Masih segar dalam ingatan kita semua, betapa hingar bingarnya pemilu presiden terakhir yang kita laksanakan kemarin. Gesekan-gesekan sudah terasa sangat panas, sehingga masyarakat jadi was-was.
Dari saling klaim kemenangan, saling tuduh berbuat curang, sampai terakhir di Mahkamah Konstitusi, meskipun setelah itu masih berlanjut di media sosial selama berbulan-bulan.
Perseteruan ini sampai menghasilkan dua buah istilah yang sangat viral di Indonesia yaitu cebong dan kampret. Hal ini merupakan akumulasi dari fanatisme para pendukung kedua kubu, yaitu antara kubu pak Jokowi dan kubu pak Prabowo pada waktu itu.
Pertentangan antara kedua kubu cebong dan kampret itu begitu serunya, tidak saja terjadi di dunia nyata saja. Tetapi sampai ke komentar-komentar mereka di media online pun masih saja mereka saling sodok, saling sindir, saling serang, saling hina, dan bahkan saling ancam.
Padahal seharusnya tidaklah perlu seperti itu, karena siapapun yang menang adalah pemimpin untuk seluruh bangsa Indonesia. Bukan hanya pemimpin dari kelompok yang memilihnya saja. Bersaing itu sehat dan siapapun yang menang itu adalah keniscayaan, karena tidak mungkin semuanya menang.
Seorang pemimpin yang telah memenangkan Pemilu (baca: Presiden), adalah orang yang mengepalai negara ini dan membangun seluruh elemen bangsa ini tanpa pandang bulu.
Meskipun dalam hal memberikan jabatan tentulah dia mengutamakan para pendukungnya yang telah berjasa mengantarkannya. Tetapi menurut hemat penulis, haruslah selalu ada jatah untuk orang luar selain pendukung jika memang dia berkualitas, atau paling tidak untuk tawar-menawar politik demi keseimbangan.
Namun syukurlah, sekarang perseteruan ini sudah jauh berkurang, meskipun sisa-sisanya terkadang masih muncul juga, terutama sekali jika ada peristiwa yang punya kaitan dengan para pendukung salah satu pihak di Pemilu Presiden di masa lalu.
Pak Prabowo pun sekarang sudah bekerja sama dengan pak Jokowi. Siapa tahu ke depannya beliau bisa maju lagi sebagai kandidat Presiden, karena pak Jokowi sudah tidak bisa maju lagi karena sudah dua periode. Karena roda kehidupan terus berputar, demikian juga pemimpin bangsa, ada yang datang dan ada yang pergi.
Di dalam dunia politik, memang tidak ada permusuhan abadi ataupun teman abadi, tetapi yang abadi hanyalah kepentingan (baca: perebutan kekuasaan). Suatu saat seseorang bisa saja adalah teman, tetapi dilain waktu dia bisa saja menjadi musuh.
Begitu juga sebaliknya, saat ini dia mungkin sebagai musuh, namun di lain waktu bisa saja dia menjadi teman. Persoalan menjadi teman atau musuh itu, adalah teman kalau kepentingannya sama dan musuh kalau  kepentingannya berbeda.