak," kata staf itu dengan nada acuh tak acuh.

Mendengar itu, amarah Dodol semakin memuncak. Ia merasa bahwa rakyat kecil seperti dirinya selalu menjadi korban dari kebijakan yang tidak peduli pada kualitas hidup mereka.

Namun, ia tidak menyerah. Bersama dengan beberapa warga lainnya, ia memutuskan untuk mencari informasi lebih jauh tentang asal-usul beras yang dijual di operasi pasar tersebut.

Melalui seorang kenalan, Dodol akhirnya mendapatkan informasi bahwa beras tersebut berasal dari sebuah gudang penyimpanan yang kualitasnya sering dipertanyakan.

Banyak yang mengatakan bahwa beras di gudang itu sudah lama disimpan, sehingga beberapa di antaranya mengalami kerusakan. Bahkan ada yang mencurigai bahwa pasir dan batu-batu kecil itu berasal dari proses pengemasan yang tidak bersih.

Dengan informasi itu, Dodol dan kelompok kecil warga lainnya mulai menggalang dukungan dari masyarakat. Mereka membuat petisi sederhana yang berisi tuntutan agar pemerintah lebih serius dalam memastikan kualitas barang yang dijual di operasi pasar.

Dalam waktu singkat, petisi itu mendapatkan banyak tanda tangan dari warga kampung, termasuk dari ibu-ibu yang selama ini menjadi korban utama dari masalah tersebut.

Berbekal petisi itu, Dodol dan perwakilan warga kembali ke kantor kelurahan. Kali ini, mereka menuntut untuk bertemu langsung dengan kepala kelurahan. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya kepala kelurahan bersedia menemui mereka.

Dalam pertemuan itu, Dodol dengan penuh emosi menceritakan apa yang dialami oleh dirinya dan warga lainnya. Ia menunjukkan bukti berupa sampel beras yang berpasir, serta petisi yang telah ditandatangani oleh ratusan warga.

"Kami tidak meminta banyak, Pak," kata Dodol dengan suara yang tegas tapi penuh rasa hormat.

"Kami hanya ingin pemerintah memperhatikan kami dengan lebih serius. Kalau memang ada bantuan atau operasi pasar, tolong pastikan barang-barang yang diberikan benar-benar layak untuk dikonsumsi."

Kepala kelurahan tampak terkejut mendengar cerita itu. Ia berjanji akan menyampaikan keluhan tersebut kepada pihak yang lebih tinggi. Meski begitu, Dodol tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai.

Ia sadar bahwa perubahan tidak akan terjadi dengan cepat, tetapi setidaknya ia telah mengambil langkah pertama untuk memperjuangkan hak mereka sebagai rakyat kecil.

Hari-hari berikutnya, kabar tentang petisi itu mulai tersebar ke kampung-kampung lain. Warga di daerah lain yang menghadapi masalah serupa mulai bergerak, mengikuti jejak yang dilakukan oleh Dodol dan teman-temannya.

Di media lokal, cerita tentang beras berpasir di operasi pasar mulai menjadi berita utama. Tekanan dari masyarakat akhirnya memaksa pihak berwenang untuk melakukan investigasi lebih lanjut.

Beberapa minggu kemudian, Dodol mendengar kabar bahwa pemerintah telah memutus kontrak dengan distributor yang memasok beras berpasir tersebut. Selain itu, operasi pasar berikutnya dijanjikan akan diawasi dengan lebih ketat agar masalah serupa tidak terulang lagi. Meskipun belum sempurna, Dodol merasa bahwa perjuangan kecil mereka telah membuahkan hasil.

Kini, setiap kali ia melewati pasar, Dodol merasa ada sedikit kebanggaan dalam hatinya. Ia tidak lagi hanya menjadi penonton dalam kesulitan hidupnya, tetapi menjadi seseorang yang berani melangkah untuk mencari perubahan.

Baginya, ini bukan sekadar soal beras berpasir, tetapi soal martabat dan harapan untuk hidup yang lebih baik bagi keluarganya dan semua warga kampung.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun