Sebagai lelaki atau perempuan single di usia 25 tahun ke atas, tuntutan pernikahan pasti ada. Entah dari orang tua atau manusia-manusia julid di masyarakat yang cukup membuat telinga kita berdarah-darah.Â
Jaman sudah berubah, generasi millenial cenderung memilih untuk melajang dan tidak memprioritaskan pernikahan atau yang biasa disebut sebagai "waithood". Istilah gampangnya ya memunda pernikahan.
Menurut penelitian, millenial cenderung memiliki kesadaran tinggi (awareness) tentang pernikahan. Persepsi tentang pernikahan sedikit banyaknya telah berubah.
Kita sebagai kaum millenial tidak lagi menganggap pernikahan sebagai suatu kompetisi, kita lebih sadar akan konsekuensi-konsekuensi dari sebuah pilihan untuk menikah.Â
Tidak dipungkiri bahwa tuntutan hidup di era sekarang jauh lebih kompleks dibanding jaman dulu, katakanlah 10 atau 20 tahun ke belakang. Hal ini pun menjadi salah satu faktor kenapa para millenial memilih untuk tidak cepat-cepat menikah.
Banyak orang pasti beranggapan bahwa kita ini generasi pemilih atau bahasa kerennya selektif. Kalian pasti pernah curhat tentang percintaan ke teman bahwa alasan pedekate kalian dengan seseorang tidak berjalan lancar dan memutuskan untuk tidak melanjutkannya.Â
Alasannya tentu bermacam-macam, bisa karena tidak nyambung, tidak sefrekuensi, atau tidak ada chemistry sama sekali.
Pada intinya sih tidak cocok. Kalau memang tidak klik atau tidak nyambung, rasanya percuma juga dipaksakan. Ketika kita bercerita tentang hal-hal tersebut, ada saja teman yang malah menganggap kalau kita ini orangnya pemilih atau pilih-pilih.Â
Logikanya begini, kita ke toko baju saja pilih baju mana yang cocok dan pas untuk kita. Kita beli gorengan saja milih, beli susu di Alfamart milih, beli Aqua pun milih, padahal botol Aqua bentuknya ya itu-itu saja. Menurut saya pribadi, tidak mungkin kita tidak memilih. Iya kali, memilih pasangan hidup kayak beli gorengan, enak tidak enak tetap kita makan karena lapar.
Analogi ini sebenarnya sederhana. Tetapi untuk orang-orang yang sering bilang kalau kita pemilih, ya pada dasarnya mereka tidak ada di posisi kita. Kan yang pedekate kita.Â
Kita yang kenal dengan seseorang itu. Seperti kata pepatah, "rasa enggak pernah bohong". Ibaratnya kalau hati kita bilang "enggak" ya artinya enggak. Dan perlu ditekankan bahwa, "pilih-pilih" dan "memilih" itu dua hal dengan makna yang berbeda. Memilih seseorang yang tepat bukan berarti "pemilih" atau "pilih-pilih".
Tentu kita tidak mau mendapatkan pasangan hidup yang toxic, bayangkan saja harus hidup dengan Voldemort atau Dementor. Kita pasti memilih dan mencari seseorang yang memiliki energi positif, yang nyambung, yang kita suka, yang klik dengan kita. Jangan hanya karena kita sudah terlalu lama melajang, merasa kesepian, terus mumpung ada yang mendekati, langsung kita iyain.Â
Faktor selanjutnya yang mendorong millenial untuk menjalankan waithood adalah adanya kesadaran soal isu kesehatan mental. Masalah kesehatan mental seorang anak sering berakar dari permasalahan keluarga.Â
Sebagai contoh, kita yang tumbuh di keluarga yang tidak bahagia, tumbuh dengan kedua orang tua yang memilih untuk tidak bercerai demi anak-anaknya tetapi bertengkar terus setiap hari, tumbuh dengan kedua orang tua yang tidak mencoba memperbaiki pernikahan, tetapi lebih memilih untuk stay demi anak-anak akan mempengaruhi mental health kita. Dan kita relatif lebih aware tentang pernikahan bahwa "kita tidak mau mengulangi kesalahan yang sama dengan orang tua kita".Â
Kita akan cenderung memastikan bahwa kita sudah sembuh atau minimal sedang melalui proses healing dari trauma-trauma yang timbul dari permasalahan keluarga, sebelum kita mau terkoneksi dengan seseorang.Â
Ketika kita sudah melakukan segala cara untuk healing, untuk sembuh dan menjadi versi terbaik dari diri kita, di saat inilah kita akan siap untuk membuka koneksi dengan seseorang.Â
Selanjutnya, saya sangat setuju dengan pendapat Zoya Amirin di salah satu interviewnya dengan Tirto id bahwa, jangan sampai kita menikah :
- hanya karena kesepian
- hanya karena ditanya kapan kita nikah
- hanya karena tidak mau kita hidup kesepian nantinya
- hanya karena ingin punya anak karena anak adalah aset
Why?
You know why.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H