Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Journey To Nanga Serawai

1 Juni 2022   14:25 Diperbarui: 2 Juni 2022   20:45 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernikahan Uut Danum. Dokpri

Pada sekitar tanggal 19 bulan Mei 2022, adik ipar kami dari sebelah istri mengajak untuk menghadiri pernikahan adik bungsunya di Nanga Serawai yang berjarak sekitar lima jam perjalanan normal dari Nanga Pihoh. Kami setuju, lalu berangkat ke sana tanggal 22 Mei 2022.

Ajakan ke daerah hulu memang sangat sulit kami tolak, karena mereka sangat baik. Yang menikah di sini adalah Jonius Natani dari pihak laki-laki dan Brigida Dini dari pihak perempuan.

Mereka menikah gereja pada tanggal 23 Mei 2022, sedangkan prosesi nikah Adatnya pada tanggal 24 Mei 20223. Meskipun kaki kanan saya belum sembuh benar dari penyakit asam urat yang dua minggu membuat saya tidak bisa berjalan. Saya tetap berangkat, karena di jemput mereka. Yang penting saya hati-hati untuk tidak minum alkohol dan makan makanan yang berlemak.

Perjalanan kami lakukan menggunakan mobil mereka melalui jalur darat dan kami berangkat sekitar dua puluh lima orang sebagai rombongan dari pihak laki-laki. Kami menggunakan dua buah mobil dan sepuluh buah sepeda motor, karena orang-orang ini menikah dari dua sub suku yang berbeda.

Pihak laki-lakinya dari suku Randuk sedangkan pihak perempuannya dari suku Uut Danum, lebih tepatnya dari sub suku Cohie Uut Danum. Karena dalam Uut Danum sendiri terdiri dari puluhan sub-suku Dayaknya.

Suku kami adalah Dohoi Uut Danum sedangkan mereka yang menikah adalah Cohie Uut Danum, tetapi 90 persen bahasanya cocok. Meskipun masih ada beberapa kosa kata yang berbeda seperti kucing kami Pusak kalau mereka Melat.

Kami berangkat sebenarnya menelusuri jalan negara yang tidak terawat, tetapi di lokasi melalui jalan perusahaan sawit yang lebih terawat. Dalam perjalanan itu mobil kami satu kali ditarik oleh kendaraan zonder perusahaan dan tiga kali di tarik oleh mobil yang satunya lagi yang pakai sistem 4 x 4.

Karena mobil yang kami pakai adalah Toyota Innova dengan ban untuk perkotaan sehingga dia sama sekali tidak bertenaga ketika menghadapi jalan becek. Salah satu tempat kami ditarik adalah di sebuah jembatan yang putus, yang saya perhatikan memang mereka yang disuruh bekerja tidak mau mengerjakannya, karena semua bahannya sudah siap.

Sedangkan mobil satunya lagi adalah Mitsubishi Triton 4 x 4, sehingga sangat tangguh untuk jalan yang demikian. Kami terpaksa melewati jembatan putus itu melalui air sungai kecil sekitar delapan meter lebarnya yang untung saja sedang tidak banjir, sehingga dalamnya hanya selutut.

Kami berangkat jam sebelas siang dan sampai di kota Serawai jam lima sore dan rupanya kami sudah di tunggu selama berjam-jam, yang mana rupanya pihak panitia pernikahan itu sudah menyiapkan sebuah Hopong dari Takui Daro' dan Kacang Uwoi.

Hopong itu merupakan budaya asli suku Uut Danum meskipun di tiru oleh beberapa suku lainnya. Dalam Hopong kali ini di isi dengan takut Daro' dan Kacang Uwoi, Titing,  Sondak, Tanduk kerbau yang berisi Boram (tuak) penuh dan pernak-pernik lainnya.

Di pintu gerbang mau masuk ke kompleks, kami disambut seperti acara sewajarnya, di suguhi makan dan minuman serta alkohol. Kami juga di taburi dengan tepung dan hanya tanpa minyak makan seperti seharusnya.

