Mohon tunggu...
Mena Oktariyana
Mena Oktariyana Mohon Tunggu... Penulis - a reader

nevermore

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Y-E-N-A

29 Januari 2020   18:41 Diperbarui: 30 Januari 2020   08:15 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
trendy train in aesthetic header from ariahtrainingblog.yesmissy.ru

Y-e-n-a. Ku habiskan waktu senggangku di kantor untuk terus mengeja sebuah nama seorang perempuan yang telah mencuri hatiku. Perempuan dengan senyum ramah yang ku temui dua bulan lalu di sebuah gerbong kereta. Sosok yang dengan sukarela memberikan tempat duduknya, ketika tak seorangpun bersedia melakukannya untukku yang nyaris pingsan. Dia pula yang telah memberikanku sebotol air dan membantuku meminumnya. Di tempat duduk itu, aku berusaha keras untuk terus tersadar dan merekam wajahnya dengan mataku. Mungkin saja aku bisa membalas kebaikannya seandainya nanti kami bertemu lagi. Beberapa saat kemudian aku terbangun dari tidurku dan perempuan tadi yang berdiri di depanku telah berganti menjadi orang lain. Entah aku pingsan atau cuma ketiduran, yang pasti aku telah melewati banyak stasiun dan juga stasiun pemberhentianku.

Hari-hari berikutnya aku terus pulang pergi naik kereta untuk menghindari kemacetan Jakarta yang begitu parah. Selain itu, aku juga ingin bertemu perempuan itu lagi. Aku harus bilang terima kasih dan mengembalikan botol minumnya. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya menemukan dia di antara para penumpang kereta yang jumlahnya tidak sedikit itu. Aku bahkan tidak tahu dia naik dan berhenti di stasiun mana. Kemungkinan untuk bertemu dengannya sangatlah tipis. Tapi entah kenapa, setiap kali aku masuk ke dalam gerbong kereta, mataku tak pernah berhenti untuk mencari dirinya di setiap sudut-sudut kereta. Entah kenapa aku sangat berharap menemukannya.

Sampai suatu hari, ku rasa Tuhan mendengar doaku. Setelah tiga hari berturut-turut aku mencarinya, akhirnya tanpa sengaja kami duduk bersebelahan. Aku terkejut sekaligus senang. Aku terus menengok ke samping untuk melihat wajahnya dengan lebih jelas. Benar, dialah perempuan itu. Tapi aku malu sekali untuk menyapa, jantungku berpacu begitu cepat, dan keringat dingin mulai bercucuran membasahi keningku. Beberapa saat kemudian, dia beranjak dari tempat duduknya untuk turun. Aku buru-buru bangkit dan mengejarnya. Hampir saja aku kehilangan jejak. Aku berlari ke arahnya dan tanpa sadar tangan kananku menggapai tangan kirinya. Seketika dia terkejut, aku juga terkejut. Aku langsung melepas genggamanku.

"Maaf," kataku dengan cepat.

Dia diam saja dan berpaling dariku. Aku berjalan mengikuti langkahnya, lalu aku beranikan diri untuk menghentikan langkahnya lagi. Aku berdiri di depannya.

"Hai," sapaku canggung. "Ingat saya nggak mbak?" tanyaku padanya. "Mbak yang hari senin kemarin nolongin saya pas saya mau pingsan di kereta."

"Maaf mas, nolongin gimana ya maksudnya?"

"Mbak yang ngasih saya tempat duduk sama air minum," jelasku sambil menunjukkan botol minumnya akan aku kembalikan.

"Oh, masnya yang waktu itu mau pingsan ya?, jawabnya dengan tersenyum. "Gimana sekarang, udah baikan?"

"Udah kok, kemarin cuma kecapean aja." gara-gara melihat senyumnya, hampir saja aku lupa untuk mengucapkan terima kasih. "Oh iya, ini saya balikin botol mbak, sama saya mau bilang makasih banyak karena udah nolongin saya waktu itu. Saya nggak tau kalau kemarin mbak nggak ngasih saya tempat duduk, pasti saya udah pingsan dan jadi tontonan gratis orang-orang."

"Sama-sama,"

Rasanya, kami mematung sepersekian detik dan tidak bicara apapun. Sampai akhirnya dia bertanya padaku. "em, masnya mau pulang atau mau lanjut naik kereta lagi? tanya dia.

