Cinta, jika baru pertama kali jatuh dalam hidup seseorang tentu akan dirasa indah. Inilah kejatuhan yang paling indah dalam perjalanan hidup Ratmi. Dia jatuh cinta pada Badra. Kepribadiannya yang mampu menenangkan hati Ratmi menjadikan Badra sebagai pilihannya untuk menghabiskan seluruh hidup dalam jenjang yang lebih suci. Ratmi dan Badra pun mengikat janji dalam pernikahan suci.
Perjalanan cinta sebagai keluarga yang baru dirasakannya sebagai peristiwa terindah dalam hidup mereka. Keindahan semakin berwarna tatkala kerinduan untuk menimang bayi pun dikabulkan oleh Tuhan. Dia bertumbuh sehat dan lincah. Lengkap sudah kebahagiaannya sebagai seorang istri dan ibu.
Kebahagiaan seakan tiada berakhir
Banyak rekan mengatakan bahwa mereka sungguh keluarga yang diberkati Tuhan. Bahkan ada saja yang "iri" melihat kebahagiaan tersebut. "Wah, sepertinya kebahagiaan kalian tidak akan habis", demikian komentar yang sering terucap. Jika memang demikian, Ratmi hanya bisa bersyukur kepada Tuhan sambil berdoa bagi kebahagiaan mereka juga.
Jika merunut peristiwa yang dialami, ia sangat bersyukur semua berjalan lancar. Dia mampu bekerja sebagai pendidik dengan baik. Tidak ada persoalan yang sungguh berarti dan mengguncang. Demikian juga dengan Badra. Pekerjaannya di kantor pun menunjukkan tanda-tanda yang semakin baik. Relasinya dengan orang-orang penting pun membuatnya dikenal banyak kalangan.
Memang, sejak sebelum menikah, Badra sudah aktif dalam kegiatan kepemudaan. Dari situ juga awal perkenalanku dengannya. Keterampilannya dalam mencairkan suasana serta memberi motivasi bagi kaum muda mendatangkan tawaran dan undangan untuk mengisi acara pelatihan dan outbond oleh banyak pihak.
Cinta yang Menghambar
Kebahagiaan yang cukup lama dialami perlahan mulai mengalami perubahan. Di usia pernikahan yang keenam, Ratmi merasakan ada sedikit pergeseran. Ada perubahan sikap dalam diri Badra. Awalnya tidak ada hal yang begitu mencurigakan dalam sikapnya. Pekerjaan dan aktivitasnya yang cukup padat memang sudah dimaklumi oleh Ratmi. Hanya memang belakangan intensitasnya menjadi meninggi.
Tingginya mobilitas mas Badra mulai mengurangi intensitas pertemuannya dengan istri dan anak-anaknya. Sapaan-sapaan darinya mulai terasa sekadarnya. Seperti basa-basi belaka. Bahkan humor-humornya kepada anak-anak pun mulai berkurang. Awalnya Ratmi tidak terlalu mempersoalkan sikap tersebut. Hiburan yang diberikannya kepada anak-anak hanya berupa permintaan agar mereka memaklumi ayahnya.
"Ayah lagi banyak urusan pekerjaan. Jangan ganggu ayah dulu ya," itulah yang senantiasa dikatakan kepada anak-anak.
Hiburan yang diberikannya kepada anak-anak ternyata tak mampu membendung kerinduan mereka akan sosok ayah seperti sebelumnya. Mereka tetap berperilaku seperti biasa. Bermain-main, bermanja-manja untuk menarik hati Badra. Namun dia hanya memberi respon seadanya. Respon yang hambar.
Berhadapan dengan situasi ini, Ratmi mencoba mengkomunikasikannya dengan Badra. Namun, jawabannya seadanya. Singkat. Intinya, sedang banyak pekerjaan. Ketika dia coba lagi menggali akar persoalannya, Badra mulai memainkan nada tinggi dalam memberikan jawaban. Hal yang tidak biasa dilakukan oleh Badra. Pertanyaan pun mulai bermunculan di benak Ratmi.
