Sebelum berangkat saya membekalinya dengan petuah untuk mentaati rambu lalu lintas dan hati-hati di jalan.
Dompet bertali dan kunci rumah pun saya kalungkan dileher anak saya. Ternyata agar barang yang saya pesan tidak lupa, anak saya mencatat di kertas , list belanjaannya, ditulis dengan huruf hiragana yang berantakan. Melihat ini saja, sudah membuat saya bergetar terharu.
Kemudian saya, suami dan sang adik melepas dari depan lift rumah. Dari atas saya melihat, langkah kecilnya menaiki tangga menuju keluar gerbang apartemen.
Karena bukan acara TV yang banyak kru-krunya untuk mengawasi keselamatan sang anak, maka kami sekeluarga menjadi kru-krunya, yang bertugas mengawasi gerak langkah anak kami.
Berjarak beberapa ratus meter kami mengikuti dari belakang, terkadang harus ngumpet di pepohonan, karena tiba-tiba anak saya mendadak berhenti untuk istirahat.
Kami agak lega ketika anak saya berhasil melewati lampu merah, dan bisa sampai di supermarket dengan selamat.
Nah disinilah kejadian yang paling mencengangkan dan membuat dada saya berdebar debar. Karena bukan saja kami yang harus gesit mengikuti kemana anak kami melangkah tanpa ketahuan olehnya, tapi kami pun harus pasrah dengan tatapan curiga para pegawai supermarketnya.
Mungkin karena penampilan kami yang aneh dengan kacamata hitam dan masker putih yang menutupi setengah wajah, ditambah gerak gerik badan setengah membungkuk dan lari lari kecil diantara lorong-lorong supermarket. Mencurigakan banget pastinya, untungnya gak ditangkep petugas keamanan waktu itu. Fiuhhh
Setelah anak saya belanja, dan melakukan pembayaran dikasir. Sudah diduga kalau anak saya langsung memberikan dompetnya kepada petugas kasir. Saat itu sepertinya petugas kasir sudah mengerti skenario kalau anak kecil yang dihadapannya itu sedang menjalankan tugas (otsukai).
Setelah selesai belanja, kami selaku kru-krunya langsung bubar jalan dan berbagi tugas. Tugas saya adalah harus buru-buru pulang ke rumah untuk menyambut anak saya di depan pintu. Dan suami saya tetap membuntuti anak saya dari belakang selama perjalanan menuju rumah.
Selama perjalanan pulang membuntuti anak saya itu, saya hanya bisa dengar cerita dari suami. Menurut suami saya, anak saya pun beberapa kali ngaso untuk istirahat sebentar, jongkok di pinggir jalan. Atau sesekali membenarkan pegangan belanjaannya, pindah dari tangan kanan ke kiri, ke kiri pindah kekanan.