Setelah itu di lakukan upacara Nohtok Hopong yaitu pemotongan Hopong yang disertai dengan upacara minum tuak serta arak dan bir juga kesenian Parung sebagai budaya yang turun temurun. Selain itu juga pihak laki-laki harus meminum tuak yang disimpan dalam tanduk kerbau sampai habis, barulah setelah mengikuti deretan acara itu kami pun diperbolehkan masuk.

Cuma di sini kami tidak di suguhi dengan pencak silat dari kedua belah pihak seperti biasanya dilakukan dalam sebuah Hopong, ada kemungkinan pertimbangannya untuk menghemat waktu, karena kami tidak menanyakannya.

Dalam pertemuan itu saya berjumpa dengan beberapa kawan SMP saya dulu dan juga kawan sekolah istri yang ternyata masih sehat dan rupanya mereka keluarga dekat dengan pemilik upacara. Mereka adalah pak Tueng, Ngawan dan Kornelius Ngawan, Lahun, Palaunsuka, Sahtu', Mingguk, Ureng, Ovang Korek dan Ovang Balok.

Semuanya rata-rata bersekolah sampai jenjang S1 dan S2 dan memiliki jabatan penting di daerahnya seperti ketua Dewan Adat, Kepala SMA dan Kepala Desa. Tetapi secara umum kebanyakan dari mereka keluarga dari pihak istri tuan pesta.

Tuan pesta cukup kaya dan rumahnya sangat besar dan bertingkat sehingga bisa menampung seratus orang lebih dengan lapang. Anak-anaknya juga sebanyak lima orang semuanya sudah sarjana atau sudah S1 semua. Anak-anaknya terdiri dari Antonius Oron, Lusiana Inoi, Yupita Ani, Paulina Jalina, dan Brigida Dini yang menikah itu semuanya sudah selesai S1.

Nama Tuan pesta adalah pak Ambrosius Kader yang perlu kami beri catatan bahwa beliau menyediakan kami makan dan minum dan penginapan yang representatif. Setiap kami keluar dari kamar dipersilakan untuk makan dan minum sesuka hati, sampai kami tidak tahu lagi beberapa kali makan perharinya.

Umur kawan SMP saya kurang lebih sama seperti saya, berkisar 60 tahun tapi tubuh mereka masih sangat sehat dan ternyata anak-anak mereka juga rata-rata sudah selesai S1-nya dan beberapa sedang mengambil S2-nya. Mereka juga rata-rata kaya raya karena memiliki mobil, sarang burung walet dan beberapa buah kebun sawit.

Mereka rata-rata berpendidikan S1 dan S2, semua anaknya- anaknya mereka juga sudah S1 dan beberapa orang sudah PNS. Sehingga boleh dikatakan hidup mereka cukup sukses dan menjadi tuan rumah di daerah sendiri.

Saya sungguh salut dengan mereka, meskipun boleh dikatakan mereka berdomisili di desa tetapi rata-rata peduli dengan masalah pendidikan tinggi. Karena Pendidikan mereka rata-rata S1. Bahkan tuan pesta itu semua anaknya sudah selesai semua S1-nya.

 Mereka ramai menawarkan saya dan istri untuk menginap di rumah mereka, tetapi tuan pesta sudah menyiapkan kamar khusus untuk saya dan istri. Sehingga kami berdua tidak enak untuk menginap di tempat lain, hanya mandi dan buang hajat saja di tempat lainnya karena di tempat mereka berebut karena ada orang menginap sebanyak dua puluh lima orang.

Singkat cerita, prosesi pernikahan dilaksanakan di sebuah gereja lama, yang kami bangun ketika masih SMP atau sekitar 43 tahun yang lalu, di mana di bangun oleh Pastor Schneider berasal dari negeri Belanda.

Saya juga terharu melihat Gedung SMP tempat saya bersekolah dulu yang terletak tidak jauh dari gereja dan sungguh bangga karena sekarang tidak menyangka sudah bisa menyelesaikan S2 saya dua kali beda jurusan yaitu di Kuala Lumpur Malaysia dan di Pontianak Indonesia.

