Oleh sebab itu, dengan fakta yang ada ini, bagaimanakah seharusnya sikap Indonesia ? Pemerintah dapat membenahi diri terlebih dahulu. Mengurangi utang-utang baru dari negara lain terutama Cina. Pendekatan ini dilakukan karena kita sedang memperkuat peran dari sudut pandang nir militer, sebuah pendekatan baru diplomasi modern. Apakah Indonesia masih punya waktu ? Tentu saja. Kemajuan diplomasi negara-negara yang terlibat dalam konflik terkait Laut Cina Selatan masih jalan di tempat dalam satu dekade ke depan. Alasannya, semua negara yang terlibat masih saling menunggu dan menganggap masalah ini bukan sebagai prioritas untuk diselesaikan.
Sikap abai seperti itu bahaya jika terus dianggap remeh sedangkan eksplorasi dan pencarian potensi ekonomi di wilayah yang diributkan juga terus-menerus dilakukan. Semakin besar potensi ekonomi maka semakin mendesak suatu negara ingin menguasainya. Jika di bawa ke meja Mahkamah Internasional maka adu bukti dan pengaruh politik suatu negara pada wilayah yang diributkan akan jadi pertimbangan Arbitrator dalam memberi keputusan hukum.
Kasus yang dapat dijadikan pelajaran adalah konflik kepemilikan Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Pada 17 Desember 2002, Mahkamah Hukum Internasional memberikan kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia. Pulau Sipadan dan Ligitan yang kepemilikannya dipertengkarkan antara Indonesia dan Malaysia sejak 1969 dinyatakan sah dan legal sebagai wilayah Malaysia karena Malaysia dinilai lebih konsisten dan terus-menerus melakukan pemantauan dan mengembangkan wilayah konflik itu layaknya wilayah tersebut yang secara legal dan sah milik Malaysia. Dalam bahasa hukum putusan Mahkamah Internasional hal itu disebut sebagai tindakan 'effective control.' Arbitrator berpedoman pada pertimbangan kasus hukum yang serupa pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan oleh Arbitrator Max Huber tahun 1928 untuk menyatakan bahwa Pulau Mianggas yang dipertengkarkan antara Amerika Serikat dan Hindia Belanda dinyatakan sebagai wilayah milik Hindia Belanda yang kini menjadi wilayah yang tidak terpisahkan dari Indonesia.
Sudah jelas kita lemah secara militer, maka dengan pendekatan lain yaitu nir militer kita harus kuat. Peluang penyelesaian secara hukum di Mahkamah Internasional jelas selalu terbuka. Untuk itu, cara yaitu dengan memperkuat posisi tawar di mata hukum tidak cukup dilakukan dengan pengaruh politik saja tapi juga pengaruh ekonomi. Aktivitas perang fisik dalam mempertahankan kedaulatan politik memang jalan terakhir. Tapi cara itu bukanlah cara yang terlarang. Oleh karena itu antisipasi yang dapat dilakukan Indonesia agar perang fisik tidak terjadi dan bisa saja kalah lagi di Mahkamah Internasional dapat dihindari dengan sadar diri bahwa kedaulatan negara bisa terancam jika kita tidak berdaya secara ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H