Suasana di kantor semakin panas, tetapi di dalam hati setiap pegawai justru semakin terhibur dengan perang mulut antara Butut dan Buruk yang terus memanas.
Akhirnya, dengan gerakan dramatis, Buruk beranjak dari tempatnya dan menatap Pak Heri dan Butut dengan penuh rasa tak percaya.
"Pak Heri, saya protes! Ini bukan lagi sekadar urusan KTP! Ini soal harga diri, soal kewenangan, soal kehormatan!" katanya dengan gaya yang mengingatkan pada seorang tokoh antagonis di sinetron.
Butut mendengus pelan sambil menahan tawa. "Kalau mau urusan harga diri, Bu, mari kita bereskan nanti sore di kantor RW. Semua orang di sana pasti tertarik, siapa tahu kita bisa sekalian adakan pemilihan 'Ketua Drama Capil Terbaik' untuk ibu."
Wajah Bu Rukmi makin memerah. Sebelum ia sempat menjawab, Pak Heri menepuk tangannya, menarik perhatian semua orang.
"Sudah cukup, Bu Rukmi dan Bu Tuti. Ingat, ini kantor pelayanan masyarakat, bukan ajang saling sindir," katanya sambil memandang mereka bergantian. "Bagaimanapun, ibu berdua punya peran yang penting di lingkungan kita, jadi mari kita bersikap profesional."
Butut yang merasa menang akhirnya tersenyum lebar, melambaikan tangan pada Bu Rukmi. "Bu Rukmi, terima kasih atas kesabarannya. Saya yakin ibu pasti bisa belajar untuk menerima kenyataan," ucapnya dengan nada lembut namun menusuk.
Tanpa berkata sepatah kata pun lagi, Bu Rukmi langsung berbalik dan berjalan keluar kantor, sementara Butut berdiri tegak penuh kemenangan. Para pegawai yang melihat hanya bisa menggelengkan kepala, antara kagum dan geli dengan pertarungan tak berujung antara dua wanita tangguh ini.
Setelah hari itu, drama antara Butut dan Buruk menjadi buah bibir di lingkungan kantor dan bahkan di kampung mereka. Setiap kali mereka berpapasan, Bu Tuti dan Bu Rukmi selalu saling melontarkan sindiran, dan setiap tetangga yang melihat mereka hanya bisa tersenyum atau tertawa kecil.
Di akhir cerita, tak ada yang benar-benar menang. Yang ada hanyalah kenangan kocak yang tak terlupakan, dan tak ada satu pun di lingkungan DukCapil yang berani membayangkan kantor itu tanpa kehadiran Butut dan Buruk.
***