Kisah Nabi Nuh merupakan salah satu bagian penting dari narasi Kitab Kejadian (Genesis) di Perjanjian Lama. Ini tidak hanya berfungsi sebagai kisah moral tentang kebenaran dan kejahatan, tetapi juga menekankan hubungan antara Allah dan manusia serta bagaimana Allah mengatur penciptaan dan kehancuran dunia.
Dalam kisah ini, Nuh digambarkan sebagai tokoh yang taat dan adil di tengah-tengah generasi yang telah menyimpang. Dengan demikian, Nuh menjadi sarana keselamatan bagi umat manusia dan makhluk lainnya melalui peristiwa Banjir Besar.
Berikut adalah kisah Nabi Nuh dalam bentuk yang singkat, padat, dan dengan sudut pandang ilmiah untuk menyoroti beberapa aspek dari cerita ini.
Kondisi Dunia Sebelum Banjir
Menurut Alkitab, sebelum banjir, dunia dipenuhi oleh kejahatan dan kekerasan. Manusia hidup tanpa memedulikan hukum moral yang ditetapkan oleh Allah.
Kejadian 6:5 menyatakan, "Ketika dilihat Tuhan, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, maka menyesallah Tuhan, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya" (Kejadian 6:5-6).
Ayat ini menunjukkan bahwa tingkat kejahatan yang begitu besar membuat Allah menyesal telah menciptakan manusia. Karena itu, Allah memutuskan untuk memusnahkan semua makhluk hidup di bumi sebagai bentuk hukuman atas dosa manusia.
Namun, di tengah-tengah kehancuran moral ini, ada satu orang yang berbeda, yaitu Nuh. Nuh digambarkan sebagai "seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah" (Kejadian 6:9).
Karena kebenaran dan kesetiaannya kepada Allah, Nuh dan keluarganya diberikan kesempatan untuk selamat dari kehancuran yang akan datang.
Perintah Allah untuk Membangun Bahtera
Allah memberikan instruksi kepada Nuh untuk membangun sebuah bahtera, atau perahu raksasa, yang akan menampung Nuh, keluarganya, dan sepasang dari setiap spesies hewan di dunia.
Kejadian 6:14-16 menggambarkan secara rinci spesifikasi dari bahtera ini, yang terbuat dari kayu gofir dan dilapisi dengan ter. Bahtera ini memiliki ukuran sekitar 300 hasta panjangnya (sekitar 137 meter), lebar 50 hasta (sekitar 23 meter), dan tinggi 30 hasta (sekitar 14 meter). Perahu tersebut dirancang untuk mengapung di atas air selama banjir, bukan untuk berlayar.
Selain Nuh dan keluarganya, Allah memerintahkan Nuh untuk membawa setiap jenis hewan, jantan dan betina, agar mereka dapat berkembang biak setelah banjir selesai. "Engkau harus membawa ke dalam bahtera itu segala yang hidup, dari segala makhluk yang hidup, satu pasang, jantan dan betina, supaya semuanya itu tetap hidup bersamamu" (Kejadian 6:19).
Banjir Besar
Setelah Nuh menyelesaikan pembangunan bahtera dan membawa semua makhluk hidup yang diperintahkan, Allah menurunkan hujan selama 40 hari dan 40 malam, seperti yang tertulis dalam Kejadian 7:12, "Empat puluh hari lamanya turunlah hujan lebat itu ke atas bumi." Banjir ini menutupi seluruh bumi, bahkan menutupi gunung-gunung tertinggi (Kejadian 7:19-20), dan memusnahkan semua makhluk yang berada di luar bahtera, baik manusia maupun hewan.
Air menutupi bumi selama 150 hari (Kejadian 7:24), dan bahtera Nuh mengapung di atas permukaan air tanpa ada tanda-tanda surut. Ini menegaskan kekuatan hukuman Allah atas kejahatan yang telah melanda bumi. Namun, Nuh dan semua yang berada di dalam bahtera tetap selamat karena ketaatan mereka kepada perintah Allah.
Surutnya Air dan Akhir Banjir
Setelah air mulai surut, bahtera mendarat di pegunungan Ararat (Kejadian 8:4). Selama beberapa bulan, air terus menurun, dan Nuh menunggu hingga tanah benar-benar kering.
Untuk memeriksa apakah air telah surut, Nuh melepaskan burung gagak, dan kemudian seekor merpati. Pada percobaan kedua, merpati kembali dengan membawa daun zaitun di paruhnya, yang menjadi tanda bahwa air sudah surut (Kejadian 8:11).
Setelah itu, Allah memerintahkan Nuh dan semua yang ada di dalam bahtera untuk keluar dan memulai kembali kehidupan di bumi. "Keluarlah dari bahtera itu, engkau bersama-sama dengan istrimu, anak-anakmu dan isteri anak-anakmu" (Kejadian 8:16).
