Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Drusila, Mesin Tawa yang Tak Kenal Rem

3 November 2024   06:57 Diperbarui: 3 November 2024   07:08 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Drusila! Ya ampun, Drusila! Aku sudah tidak tahan lagi," teriak Selma, menghempaskan tas belanjanya ke meja.

Dia menatap sekeliling rumah dengan wajah antara putus asa dan putus akal. Rumah itu sudah berubah menjadi arena sirkus yang kacau.

Ada kaus kaki tergeletak di kursi, piring kotor berserakan di meja, dan entah kenapa, ada sapu yang tergantung di jendela seperti bendera perang.

Di tengah kekacauan itu, tentu saja, ada Drusila. Dengan suara musik TikTok berdentum-dentum, Drusila bergerak seperti ular kobra yang habis menelan badak.

Dia melompat-lompat sambil memutar-mutar tangan, membuat gerakan tarian yang bisa membuat manusia normal pingsan karena malu jika mencoba menirunya.

"Hah? Bau parfum apa sih ini?!" Drusila tiba-tiba menghentikan gerakannya dan menutup hidungnya seperti sedang menghadapi bau paling mengerikan di dunia.

"Mau muntah rasanya. Serius, Selma, ini parfum atau cairan pembersih lantai? Astaga, sampai kepalaku mau pecah nih!"

Selma, yang baru saja berusaha mengambil napas setelah perjalanan berat di pasar, hanya bisa terdiam, wajahnya berubah merah seperti tomat yang baru digoreng. Tentu saja, Drusila tidak menyadari ekspresi Selma.

Atau lebih tepatnya, dia tidak peduli. Drusila itu seperti mesin uap kata-kata, terus menembak kalimat-kalimat tanpa jeda, tak memberi ruang bagi siapa pun untuk menyela.

"Kamu nggak tahu ya kalau bau-bau kayak gini bisa bikin orang pingsan? Untung aku masih hidup," tambah Drusila.

Drusila berlagak dengan drama yang begitu berlebihan, seolah-olah dia baru saja selamat dari gempa bumi skala sepuluh. Selma memandangi kakak iparnya itu, menghela napas seperti seekor sapi tua yang kelelahan.

Dalam pikirannya, Selma sempat berpikir: mungkin, mungkin saja, lebih mudah berdiskusi dengan GPS yang kehilangan arah ketimbang dengan Drusila. Setiap kali Selma mencoba bicara, Drusila pasti menembakkan lebih banyak kalimat, seperti kereta super cepat yang tak pernah berhenti.

"Dan ya ampun, lihat ini!" Drusila melanjutkan, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru saja melihat unicorn.

Dia mengangkat ponselnya, memperlihatkan video TikTok terbarunya. "Aku sudah dapat 300 like untuk gerakan 'Ayam Berjoget' ini. Lucu banget, kan? Aduh, aku rasa aku bakal jadi bintang TikTok suatu hari. Bayangin, Selma, aku terkenal! Terke-naaalll! Hahahaha!"

Selma hanya bisa memutar matanya ke langit-langit, seolah meminta bantuan dari para dewa. Hidup bersama Drusila itu berarti melawan harapan agar segalanya bisa tenang dan rapi.

Di sudut ruangan, tumpukan baju kotor sudah membentuk sesuatu yang mirip Gunung Everest versi kain. Selma menghela napas panjang, sangat panjang.

"Drusila, kamu tuh makan terus dari luar. Gimana nggak makin... eh, makin sehat," kata Selma.

Dia hampir mengatakan Drusila semakin gendut. Barusan dia memilih kata-kata sehalus mungkin, seperti sedang berjalan di atas ladang ranjau. Namun, Drusila menatapnya dengan tajam.

"Aku ini bukan gemuk, Selma," katanya, dengan nada penuh keyakinan.

"Aku... seperti awan di langit. Besar, empuk, dan mempesona! Awan itu nggak pernah merasa bersalah kalau menutupi matahari, jadi aku juga nggak akan!"

Selma tidak tahu harus tertawa atau menangis. Drusila punya bakat luar biasa dalam memutarbalikkan logika. Dia bisa mengubah kekurangan menjadi kebanggaan dengan cara yang membuat kepala orang lain pusing tujuh keliling.

