Rasanya, kami mematung sepersekian detik dan tidak bicara apapun. Sampai akhirnya dia bertanya padaku. "em, masnya mau pulang atau mau lanjut naik kereta lagi? tanya dia.
"Oh, iya, eh... iya saya mau pulang," jawabku gerogi. "Mbak sendiri mau pulang atau...?"
"Iya saya mau pulang, saya tinggal di daerah sini. Mas tinggal disini juga?"
Entah kenapa hatiku memintaku untuk berbohong. Aku menjawab iya pertanyaannya. Jadilah malam itu, kami pulang dengan berjalan kaki bersama menyusuri trotoar. Dia bilang, setiap hari dia berjalan kaki karena rumahnya cukup dekat dari stasiun. Kemudian aku berbohong lagi dan berkata hal yang sama, kalau rumahku juga dekat dengan stasiun. Aku sungguh tidak berniat untuk berbohong, aku hanya ingin mengenalnya. Malam itu juga aku resmi mengetahui namanya, YENA.
Hari-hari berikutnya aku menjalankan skenarioku yang konyol. Setiap pagi aku bangun satu jam lebih awal dari biasanya. Yang biasanya aku berangkat dari stasiun Tebet, kini aku harus berpura-pura berangkat dari stasiun Depok demi menjiwai peranku. Aku dan Yena semakin berteman. Aku selalu menunggunya di peron untuk kemudian kami berangkat bersama.
Kami selalu mengobrol hal-hal seru soal film di kereta. Terkadang, kami juga sering menganalisa tingkah laku orang-orang di kereta. Dia sering sekali memberikan tempat duduknya untuk orang lain yang lebih membutuhkan, seperti seorang kakek tuna netra, ibu hamil, lansia, bahkan orang yang sehat bugar sekalipun. Dan ketika dia berdiri karena tidak kebagian tempat duduk, dia tidak segan untuk mencarikan tempat kosong untuk para lansia yang berdiri. Jika ada penghargaan untuk penumpang KRL Terbaik, aku pastikan dia yang akan mendapatkannya. Jujur saja, sebagai laki-laki pun, aku tidak punya rasa kepedulian sebesar itu. Belum pernah juga aku menemukan penumpang yang begitu perhatian dan pengertian sepertinya. Karena sifat inilah, aku semakin tertarik padanya. Dia membuatku bersimpati, empati dan jatuh hati. Tidak mungkin aku melepaskan sosok perempuan langka seperti dirinya.
Itulah sepenggal cerita tentang bagaimana kami bertemu dan berteman. Setelah sadar dari lamunanku tentang pertemuanku dengan Yena, aku melanjutkan pekerjaanku kembali sambil tak hentinya melihat pesan whatsapp yang belum juga dibalas olehnya. Sudah dua minggu ini aku tidak mendapat kabar apapun darinya. Sebenarnya pesan-pesanku terkirim, tapi tak kunjung dibaca apalagi dibalas. Sering aku menyambangi rumahnya, membunyikan bel, tapi sepi sekali, tak ada seorangpun yang muncul dari rumah itu. Dua minggu ini juga aku di kereta sendirian tanpanya. Aku menunggunya, berharap dia muncul dan mengagetkanku seperti yang biasa dia lakukan padaku. Aku gelisah, sangat gelisah. Kenapa dia tidak ada kabar? Apa dia sedang pergi ke luar kota? Apa dia sedang sakit? Apa dia pindah rumah? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul di kepalaku.
Aku juga sudah mencoba untuk mengirim pesan lewat dm instagram, namun aku tidak bisa melakukannya karena dia belum juga memfollback diriku. Itu juga yang ingin aku tanyakan padanya, kenapa dia belum juga memfollback. Sebenarnya dia jarang sekali aktif di medsos, dia sendiri yang bilang padaku saat aku memaksa meminta username IGnya. Jadi mungkin sia-sia juga jika aku mengiriminya pesan lewat instagram. Aku merasa sangat tidak berguna ketika aku tidak pernah tahu dimana dia bekerja, bahkan untuk menanyakannya sekalipun. Dia hanya bilang bahwa, dia seorang tenaga sukarela di sebuah yayasan pendidikan. Yayasan apa? Bodohnya aku tidak pernah bertanya. Aku bahkan tidak mengenal satupun teman-temanya. Bodoh bodoh bodoh.... aku terus memaki diriku sendiri.
Aku bekerja sampai lembur untuk mengisi kekosongan yang aku rasakan. Selepas lembur, aku habiskan malamku untuk nongkrong di sebuah caffe bersama teman-temanku sampai larut malam. Tak terasa satu bulan telah berlalu sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Namun tetap saja, di sela-sela malamku, aku tetap ingat akan dirinya. Senyumnya, kebaikannya, membuatku akhirnya mengirim pesan lagi. Saat itulah aku terkejut, ratusan pesan yang pernah ku kirim telah bercentang biru. Aku langsung memencet ikon video call, sayang, tidak juga di angkat olehnya. Kemudian aku mengiriminya pesan lagi. "Yena, kamu dimana? Tolong balas pesanku. Aku cuma ingin tahu kabarmu."
Aku tunggu beberapa jam, tidak juga dapat balasan. Aku menulis pesan lagi, "Yena, kamu marah sama aku? Apa aku pernah nyakitin perasaanmu?" tidak dibalas.
Esoknya aku menulis pesan lagi, "Yen, aku minta maaf kalo aku punya salah, tapi tolong jawab pesanku, sekali aja, aku cuma mau mastiin kalo kamu baik-baik aja.