Yang pertama mengambil S2 di bidang Linguistik Di Universiti Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur dan yang kedua S2 di bidang bahasa Inggris di Universitas Tanjung Pura di Pontianak.

Saya juga tidak lupa melihat asrama pria tempat saya dulu dan meminjam sebuah kendaraan bermotor untuk membawa istri saya ke Batu Dara Muning yaitu situs yang sangat penting dan tempat wisata terkenal di daerah ini yang ceritanya seorang anak yang mengawini ibunya sendiri.

Kemudian melihat sungai Melawi dan pasar Serawai yang sekarang jauh berubah dari masa kami masih SMP dulu. Sekarang sudah banyak orang luar seperti Jawa, Minang, Batak dan Tionghoa yang membuka usaha di sana.

Malamnya tanggal 22 Mei 2022 adalah upacara Ngitot Kain Kisok, artinya mengantarkan kain penanya dari pihak laki-laki, yang berisi selembar kain yang masih baru dan tidak cacat, uang dua juta setengah, Llasung Lavai, Sambon dan piring.

Besoknya setelah prosesi pernikahan di gereja dengan dihadiri oleh para sahabat, keluarga dan para tamu undangan. Sekitar 300 orang yang hadir di dalam gereja itu dan bagi saya adalah merupakan kenangan manis karena 43 tahun yang lalu gereja ini kami bangun ketika masih SMP dan juga saya membawa istri saya ke sini.

Kami semua diantar jemput dengan mobil, melewati Gedung SMP tempat saya bersekolah 43 tahun yang lalu. Saya sungguh terharu, meskipun anak-anak yang bersekolah di situ jelas tidak tahu maknanya.

Besoknya upacara adat dimulai dengan pihak pengantin pria mengetuk pintu untuk masuk, dengan sebelumnya meminum tuak tujuh tingkat yang dibawahnya disiapkan uang lima puluh ribu dan seratus ribu rupiah. Siapa yang mampu meminum tuaknya itu boleh mengambil uangnya dan mangkoknya sekalian juga di bawa. Setelah semua tujuh mangku tuak itu diminum habis, maka mereka mengetuk pintu sebanyak tujuh kali untuk meminta masuk.

Pengantin wanitanya bersembunyi di kamar dan pihak pengantin laki-lakilah yang mencarinya dan membawanya keluar untuk duduk di atas gong yang sudah disiapkan. Kedua pengantin duduk di atas Gong dan menghadap daun Savang, Tombak, dan kedua tangan mereka berpegangan ke daun Savang dengan tangan laki-laki di sebelah atasnya.

Selanjutnya diteruskan dengan upacara Mohpasch yaitu upacara adat memberkati dengan ayam dan seperangkat alat, yaitu tiga kali lebih tujuh ke arah mata hari terbenam, kemudian dilanjutkan tiga kali lebih tujuh ke arah matahari terbit dan tujuh kali ke arah atas.

Upacara Mohpasch ini peralatannya seekor ayam kampung, daun Savang, Kajuk Tukun, Kajuk Sombombolum dan Kajuk Dirang Haring.

Ke arah matahari terbenam maksudnya diharapkan segala pengaruh buruk seperti kemiskinan, sumpah serapah orang, di intai orang dan hutang terhadap orang lain dihapuskan.

Ke arah matahari terbit maksudnya agar mereka hidup terbit seperti matahari, memancar seperti matahari, hidup baik, pernikahannya berumur panjang, mereka umurnya panjang, dalam hidup tidak sakit, dan keluarga mereka utuh saling setia sampai mati.

Kemudian ke arah atas maksudnya yaitu penyerahan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga keluarga mereka ini diberkati oleh Tuhan Yang Mahakuasa agar menjadi keluarga yang baik, panjang umur, sehat, kaya raya, saling mencintai sampai maut memisahkan atau hokotang tullang.

