Kotak kosong juga berdampak pada kualitas kepemimpinan yang terpilih. Ketika tidak ada lawan dalam Pilkada, calon tunggal tidak perlu bersaing dalam menyusun program yang komprehensif atau berusaha menarik dukungan masyarakat luas.
Mereka mungkin cenderung merasa aman dengan dukungan yang sudah ada, baik dari partai politik maupun dari struktur birokrasi. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas kebijakan yang dihasilkan setelah terpilih, karena tidak ada tekanan untuk memberikan hasil yang lebih baik atau inovatif dibandingkan lawan politik.
Melemahkan Kontrol dan Akuntabilitas Publik
Dalam sistem demokrasi yang ideal, kompetisi politik memunculkan mekanisme kontrol dan akuntabilitas. Calon yang bersaing harus menjelaskan kebijakan dan program kerja mereka, serta siap untuk dihadapkan pada kritik dan evaluasi dari lawan politik maupun publik.
Dalam Pilkada dengan kotak kosong, mekanisme ini menjadi tidak efektif. Tanpa pesaing, calon tunggal tidak memiliki insentif yang cukup kuat untuk bersikap transparan atau bertanggung jawab kepada publik, karena tidak ada ancaman kekalahan politik.
Partisipasi Politik dan Pilihan Kotak Kosong
Partisipasi Politik yang Menurun
Salah satu dampak paling nyata dari fenomena kotak kosong adalah penurunan tingkat partisipasi politik. Dalam Pilkada dengan calon tunggal, pemilih mungkin merasa bahwa pilihan mereka terbatas atau tidak memiliki dampak signifikan terhadap hasil akhir.
Kondisi ini dapat menyebabkan apatisme politik di kalangan masyarakat, di mana mereka merasa bahwa suara mereka tidak berarti. Akibatnya, tingkat partisipasi dalam Pilkada dapat menurun, karena pemilih lebih memilih untuk tidak hadir atau golput.
Pilihan Kotak Kosong sebagai Bentuk Protes
Di sisi lain, kotak kosong dapat dimaknai sebagai bentuk protes dari pemilih terhadap situasi politik di daerah mereka. Pemilih yang merasa tidak puas dengan calon tunggal yang tersedia dapat memilih kotak kosong sebagai cara untuk mengekspresikan ketidak-setujuan mereka.