"Oh, iya, eh... iya saya mau pulang," jawabku gerogi. "Mbak sendiri mau pulang atau...?"

"Iya saya mau pulang, saya tinggal di daerah sini. Mas tinggal disini juga?"

Entah kenapa hatiku memintaku untuk berbohong. Aku menjawab iya pertanyaannya. Jadilah malam itu, kami pulang dengan berjalan kaki bersama menyusuri trotoar. Dia bilang, setiap hari dia berjalan kaki karena rumahnya cukup dekat dari stasiun. Kemudian aku berbohong lagi dan berkata hal yang sama, kalau rumahku juga dekat dengan stasiun. Aku sungguh tidak berniat untuk berbohong, aku hanya ingin mengenalnya. Malam itu juga aku resmi mengetahui namanya, YENA.

Hari-hari berikutnya aku menjalankan skenarioku yang konyol. Setiap pagi aku bangun satu jam lebih awal dari biasanya. Yang biasanya aku berangkat dari stasiun Tebet, kini aku harus berpura-pura berangkat dari stasiun Depok demi menjiwai peranku. Aku dan Yena semakin berteman. Aku selalu menunggunya di peron untuk kemudian kami berangkat bersama.

Kami selalu mengobrol hal-hal seru soal film di kereta. Terkadang, kami juga sering menganalisa tingkah laku orang-orang di kereta. Dia sering sekali memberikan tempat duduknya untuk orang lain yang lebih membutuhkan, seperti seorang kakek tuna netra, ibu hamil, lansia, bahkan orang yang sehat bugar sekalipun. Dan ketika dia berdiri karena tidak kebagian tempat duduk, dia tidak segan untuk mencarikan tempat kosong untuk para lansia yang berdiri. Jika ada penghargaan untuk penumpang KRL Terbaik, aku pastikan dia yang akan mendapatkannya. Jujur saja, sebagai laki-laki pun, aku tidak punya rasa kepedulian sebesar itu. Belum pernah juga aku menemukan penumpang yang begitu perhatian dan pengertian sepertinya. Karena sifat inilah, aku semakin tertarik padanya. Dia membuatku bersimpati, empati dan jatuh hati. Tidak mungkin aku melepaskan sosok perempuan langka seperti dirinya.

Itulah sepenggal cerita tentang bagaimana kami bertemu dan berteman. Setelah sadar dari lamunanku tentang pertemuanku dengan Yena, aku melanjutkan pekerjaanku kembali sambil tak hentinya melihat pesan whatsapp yang belum juga dibalas olehnya. Sudah dua minggu ini aku tidak mendapat kabar apapun darinya. Sebenarnya pesan-pesanku terkirim, tapi tak kunjung dibaca apalagi dibalas. Sering aku menyambangi rumahnya, membunyikan bel, tapi sepi sekali, tak ada seorangpun yang muncul dari rumah itu. Dua minggu ini juga aku di kereta sendirian tanpanya. Aku menunggunya, berharap dia muncul dan mengagetkanku seperti yang biasa dia lakukan padaku. Aku gelisah, sangat gelisah. Kenapa dia tidak ada kabar? Apa dia sedang pergi ke luar kota? Apa dia sedang sakit? Apa dia pindah rumah? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul di kepalaku.

Aku juga sudah mencoba untuk mengirim pesan lewat dm instagram, namun aku tidak bisa melakukannya karena dia belum juga memfollback diriku. Itu juga yang ingin aku tanyakan padanya, kenapa dia belum juga memfollback. Sebenarnya dia jarang sekali aktif di medsos, dia sendiri yang bilang padaku saat aku memaksa meminta username IGnya. Jadi mungkin sia-sia juga jika aku mengiriminya pesan lewat instagram. Aku merasa sangat tidak berguna ketika aku tidak pernah tahu dimana dia bekerja, bahkan untuk menanyakannya sekalipun. Dia hanya bilang bahwa, dia seorang tenaga sukarela di sebuah yayasan pendidikan. Yayasan apa? Bodohnya aku tidak pernah bertanya. Aku bahkan tidak mengenal satupun teman-temanya. Bodoh bodoh bodoh.... aku terus memaki diriku sendiri.