Acara itu dilakukan oleh tiga orang, yaitu perwakilan orang tua perempuan, perwakilan orang tua laki-laki dan perwakilan ketua adat. Setelah acara itu maka dilanjutkan dengan acara nyahkik, sehingga keduanya beri gelang dari Lasung Lavai, manas Sambon dan disahkik dengan uang.

Kemudian mereka diberi makan sirih, lalu kemudian makan nasi dan lauk pauknya, terakhir minum tuak. Pada acara ini maka masing-masing keduanya dengan cara saling memberikan.

Kemudian keduanya kurun Moruak dengan Mandau, agar mereka hidup berbahagia dan semangat hidupnya lebih keras dari Mandau itu sehingga keduanya tidak sakit dan mendapatkan kekuatan dalam menghadapi bencana.

Acara yang terakhir pada upacara Nyahkik ini tangan kedua pengantin disatukan diatas kepala dan orang tua pengantin pria memberkati mereka dengan doa-doa seperti panjang umur, hidup bahagia, penuh rezeki dan sehat. Keduanya menikah sampai maut memisahkan.

Setelah itu keduanya menanam Savang dan kelapa dengan disimpan tumbak tadi. Tumbaknya setelah tiga hari boleh diambil.

Setelah selesai menaman Savang dan kelapa, kami bersama-sama menuju ke sungai karena kedua pengantin mau di jala. Itu dimaksudkan agar keduanya bisa hidup seperti orang lain, yang mana rezekinya lancar seperti di jala saja.

Jaraknya sekitar 8-kilometer dari rumah, karena harus di sungai yang airnya mengalir. Sehingga kami, menuju sungai Melawi yang besar untuk menjala pengantin. Di sini orang harus hati-hati, karena bisa saja tiba-tiba di dorong untuk ikut mandi dan berenang.

Pelaksanaan upacara adat Uut Danum memang sangat rumit, sehingga sebagian besar anggota rombongan meminta pulang dan tuan rumah dengan berat hati mengizinkannya, walaupun sebenarnya tidak boleh karena masih pantang darah.

Tetapi karena di suku mereka tidak ada adat yang menjelimet seperti itu, jadi mereka tidak tahu. Besok siangnya akan dilaksanakan perhitungan besaran adat dan acara itu tidak kami ikuti karena kami sudah pulang.

Besar besaran Adat pernikahan itu sekitar Jihpon 14 atau sekitar tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah kalau di uangkan. Jika tidak mampu membayarnya dengan adat, maka hanya dibicarakan saja bahwa begitulah besarnya.

Adat ini dulu terdiri dari empat belas kepala manusia, yang sudah dihentikan pada Pertemuan Damai di Tumbang Anoi Kalimantan Tengah pada tahun 1894, sehingga diganti dengan Tempayan dan di jaman sekarang diperhitungkan dengan uang saja.

Tetapi jika ada macam-macam perlakuan miring oleh pihak pria terhadap istrinya, maka dia harus membayar kontan adat ini barulah boleh bercerai. Ini berlaku sama untuk siapa saja, meskipun dalam satu suku.

Dalam kesibukan kami menghadiri serentetan acara itu, kami berdua istri tidak lupa juga membagi waktu juga berkesempatan untuk mengunjungi kawan-kawanku dan kawan-kawannya.

Yang tidak berhasil kami temui adalah kawan istri saya yaitu seorang istri ketua OSIS-nya dulu swaktu SMA yang Bernama Mansyur Gedong dan istrinya Tipina Wahyuningsih. Dia berada di rumah Bapak mertuanya karena Ibu mertuanya baru meninggal dunia beberapa hari yang lalu.

Ketika pulang kami satu rombongan sebanyak dua puluh orang, yang naik dua buah mobil dan lima motor. Kami ikut pulang juga, yang tinggal hanya yang mewakili kedua orang tua dan adik pengantin pria saja.

Kami pulang jam tiga sore dengan mobil dan sampai di Nanga Pinoh jam sebelas malam, karena dua jam menunggu Ponton menyeberangkan kami di Popay.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun