Dalam pikirannya, Selma sempat berpikir: mungkin, mungkin saja, lebih mudah berdiskusi dengan GPS yang kehilangan arah ketimbang dengan Drusila. Setiap kali Selma mencoba bicara, Drusila pasti menembakkan lebih banyak kalimat, seperti kereta super cepat yang tak pernah berhenti.
"Dan ya ampun, lihat ini!" Drusila melanjutkan, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru saja melihat unicorn.
Dia mengangkat ponselnya, memperlihatkan video TikTok terbarunya. "Aku sudah dapat 300 like untuk gerakan 'Ayam Berjoget' ini. Lucu banget, kan? Aduh, aku rasa aku bakal jadi bintang TikTok suatu hari. Bayangin, Selma, aku terkenal! Terke-naaalll! Hahahaha!"
Selma hanya bisa memutar matanya ke langit-langit, seolah meminta bantuan dari para dewa. Hidup bersama Drusila itu berarti melawan harapan agar segalanya bisa tenang dan rapi.
Di sudut ruangan, tumpukan baju kotor sudah membentuk sesuatu yang mirip Gunung Everest versi kain. Selma menghela napas panjang, sangat panjang.
"Drusila, kamu tuh makan terus dari luar. Gimana nggak makin... eh, makin sehat," kata Selma.
Dia hampir mengatakan Drusila semakin gendut. Barusan dia memilih kata-kata sehalus mungkin, seperti sedang berjalan di atas ladang ranjau. Namun, Drusila menatapnya dengan tajam.
"Aku ini bukan gemuk, Selma," katanya, dengan nada penuh keyakinan.
"Aku... seperti awan di langit. Besar, empuk, dan mempesona! Awan itu nggak pernah merasa bersalah kalau menutupi matahari, jadi aku juga nggak akan!"
Selma tidak tahu harus tertawa atau menangis. Drusila punya bakat luar biasa dalam memutarbalikkan logika. Dia bisa mengubah kekurangan menjadi kebanggaan dengan cara yang membuat kepala orang lain pusing tujuh keliling.
Sementara itu, adik Drusila, Rino, mencoba bicara serius. "Kak, kamu nggak mau coba makan sehat dan olahraga sedikit?" tanyanya dengan hati-hati, seperti orang yang sedang mengelus singa lapar.