A
Sudah berapa tahun sejak kepergianku? Agaknya kamu tetap menjadi pribadi keras yang sulit diruntuhkan. Garis wajahmu masih menyiratkan marah yang bahkan kamu tak pernah tahu kebenaran sesungguhnya. Aku tidak pergi, tidak benar-benar pergi. Hanya berusaha mengistirahatkan hati yang aku harap kamu pun begitu, kemudian datang untuk membujuk aku yang sedang merapuh. Namun tidak, gengsimu yang cukup tinggi tak mau kau redamkan terlebih dahulu demi aku, perempuanmu waktu itu.
Meski berada di lingkungan yang sama dan hampir setiap hari bisa saling melihat, kita tak pernah mau mencoba menyapa. Barang melempar senyum untuk mengobati rindu yang rasanya makin hari makin menyiksa, sesak. Sesekali, teman-temanku tertawa menyaksikan tingkah konyolku yang memalukan karena ditatap begitu dalam olehmu namun tak mau membalas. Bukan pura-pura tak tahu, namun aku sadar betul, ada peraturan pesantren yang tak bisa kita tembus.
Entah bagaimana caranya, tiga tahun dapat kita lalui tanpa komunikasi meskipun teman-teman yang lain sudah mencoba jalan pintas yang berakhir di kantor Ria'ayah dan beberapa dipulangkan ke rumah. Aku bukan santriwati yang patut, kamu apalagi. Tetapi bagimu, tidak menyeretku ke dalam perbuatan yang memalukan adalah pilihan, sehingga memilih untuk membuatku uring-uringan karena selalu merasa jatuh cinta sendirian.
Sudah tahun ke tujuh sejak haflah akhirussanah, kita tak pernah benar-benar bertemu setelah itu. Kecuali, ketika sama-sama menangisi takdir yang seolah tak memihak, menyalahkan semua orang yang memberi benteng penghalang begitu tinggi dan secara terang-terangan menolak. Namun sekarang, setelah berhasil lari bertahun-tahun lamanya, tanpa pernah terpikirkan sebelumnya, aku bertemu denganmu lagi, di tempat yang bahkan luput dari dugaanku.
***
Oktober, 2013
Selesai ta'alum kitab Maroqil Ubudiyyah bersama Abah Kyai, dengan masih mengenakan "kostum masjid", aku bergegas melangkahkan kaki ke kamar. Rasa kantuk yang dari tadi telah menyerang, tak bisa lagi ku tahan. Masih menunjukun pukul 21.30 yang seharusnya masih ramai oleh hiruk-pikuk adik-adik MTs yang sedang belajar di kelas masing-masing, dan biasanya ada beberapa dari mereka yang belajar di teras masjid atau sekedar rawa-riwi beralasan ke kamar mandi padahal ke kantin pondok untuk membeli cemilan pengusir kantuk. Namun, udara malam ini terasa lebih menusuk, membuat anak-anak MTs lebih memilih berdiam di kelas sambil membiarkan mata mereka terpejam dengan kitab sebagai penutup wajah.
Aku berjalan dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, meski begitu, aku bisa melihat dengan jelas ada yang mengamatiku dari kejauhan dengan pandangan yang lebih dari sekedar kalimat manis, pandangan yang selalu berusaha ia sembunyikan, pandangan yang meski samar-samar mampu membuat darahku seolah berhenti mengalir dan jantungku berdetak sangat hebat. Dalam waktu seperkian detik, kami berpapasan. Dia berjalan dengan dua temannya dan tak lagi memandangku, sedangkan aku sekuat tenaga menahan kitab kuning, tasbih dan alat tulis yang ada di genggamanku supaya tak jatuh. Aku sama sekali tak berani memandangnya, meski beberapa temanku sudah meluncurkan aksi menggoda dengan menyenggol tubuhku atau meneriaki kalimat yang mungkin hanya kami yang mengerti.
Pulang dari ta'alum kitab tadi, aku langsung merebahkan diriku di atas lantai. Iya lantai, karena setiap kamar di pondok ini diisi oleh sekitar 30-40 orang dan tidur menggunakan kasur lantai atau karpet permadani yang setiap setelah selesai digunakan harus ditumpuk menjadi satu di tengah-tengah ruangan dan tak boleh ada yang menggunakan kecuali ketika jam tidur telah tiba atau untuk maridhoh saja. Karena rasa kantuk yang sudah menyerang sejak jamaah isya tadi, aku langsung terlelap, padahal masih ada satu kegiatan yang tak boleh ditinggalkan, Namun, aku memilih ghoib demi nafsu tidurku yang tak dapat diredam. Dan rupanya, sudah pukul 22.15 ketika ada salah satu teman yang membangunkanku.
"Ukhti Afifah, anti takunina harisatan fii hadzal lael (Ka Afifah, kamu jaga malem ya)," Oh ternyata Ni'mah, salah satu teman yang akrab denganku,