Nuh kemudian mempersembahkan korban bakaran kepada Allah sebagai tanda syukur atas penyelamatan-Nya. Allah menerima persembahan itu dan membuat janji kepada Nuh bahwa Ia tidak akan pernah lagi menghancurkan bumi dengan banjir. Allah menempatkan pelangi di langit sebagai tanda perjanjian ini: "Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi" (Kejadian 9:13).
Signifikansi Teologis
Bagi tradisi Katolik, kisah Nabi Nuh memiliki banyak signifikansi. Pertama, banjir besar dilihat sebagai tindakan pembaruan bumi. Melalui air, dunia yang rusak karena dosa dihancurkan, tetapi juga dibersihkan untuk memulai kehidupan yang baru.
Dalam pandangan ini, Nuh adalah simbol keselamatan dan pelindung kehidupan, karena melalui ketaatannya, dia membawa kelangsungan hidup bagi umat manusia dan semua makhluk hidup.
Kedua, kisah Nuh juga memuat makna tentang pentingnya perjanjian antara Allah dan manusia. Allah berjanji kepada Nuh, dan melalui Nuh kepada seluruh umat manusia, bahwa Ia tidak akan lagi menghancurkan bumi dengan banjir. Pelangi menjadi tanda visual dari perjanjian ini, dan kisah ini mengajarkan bahwa Allah setia pada janji-Nya.
Kisah Nuh juga menggambarkan kebenaran Allah dalam menegakkan keadilan, tetapi juga menunjukkan kemurahan hati-Nya dalam memberikan kesempatan kedua kepada umat manusia.
Dalam teologi Katolik, banjir sering dilihat sebagai gambaran baptisan, di mana air tidak hanya menghancurkan yang lama tetapi juga menciptakan yang baru. Rasul Petrus dalam Perjanjian Baru mengaitkan kisah Nuh dengan simbol baptisan, yang menyelamatkan melalui air (1 Petrus 3:20-21).
Pandangan Ilmiah tentang Kisah Nuh
Banyak peneliti telah mencoba menemukan bukti historis dan geologis tentang adanya banjir besar yang mungkin menjadi dasar dari cerita Alkitab. Beberapa ahli berpendapat bahwa banjir dalam kisah Nuh mungkin berdasarkan peristiwa nyata, seperti banjir besar yang terjadi di wilayah Mesopotamia kuno, di mana sungai-sungai besar seperti Efrat dan Tigris sering meluap.
Selain itu, beberapa ilmuwan geologi menyarankan bahwa banjir besar mungkin terjadi sekitar 7.000 tahun yang lalu ketika permukaan Laut Hitam naik drastis, yang mungkin menjadi sumber cerita-cerita tentang banjir besar di wilayah Timur Tengah.
Namun, secara ilmiah, bukti adanya banjir global yang menutupi seluruh bumi seperti yang digambarkan dalam Kitab Kejadian masih sangat terbatas. Kebanyakan ahli menganggap bahwa cerita ini mungkin memiliki dasar dalam peristiwa banjir lokal yang sangat besar, yang kemudian diceritakan ulang dalam bentuk mitos atau legenda yang diwariskan turun-temurun.
Dalam literatur kuno, kisah banjir besar juga ditemukan dalam beberapa budaya lainnya, seperti dalam mitologi Babilonia, khususnya dalam Epos Gilgamesh, di mana tokoh Utnapishtim selamat dari banjir besar dengan membangun sebuah perahu.
Kesamaan ini menimbulkan spekulasi bahwa kisah Nuh mungkin berasal dari tradisi lisan yang lebih luas di wilayah Timur Dekat kuno. Terlepas dari cerita itu yang ada kemungkinan saling meniru, Â yang penting memperlihatkan bagaimana pentingnya taat kepada Allah.
Sudat Pandang Dari Segi Iman
Kisah Nabi Nuh dalam tradisi Katolik adalah kisah tentang penghukuman dan keselamatan, tentang keadilan Allah yang ditegakkan melalui banjir besar, tetapi juga tentang belas kasih-Nya yang diberikan kepada Nuh dan keluarganya.
Melalui ketaatan dan iman Nuh, kehidupan di bumi dipertahankan, dan perjanjian baru antara Allah dan manusia ditegaskan dengan tanda pelangi.
Dalam konteks modern, cerita ini dapat diinterpretasikan sebagai pengingat akan pentingnya menjaga hubungan dengan Allah, menaati perintah-Nya, dan menjaga kesucian moral di tengah-tengah dunia yang penuh dosa.
Kisah ini juga mengajarkan tentang pembaruan dan harapan, bahwa selalu ada kesempatan untuk memulai kembali dengan ketaatan kepada Allah.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H