Semakin Ratmi memaklumi, namun semakin kikis pula identitas Badra yang dulu. Bahkan Mirnada juga mulai merasakan cinta yang dimiliki Badra terhadap istri dan anak-anak mulai menghambar. Tidak ada lagi romantisme yang dulu pernah mewarnai hidup mereka.
Tanpa disadari, banyaknya pikiran yang ada di otak Ratmi mulai terbaca oleh orang-orang di sekitarnya. Keceriaan Ratmi mulai berkurang. Itu yang dilihat oleh teman-teman di sekolah, tempatnya bekerja. Saat mereka menanyakan apa yang terjadi, Ratmi sendiri tak bisa menjelaskannya. Dia memegang prinsip, persoalan yang dihadapi ini tak perlu diketahui orang lain.
Bahtera Menghantam karang
Lebih dari dua bulan, belum ada perubahan berarti dalam diri Badra. Bahkan sikapnya makin aneh. Emosinya menjadi mudah terpancing oleh karena hal yang sederhana. Padahal sebelumnya sangat  sulit sekali memancingnya untuk sekadar marah. Bahkan terhadap anak-anak pun Badra mulai tidak sungkan untuk membentak dan memukul. Ini hal yang paling tidak disukai Ratmi.
Berbagai cara komunikasi telah dicoba untuk sekadar mengungkap akar persoalan yang makin berlarut-larut ini. Namun yang ditemukan Ratmi selalu jalan buntu. Badra menjadi sangat tertutup dan mudah marah
Kesabaran Mirnada pun mulai menipis. Hingga suatu hari terjadi perdebatan yang cukup sengit. Ini pertama kalinya mereka bertengkar hebat. Ratmi pun mulai merasa gerah dengan situasi di rumah. Ingin rasanya menepikan diri sejenak untuk menjernihkan pikiran. Namun ada alasan kuat yang membatalkan keinginan itu. Ya, dia tidak tega meninggalkan buah hatinya meski sebentar.
Meski demikian, Ratmi mencoba untuk tetap menutupi apa yang dirasakan dan dialaminya di rumah ketika berada di sekolah. Keceriaan dan kegembiraan berhadapan dengan murid-murid saat di kelas pun tidak dia hilangkan. Walau sebenarnya hati sedang risau.
Entah dari mana sumbernya, di sekolah berhembus kabar, adanya aktifis kepemudaan yang tersangkut persoalan dengan seorang mahasiswi. Bahkan mahasiswi tersebut hamil. Mendengar cerita itu, meski belum jelas orang yang dimaksud, batin Ratmi merasakan sesuatu. Pikiran-pikiran aneh berlari-lari di otaknya.
"Mudah-mudahan bukan Badra." Itu saja permintaannya.
Entah mengapa kabar tersebut terus mengusik batinnya. Ratmi berdoa memohon agar keutuhan keluarga dapat terjaga. Ratmi percaya akan kesetiaan Badra. Dia bukan tipe yang perlu dicurigai atau dikuatirkan akan selingkuh.
Suatu siang, setibanya dari rumah, seperti biasa Ratmi mengerjakan pekerjaan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Sayup terdengar seseorang mengetuk pagar rumah.
"Permisi..., permisi..."
Ratmi melihat seorang perempuan berdiri di depan pintu pagar rumah mereka. Ratmi segera keluar.
"Hai mbak! Mas Badra - nya ada di rumah?"
Ratmi membalas sapaan tersebut lalu menegasi pertanyaan Melly. Meski tahu bahwa Badra belum pulang kerja, Melly justru mohon untuk bicara dengan Ratmi, dan permohonan itu dipenuhinya.
Ratmi tersentak mendengar inti pembicaraannya.
"Mbak Mir, Melly hamil. Sudah 5 bulan. Aku ingin mas Badra bertanggungjawab."