Sementara itu, adik Drusila, Rino, mencoba bicara serius. "Kak, kamu nggak mau coba makan sehat dan olahraga sedikit?" tanyanya dengan hati-hati, seperti orang yang sedang mengelus singa lapar.

Namun, sebelum dia sempat melanjutkan, Drusila sudah meluncurkan pidato panjang.

"Rino! Kamu tahu nggak, diet itu bisa bikin orang kelaparan dan stres? Bayangkan, kamu nggak boleh makan pizza atau burger! Apa gunanya hidup tanpa kenikmatan? Hidup itu harus dinikmati, bukan disiksa!"

Rino menyerah, mengangkat tangan seperti pemain bola yang baru saja dikenai pelanggaran. Dia berjalan pergi, mencari hiburan dalam bentuk buku astronomi. Kadang-kadang dia merasa bintang-bintang di langit lebih mudah dipahami daripada kakaknya.

Di hari lain, Selma sedang berusaha menyelamatkan rumah dari kekacauan. Tapi Drusila, yang selalu penuh energi seperti mesin diesel, tiba-tiba melompat dengan ide baru.

"Selma! Rekam aku!" serunya, melempar tumpukan baju ke sofa seperti seorang atlet angkat besi.

"Aku punya ide konten baru. Bayangkan aku jadi alien yang terjebak di Bumi! Ya ampun, pasti viral!"

Selma sudah pasrah. "Drusila, mungkin kamu bisa bantu aku dulu lipat baju ini?" Selma mencoba, dengan nada suara yang hampir memohon.

Tapi tentu saja, Drusila tidak mendengarkan. Dia sudah masuk mode kreatif. Dalam kepalanya, dia adalah sutradara, aktor, dan produser TikTok yang paling berbakat di dunia.

"Selma, ini harus segera direkam! Kapan lagi aku punya ide sebrilian ini?" katanya, mata berkilat-kilat seperti lampu disko.

Selma menghela napas panjang, lagi. Kadang-kadang dia merasa paru-parunya bekerja keras hanya untuk bertahan hidup bersama Drusila.

Sementara itu, tetangga mereka, Bu Rina, sedang berjalan meregangkan diri di halaman rumahnya. Dia mendengar kegaduhan dari rumah Drusila dan menggelengkan kepala.

"Astaga, Drusila lagi-lagi beraksi," gumamnya sambil bergerak ke dalam rumah dan menyesap teh hangatnya. "Kapan ya rumah itu bisa tenang?"

Dan itulah Drusila. Wanita yang tidak pernah kehabisan energi, ide gila, atau komentar-komentar pedas. Jika ada yang bertanya apakah dunia akan lebih baik tanpa Drusila, mungkin jawabannya adalah tawa yang tak bisa ditahan.

Karena meskipun dia seperti tornado dalam bentuk manusia, satu hal yang pasti: dia membuat segalanya lebih hidup, penuh warna, dan tentu saja, lebih membingungkan.

Sedangkan tukang kebun Bu Rina, Pak Raji, yang sedang memangkas tanaman biar rapi, meski bentuknya sering malah menyerupai pentungan polisi atau brokoli raksasa, juga mendengar kegaduhan yang dibuat Drusila di rumah sebelah.

Pak Raji langsung meletakkan gunting tanaman besar yang, kalau dilihat-lihat, seukuran pedang ksatria.

Ia menggeleng-geleng sambil berbisik, "Aduh, Drusila lagi, ya? Kalau jendela dan pintu rumah itu hilang, pasti bunyinya seperti konser rock yang dihadiri para kelelawar... dan yang mimpin orkestra adalah Drusila!" Wajah Pak Raji berubah serius.

Pak Raji mulai mengimajinasikan Drusila yang menyanyikan lagu-lagu heavy metal dengan suara serak mirip setrika berkarat, sambil mengibas-ngibaskan rambut, eh, bulu, dengan gaya bintang rock.

"Untung aja Bu Rina udah tahan mental," gumam Pak Raji, lalu melanjutkan memangkas tanaman dengan bentuk yang kini mirip awan marah.

"Kalau enggak, mungkin dia sudah memesan helm anti-getar buat semua penghuni di sekitar sini. Setiap suara Drusila seperti guntur di siang bolong, bikin jantung mau lompat dari dada, bukan ke rumah sakit, tapi ke sirkus!"

