Dengan prinsip dasar Pancasila yang menempatkan "Ketuhanan yang Maha Esa" sebagai sila pertama, masyarakat Indonesia seharusnya lebih menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hal pemerintahan dan pengelolaan keuangan negara.
Namun kenyataannya, korupsi menjadi penyakit kronis yang menyebar hingga ke tingkat pemerintahan tertinggi.
Di Indonesia, meskipun ada komisi antikorupsi yang cukup aktif, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), banyak kasus korupsi besar yang berakhir dengan hukuman ringan.
Seringkali, para pelaku korupsi masih bisa mendapatkan pengurangan hukuman, remisi, atau bahkan keluar dengan hukuman percobaan.
Selain itu, para koruptor yang telah dipenjara kerap kali masih bisa menikmati kemewahan di dalam penjara, atau bahkan hidup nyaman setelah bebas.
Fenomena ini menciptakan kesan bahwa korupsi di Indonesia bukanlah kejahatan serius, meskipun secara moral dan agama seharusnya tindakan tersebut sangat tercela.
Mengapa ini bisa terjadi? Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini.
1. Kelemahan Penegakan Hukum
Salah satu masalah utama di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum. Sistem peradilan yang korup sering kali justru melindungi pelaku korupsi daripada menghukum mereka.
Beberapa kasus besar di mana para pejabat tinggi atau tokoh politik terlibat, sering kali berakhir dengan hukuman yang tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan.
Hal ini diperparah dengan adanya praktik suap di lembaga penegakan hukum yang memperburuk citra pemerintah di mata masyarakat.