Batin Ratmi terasa tertusuk ribuan jarum. Mulutnya terkunci, hatinya menangis. Perasaan bercampur aduk antara benci, marah, kasihan. Spontan ingin sekali dia mengusir Melly dan cerita bohong yang dituturkannya. Namun, batin Ratmi melarang. Dia luluh dengan cucuran air mata Melly kala berkisah.
Sungguh, jika ini benar ulah Badra, Mirnada tidak tahu harus bagaimana. Melly bukanlah sosok yang asing dalam hidup mereka. Bahkan dia sudah seperti adik sendiri. Dia juga aktif dalam kegiatan kepemudaan bersama Badra. Mengapa kisahnya harus seperti ini??
Orang yang dia beri kepercayaan penuh atas kesetiaannya untuk menahkodai bahtera keluarga, ternyata bahtera itu saat ini menghantam karang. Kebahagiaan yang seakan tak berhenti itu, kini menemukan titik henti. Bahkan terhenti karena orang yang sangat dikenalnya, Melly. Pengakuan Melly sontak melayangkan pikirannya pada kabar yang telah berhembus di sekolah. Ternyata kegelisahan hatinya itu saat ini terbukti.
Berada pada Persimpangan Sikap
Kehadiran persoalan ini membuat Ratmi mulai tidak simpatik terhadap sikap Badra. Bahkan dia mulai jijik terhadap Badra. Begitu halus namun dalam tikaman pengkhianatan yang dilakukan Badra. Meski pun Badra tidak mengakui perbuatannya terhadap Melly, namun Ratmi tidak langsung mempercayainya.
Belakangan kasus yang menerpa keluarga mereka tercium publik. Di sekolah, Ratmi makin merasa gerah. Ada yang kasihan terhadap Ratmi, namun ada juga yang memandangnya sinis. Meski terpojok, sebagai seorang ibu, Ratmi berusaha menyembunyikan persoalan ini dari buah hatinya. Belum waktunya mereka tahu apa yang terjadi. Dia hanya bisa menghibur dan membuat mereka untuk tetap bersikap baik.
Pagi ini Ratmi melihat hal yang tidak biasa pada Badra. Dia masih belum beranjak menuju ke tempat kerjanya.
"Belum berangkat kerja, mas?"
Jawaban yang diberikan semakin membuat Ratmi hancur. Ternyata Badra dikeluarkan dari pekerjaannya. Perbuatannya atas Melly sudah diketahui oleh banyak pihak, bahkan pimpinan tempat dia bekerja. Kasusnya telah mencemari dan mencederai institusi secara moral.
Oh, Tuhan, sungguh beruntun persoalan ini. Ratmi mulai kehabisan akal menerima kenyataan ini. Kebersamaan dengan Badra pun tidak bisa lagi dirasakan kenyamanannya. Apalagi Ratmi tahu bahwa Melly tidak berputus asa untuk menuntut pertanggungjawaban Badra. Keluarganya menuntut Badra menikahi Melly. Tuntutan itu sungguh tak pernah terbayangkan oleh Ratmi. Dalam hidupnya tidak pernah terlintas istilah perceraian.
Ratmi berada di persimpangan sikap. Persoalan yang berlarut-larut ini membuatnya sulit menemukan jalan terbaik. Saat ini dia memutuskan untuk berlalu dari kehidupan Badra. Dia tak ingin berlama-lama bersitegang dalam persoalan ini. Apalagi, Badra sendiri telah memutuskan mengambil tanggung jawab bersama Melly, dan melepas tanggung jawabnya bersama Ratmi dan anak-anak.
Meskipun berat, Ratmi memilih untuk meneladani ibunya. Dia dibesarkan cukup lama oleh ibunya dengan statusnya sebagai single parent setelah ayahnya meninggal dunia. Jika ibu mampu, dia bertekad bahwa dia pun mampu. Tinggal selanjutnya akan dia hadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Pengalaman bersama Badra sudah dia tinggalkan, dan kini Ratmi bersama dengan anak-anaknya mencoba menikmati hidup di kota lain yang lebih tenang.*** (Aloysius Kristiawan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H