Aku bekerja sampai lembur untuk mengisi kekosongan yang aku rasakan. Selepas lembur, aku habiskan malamku untuk nongkrong di sebuah caffe bersama teman-temanku sampai larut malam. Tak terasa satu bulan telah berlalu sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Namun tetap saja, di sela-sela malamku, aku tetap ingat akan dirinya. Senyumnya, kebaikannya, membuatku akhirnya mengirim pesan lagi. Saat itulah aku terkejut, ratusan pesan yang pernah ku kirim telah bercentang biru. Aku langsung memencet ikon video call, sayang, tidak juga di angkat olehnya. Kemudian aku mengiriminya pesan lagi. "Yena, kamu dimana? Tolong balas pesanku. Aku cuma ingin tahu kabarmu."

Aku tunggu beberapa jam, tidak juga dapat balasan. Aku menulis pesan lagi, "Yena, kamu marah sama aku? Apa aku pernah nyakitin perasaanmu?" tidak dibalas.

Esoknya aku menulis pesan lagi, "Yen, aku minta maaf kalo aku punya salah, tapi tolong jawab pesanku, sekali aja, aku cuma mau mastiin kalo kamu baik-baik aja.

Beberapa menit kemudian, aku menulis lagi. "Aku janji nggak bakal ganggu kamu lagi, asal kamu balas pesanku".

Kalimat terakhir tidak seharusnya aku tulis, itu membuatku frustasi. Untuk apa aku berjanji seperti itu padanya. Aku sudah mengingat banyak hal, aku yakin sekali aku tidak pernah menyinggung perasaannya, apalagi menyakitinya. Atau mungkin aku tidak sengaja melukainya? Batinku. Aku terus menunggu balasannya. Aku terkejut sekali melihat tulisan sedang mengetik. Ya Tuhan, aku senang sekali, aku tidak sabar untuk membuka pesan itu untuk mengetahui apa balasannya.

"Halo Erwin, aku baik-baik saja."

"Maaf ya, aku udah pindah rumah. Jadi tolong jangan hubungin aku lagi.

Bahagiaku sirna lagi. Aku masih belum mengerti, perkara pindah rumah saja sampai harus memintaku untuk tidak menghubunginya lagi. Ada apa dengannya? Kenapa dia jadi seketus dan sejahat ini?

Aku benar-benar berhenti menghubunginya. Sesuai janjiku. Aku merasa lelah, aku tidak menyangka bahwa mencintai seseorang bisa membuatku selelah ini. Hati dan semangatku rasanya terkikis sudah. Aku jadi sakit-sakitan, aku memutuskan untuk bekerja di rumah. Aku seperti mengisolasi diriku sendiri, aku juga menolak teman-temanku yang datang ke rumah. Aku berubah menjadi benci pada diriku sendiri. Waktu senggang ku habiskan untuk berbaring di atas tempat tidur sambil menonton film, mendengarkan musik, membaca buku, atau apapun demi menghibur diriku sendiri. Tapi malam itu, aku mendapatkan satu notifikasi instagram. Yena memfollback diriku. Entah aku harus senang atau bagaimana. Yang jelas aku tak bisa menahan jari jemariku untuk melihat feed-feed instagramnya. Aku melihat semua foto-foto dirinya. Wajah manisnya yang menawan serta senyumnya yang menenangkan, tergambar jelas di setiap foto-foto tersebut. Hal ini seketika membangkitkan lagi kerinduanku padanya. 

Aku habiskan malam itu untuk memandangi setiap foto-foto dirinya di instagram dari yang paling lama sampai yang terbaru. Aku baca seluruh komentar lucu dari teman-temannya. Sampai tiba saatnya aku berhenti pada foto terakhir yang dia unggah, tertanggal 15 September 2018, yang mana itu sudah lebih dari setahun yang lalu. Benar saja, dia memang tidak aktif di medsos. Kemudian aku membuka kolom komentarnya, dan disana, aku menemukan kejanggalan demi kejanggalan. Entah kenapa, ratusan komentar tersebut bernada belasungkawa yang berhamburan dari atas ke bawah.

"Rest in Peace Yena, semoga kamu tenang disana."

"Aku masih nggak percaya kalo kamu udah nggak ada Yen."

"Istirahatlah dengan damai teman"

"RIP Yena"

"RIP Yena"

"RIP Yena"

Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku hanya bisa terdiam. Komentar-komentar itu bak peluru yang menghujam dadaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun