„Iya, tak apa-apa, yang penting sudah kembali ke sini dengan selamat, semua sehat“ kata saya.
Tapi tak lama kemudian rekan kerja saya ini datang lagi ke ruangan saya sambil membawa kantong kain berisi oleh-oleh, dan bukan hanya diberikan kepada saya, tapi kepada seluruh pegawai di kantor ini.
Pantas saja jadi overload, pikir saya.
Ketika pulang, saya berjalan bersamanya keluar dari kantor. Dengan ransel di pundak dan koper yang tampak ringan ditarik di belakangnya. Saya tanya, kopernya kok kelihatan ringan, ada isinya tidak sih? Jawabnya: tidak, sudah kosong. Isinya hanya oleh-oleh yang sudah habis dibagikan ke semua orang.
Ia tampak lelah, tapi bahagia.
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih menjadi guru di Jakarta, Hal yang hampir mirip pernah terjadi. Tentang oleh-oleh juga.
Ketika menjadi guru saat itu, saya juga menjadi anggota pemerhati, salah satu tugas saya membuat kartu ucapan, atau menyiapkan kado, atau angpau, atau beli kue, atau apapun itu untuk berbagai kesempatan baik suka maupun duka.
Kebetulan saat itu menjelang hari raya juga, saya seperti biasanya berkeliling dari satu orang ke orang lain untuk meminta Persembahan Kasih, sumbangan sukarela demikian istilahnya, untuk diberikan kepada para petugas kebersihan dan satpam di sekolah yang kebetulan akan pulang kampung untuk merayakan Hari Raya.
Tapi beberapa orang mengeluh, mereka keberatan untuk memberikan uang persembahan kasih itu. Dengan alasan para petugas kebersihan dan satpam sudah menerima THR dari Yayasan, jadi buat apa lagi kami harus mengumpulkan uang extra?
Sebenernya saya agak sebel juga sama teman saya yang satu ini. Padahal kalau untuk biaya salon, tas atau pakaian bisa menghambur-hamburkan gaji sebulan. Lah kok, memberi hanya sekian saja pelitnya bukan main. Â