Jaraknya sekitar 8-kilometer dari rumah, karena harus di sungai yang airnya mengalir. Sehingga kami, menuju sungai Melawi yang besar untuk menjala pengantin. Di sini orang harus hati-hati, karena bisa saja tiba-tiba di dorong untuk ikut mandi dan berenang.
Pelaksanaan upacara adat Uut Danum memang sangat rumit, sehingga sebagian besar anggota rombongan meminta pulang dan tuan rumah dengan berat hati mengizinkannya, walaupun sebenarnya tidak boleh karena masih pantang darah.
Tetapi karena di suku mereka tidak ada adat yang menjelimet seperti itu, jadi mereka tidak tahu. Besok siangnya akan dilaksanakan perhitungan besaran adat dan acara itu tidak kami ikuti karena kami sudah pulang.
Besar besaran Adat pernikahan itu sekitar Jihpon 14 atau sekitar tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah kalau di uangkan. Jika tidak mampu membayarnya dengan adat, maka hanya dibicarakan saja bahwa begitulah besarnya.
Adat ini dulu terdiri dari empat belas kepala manusia, yang sudah dihentikan pada Pertemuan Damai di Tumbang Anoi Kalimantan Tengah pada tahun 1894, sehingga diganti dengan Tempayan dan di jaman sekarang diperhitungkan dengan uang saja.
Tetapi jika ada macam-macam perlakuan miring oleh pihak pria terhadap istrinya, maka dia harus membayar kontan adat ini barulah boleh bercerai. Ini berlaku sama untuk siapa saja, meskipun dalam satu suku.
Dalam kesibukan kami menghadiri serentetan acara itu, kami berdua istri tidak lupa juga membagi waktu juga berkesempatan untuk mengunjungi kawan-kawanku dan kawan-kawannya.
Yang tidak berhasil kami temui adalah kawan istri saya yaitu seorang istri ketua OSIS-nya dulu swaktu SMA yang Bernama Mansyur Gedong dan istrinya Tipina Wahyuningsih. Dia berada di rumah Bapak mertuanya karena Ibu mertuanya baru meninggal dunia beberapa hari yang lalu.
Ketika pulang kami satu rombongan sebanyak dua puluh orang, yang naik dua buah mobil dan lima motor. Kami ikut pulang juga, yang tinggal hanya yang mewakili kedua orang tua dan adik pengantin pria saja.
Kami pulang jam tiga sore dengan mobil dan sampai di Nanga Pinoh jam sebelas malam, karena dua jam menunggu Ponton menyeberangkan kami di Popay.
***