Pak Raji pun tertawa sendiri membayangkan Drusila memaksa lewat jendela yang terkunci sambil melatih teriakannya seperti penyanyi yang lupa lirik lagu. "Kasihan Bu Rina... Kasihan tanaman... Tapi, hei, kalau suara Drusila bisa jadi nada dering ponsel, semua orang pasti terbangun dari tidur nyenyak, bahkan ayam jago bisa jadi fans beratnya!"

Sedangkan Pak Rinto, yang sedang menyapu halamannya dengan semangat 45, seolah-olah setiap daun kering adalah musuh bebuyutan yang harus diusir dari dunia, terpana mendengar kegaduhan Drusila di rumah sebelah.

Ia berhenti menyapu, sapunya terangkat ke udara seperti tongkat penyihir yang gagal mengucapkan mantra, sambil ia mencoba memahami teriakan Drusila.

"Ya ampun, itu suara Drusila lagi?" pikir Pak Rinto dengan wajah penuh kekhawatiran, seperti orang yang baru saja melihat dompetnya kosong padahal mau traktir teman-teman.

Ia mulai berpikir, "Drusila ini, kalau ikut lomba teriak mungkin bisa menangin medali emas... atau minimal bikin juri kabur dan cari perlindungan ke rumah sakit jiwa!"

Tapi ingatan Pak Rinto tak berhenti di situ. Ia mendadak termenung, mengingat kisah hidupnya yang lebih dramatis dari sinetron sepanjang 1000 episode.

Setiap hari Minggu, ia pulang ke rumah setelah bertugas jauh di kampung, penuh harapan untuk menikmati masa tenang bersama istrinya. Tapi apa daya, nasib justru menamparnya seperti tamparan sandal jepit di kepala.

Istrinya malah sibuk bermain cinta dengan anak muda tetangga yang belum kawin, seolah-olah kehidupan ini adalah reality show berjudul "Cinta di Balik Pagar."

Pak Rinto menghela napas panjang, menghibur dirinya sendiri, "Untunglah istriku sudah operasi steril! Bayangkan kalau nggak... Eh, kok saya malah bersyukur, ya?!" Ia mengelus dada sambil terkekeh, seperti orang yang baru menyadari bahwa setidaknya dalam segala kekacauan, ada keuntungannya juga.

Ia kembali menyapu dengan sapu yang kini terlihat lebih seperti teman curhat setia. "Ya, nasib... nasib," katanya, "Setidaknya saya masih punya sapu dan daun kering. Mereka setia sama saya, nggak pernah selingkuh... walau tiap hari ketemu."

Tapi begitulah Drusila. Tanpa kehadirannya, dunia pasti terasa seperti taman bermain yang tutup gara-gara hujan deras. Bayangkan saja: langit mendung, angin sepoi-sepoi yang terlalu malas untuk menghibur, dan burung-burung yang lebih suka ngambek daripada bernyanyi.

Tidak ada Drusila yang memekik keras, tidak ada suara seperti mikrofon rusak yang bikin tetangga melonjak dari kursi sambil memegangi dada, berharap jantung mereka masih berdetak dengan sopan.

Drusila adalah artis dadakan di lingkungan itu, satu-satunya makhluk yang bisa menyanyikan opera versi remix sambil berlari-lari tanpa tujuan, seolah-olah dia sedang latihan lari maraton tanpa tahu garis finish-nya di mana.

Bagi mereka yang patah hati, Drusila adalah obat mujarab. Siapa yang sempat menangis karena cinta ketika suara Drusila bisa mengalahkan suara sirene ambulans?

Bahkan yang patah hati paling parah pun akhirnya tersenyum miris dan berkata, "Ah, tidak apa-apa dicampakkan pacar... setidaknya telinga saya masih bisa mendengar 'konser' Drusila setiap hari."

Tanpa Drusila, dunia jadi sepi, seperti taman tanpa anak-anak atau sirkus tanpa badut yang jatuh terpeleset.

Kegilaan Drusila itu adalah hiburan yang tak tergantikan, seperti paket lengkap: satu bagian kehebohan, satu bagian komedi, dan bonus tambahan berupa kejutan suara yang bisa bikin kucing tetangga loncat ke pohon mangga tanpa aba-aba!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun