Mohon tunggu...
Azizul Mendra
Azizul Mendra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Suka makan dan minum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Solusi Nir Militer Konflik di Laut Cina Selatan

22 Mei 2024   10:53 Diperbarui: 29 Mei 2024   03:06 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ancaman tentang kedaulatan bangsa Indonesia bisa datang dari negara mana saja. Tapi, sejauh ini isu paling jelas datang dari permasalahan Laut Cina Selatan. Jika ditelusuri sejarahnya, penyebab munculnya konflik Laut Cina Selatan karena adanya saling klaim dari sejumlah negara yang dilewati jalur perairan strategis ini, termasuk Cina dan Taiwan.

Sebenarnya, tidak hanya Cina dan Taiwan saja yang terlibat konflik di kawasan ini tapi juga negara Brunei, Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang saling mengakui memiliki kepemilikan teritorial yang kaya akan sumber daya alam ini. Secara geografis, Laut Cina Selatan memang sangat strategis sedangkan secara ekonomi 80% lalu lintas kapal internasional melewati kawasan ini. Diperkirakan nilai ekonomi dari barang komersial yang diperdagangkan sekitar 5,3 triliun USD (China Power, 2016) melewati perairan Laut Cina Selatan setiap tahunnya.

Tidak cukup sampai di situ, kabar terbaru yang dirilis oleh China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) bahwa di Laut Cina Selatan telah ditemukan sebuah ladang terbukti mengandung minyak bumi dan gas sebanyak 102 juta ton minyak. Mengutip Reuters, Jumat (08/03/2024), CNOOC menyebut bahwa temuan tersebut terletak di ladang minyak Kaiping Selatan di Delta Sungai Mutiara dekat provinsi Guangdong mengandung minyak mentah ringan.

Memperkuat Posisi Tawar

Tidak adanya perkembangan atas kemajuan diplomasi negara -- negara yang terlibat konflik di laut cina selatan di karenakan lemahnya diplomasi dari negara -- negara yang terlibat sengketa, termasuk Indonesia. Kondisi ini menjadi pelajaran dan bahan evaluasi mendalam khususnya bagi pemerintah Indonesia. Akan tetapi pemerintah kita mungkin saja tidak menganggap konflik ini sebagai ancaman yang serius.

Padahal, jika melihat potensi ekonomi laut cina selatan, kawasan ini menyimpan kekayaan alam dan posisi yang sangat strategis demikian besarnya sudah saatnya kita sangat serius menyikapi konflik yang potensinya di masa depan bisa dapat mengancam disintegrasi negara-negara Asean dan hubungan baik dengan Cina sebagai mitra strategis Asean.

Kita perlu memandang konflik di wilayah ini sebagai bentuk dari rebutan kepentingan bisnis. Jika suatu hari konflik ini tidak berkesudahan sedangkan temuan potensi ekonomi semakin besar maka perang fisik bisa saja terjadi kapanpun. Jika itu terjadi maka sudah terlambat kita masih melakukan diplomasi terhadap pencarian solusi sebagai alternatif pendekatan nir militer.

Andai suatu negara menyadari kepentingannya akan terancam atas wilayah kedaulatannya, maka secara naluriah negara tersebut akan melindungi kepentingannya dengan melakukan penyerangan fisik kepada pihak-pihak yang terkait dalam konflik itu. Itulah yang harus segera diwaspadai saat ini sebelum semuanya terlambat. Lantas, bagaimana seharusnya Indonesia bersikap agar pendekatan nir militer yang sudah berjalan satu abad tanpa ada perkembangan ini harus dimaksimalkan Indonesia ?

Solusinya Indonesia harus kuat secara ekonomi agar suara-suara yang disampaikan Indonesia di dengar oleh pihak-pihak yang terlibat karena kewibawaan suatu negara itu ada jika negara tersebut memiliki kemandirian secara ekonomi dan tidak tergantung dengan negara manapun. Inilah solusi nir militer yang harus dimiliki Indonesia.

Tidak seperti saat ini yang mana semua negara-negara terlibat konflik ini memiliki ketergantungan ekonomi yang tinggi atas pemerintah Cina. Tidak ada kemandirian ekonomi mereka kepada Cina. Untuk Indonesia sendiri, Bank Indonesia (BI) mencatat utang ke China mencapai US$21,163 miliar per September 2023. Selain itu investasi Cina di Indonesia juga besar. Dengan kondisi begini, maka posisi tawar Indonesia jika berdiplomasi dengan Cina menjadi lemah. Jadi, apapun solusi yang ditawarkan Indonesia dengan pendekatan diplomasi apapun tidak akan dianggap Cina sebagai sesuatu yang patut untuk di dengar.

Sejauh ini, Cina memang menjadi salah satu kreditur terbesar untuk Indonesia setelah Singapura, Amerika dan Jepang. Jika Indonesia ingin memiliki peran diplomasi yang selalu di dengar oleh negara yang terlibat konflik, maka tidak ada jalan lain menjadikan negara ini mandiri dalam hal ekonomi. Jika tidak, apapun pandangan politik Indonesia terhadap negara luar dapat terpatahkan oleh kondisi ekonomi negara sendiri yang lemah dan sikap ketergantungan pada negara kreditur akan membuat wibawa negara kita hilang.

Oleh sebab itu, dengan fakta yang ada ini, bagaimanakah seharusnya sikap Indonesia ? Pemerintah dapat membenahi diri terlebih dahulu. Mengurangi utang-utang baru dari negara lain terutama Cina. Pendekatan ini dilakukan karena kita sedang memperkuat peran dari sudut pandang nir militer, sebuah pendekatan baru diplomasi modern. Apakah Indonesia masih punya waktu ? Tentu saja. Kemajuan diplomasi negara-negara yang terlibat dalam konflik terkait Laut Cina Selatan masih jalan di tempat dalam satu dekade ke depan. Alasannya, semua negara yang terlibat masih saling menunggu dan menganggap masalah ini bukan sebagai prioritas untuk diselesaikan.

Sikap abai seperti itu bahaya jika terus dianggap remeh sedangkan eksplorasi dan pencarian potensi ekonomi di wilayah yang diributkan juga terus-menerus dilakukan. Semakin besar potensi ekonomi maka semakin mendesak suatu negara ingin menguasainya. Jika di bawa ke meja Mahkamah Internasional maka adu bukti dan pengaruh politik suatu negara pada wilayah yang diributkan akan jadi pertimbangan Arbitrator dalam memberi keputusan hukum.

Kasus yang dapat dijadikan pelajaran adalah konflik kepemilikan Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Pada 17 Desember 2002, Mahkamah Hukum Internasional memberikan kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia. Pulau Sipadan dan Ligitan yang kepemilikannya dipertengkarkan antara Indonesia dan Malaysia sejak 1969 dinyatakan sah dan legal sebagai wilayah Malaysia karena Malaysia dinilai lebih konsisten dan terus-menerus melakukan pemantauan dan mengembangkan wilayah konflik itu layaknya wilayah tersebut yang secara legal dan sah milik Malaysia. Dalam bahasa hukum putusan Mahkamah Internasional hal itu disebut sebagai tindakan 'effective control.' Arbitrator berpedoman pada pertimbangan kasus hukum yang serupa pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan oleh Arbitrator Max Huber tahun 1928 untuk menyatakan bahwa Pulau Mianggas yang dipertengkarkan antara Amerika Serikat dan Hindia Belanda dinyatakan sebagai wilayah milik Hindia Belanda yang kini menjadi wilayah yang tidak terpisahkan dari Indonesia.

Sudah jelas kita lemah secara militer, maka dengan pendekatan lain yaitu nir militer kita harus kuat. Peluang penyelesaian secara hukum di Mahkamah Internasional jelas selalu terbuka. Untuk itu, cara yaitu dengan memperkuat posisi tawar di mata hukum tidak cukup dilakukan dengan pengaruh politik saja tapi juga pengaruh ekonomi. Aktivitas perang fisik dalam mempertahankan kedaulatan politik memang jalan terakhir. Tapi cara itu bukanlah cara yang terlarang. Oleh karena itu antisipasi yang dapat dilakukan Indonesia agar perang fisik tidak terjadi dan bisa saja kalah lagi di Mahkamah Internasional dapat dihindari dengan sadar diri bahwa kedaulatan negara bisa terancam jika kita tidak berdaya secara ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun