Mohon tunggu...
Memei Landak
Memei Landak Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jago

12 Oktober 2015   13:26 Diperbarui: 12 Oktober 2015   13:26 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 GUMPALAN asap membubung tinggi di langit selatan, padahal beberapa menit lalu, Si Jago yang mengamuk di ujung utara desa, baru selesai dijinakkan, Junaidi dan warga kalang-kabut dibuatnya.

Si Jago sudah menghanguskan rawa-rawa kering September dan mulai menjalar ke perkebunan. Dua hektar kebun pak Sopian sudah habis dilahapnya. Disebelah  kebun pak Sopian adalah kebun Pak Arpan, kebun Pak Salim ada disamping kebun Pak Arpan. Didepan kebun Pak Salim, disitulah letak kebun Junaidi, hanya terpisah jalan setapak. Masuk dalam daftar antrian amukan Si Jago selanjutnya.

Junaidi was-was, buru-buru ditunggangi motor tuanya, setelah diengkol kurang lebih tiga belas kali, akhirnya motor tua itu menyala. Rupanya si motor tua mengerti keadaan genting sang majikan, biasanya  perlu tiga puluh tiga kali engkol baru menyala.

Tancap gas, dengan kecepatan penuh junaidi memacunya. Dua puluh lima kilometer per jam. Maklum motor tua, jalan bergelombang dan gelap, diselimuti asap. Jarak pandang tak sampai lima meter.

Di kebun Pak Arpan, Pak Arpan, Pak Sopian, Pak Salim, Junaidi dan warga kocar-kacir berlarian kesana kemari meredam Si Jago. Memang tak mudah, terlebih di musim kemarau. Minim alat, tak ada air. Dengan peralatan seadanya,  yakni ranting pohon dan daun, setelah kurang lebih 3 jam bertarung, akhirnya Si Jago berhasil dijinakkan. Hasilnya, kebun Pak Arpan hangus sebagian. Untuk sementara, kebun junaidi, aman.

“Jun, jangan lupa Minggu pagi kumpul di balai desa, tetanggamu di ingatkan. Menyesal kalau sampai tak datang” Sebelum meninggalkan kebun, Pak Salim kembali mengingatkan Junaidi. “Siap Pak!”

***

SEPULANG sekolah, wajah April ditekuk, kusam, sekusam langit September. Ia malu. Malu pada semuanya, terutama kepala sekolah, guru dan teman-temannya. Tadi pagi, dia dipanggil kepala sekolah. SPPnya nunggak tiga bulan, terancam tak bisa mengikuti ujian tengah semester.

Dia bukannya tak tahu kondisi keluarga. Dia tahu, Bapak-Ibunya hampir tiap hari uring-uringan karena harga karet terus menurun, sedangkan harga kebutuhan sehari-hari terus meroket. Sebab itulah, dia tak sampai hati, merengek pada Bapak-Ibunya.

“Harga beras naik lagi, jadi dua belas ribu. Kamu juga tahu, sudah dua bulan lebih Bapakmu tak menyadap. Kobaran api dimana-mana, siang malam, Bapakmu harus berjaga-jaga. Musim kemarau tak ada getah, sedangkan harga getah semakin murah. Tak bisa menutupi kebutuhan sehari-hari,” keluh Ibunya sambil menangis.

“Harga bensin seliter sebelas ribu. Sekolahmu jauh, pulang pergi setiap hari, paling tidak butuh dua liter. Belum uang jajanmu. Belum lagi pulsa hapemu, pulsa lima ribu harganya sepuluh ribu, pulsa sepuluh ribu harganya hampir dua puluh ribu,” Ibu berhenti, mengambil nafas panjang.

 “Hape itu penting, kalau motor tiba-tiba mogok di tengah kelapa sawit, terus kamu diapa-apain orang bagaimana? Bapak-Ibu sudah tidak ada uang.”

Ibu meminta April, untuk sementara waktu, berhenti sekolah. Setidaknya sampai ekonomi keluarga membaik, kemarau berakhir, harga getah karet membaik. Tapi, itu entah kapan.

***

DI musim kemarau, di desa Junaidi, matahari tak pernah benar-benar terbit, tak pula tenggelam. Siang dan malam hampir tak ada beda. Malam gelap, tentu saja karena belum ada listrik,  pagi berkabut, siang sampai sore berasap.

Setelah lelah seharian berjibaku dengan Si Jago, tak dirasa, diantara kabut samar-samar  tampak semburat cahaya merah keemasan di langit pojok barat, “Waktunya mandi,” pikir Junaidi.

Untuk menghindari antrian, Junaidi buru-buru ke belik, –sumur tanah lempung yang digali di rawa-rawa, digunakan saat darurat air di musim kemarau– anak-anak, bujang, gadis, bapak-bapak, emak-emak sampai simbah-simbah sudah mengular. Sial, Junaidi dapat buntutnya.

Setelah sekitar satu setengah jam menunggu, Junaidi dapat giliran. Belum juga sempat membuka baju, samar-samar terdengar suara kemerotak, kemerosok dari selatan. Sekonyong-konyong Junaidi lari pontang-panting, begitu juga warga, langsung berhamburan ke sumber suara. Entah dari mana asalnya, Si Jago ngamuk lagi.

Lagi-lagi, Junaidi dan warga harus berurusan dengan Si Jago. Setelah dua jam berduel, akhirnya Si Jago berhasil ditakhlukkan. Kebun Pak Arman menjadi arang, bukan hanya setengah tapi semuanya, kebun Pak Salim menghitam sebagian. Lagi, untuk sementara kebun junaidi masih aman.

Serangan mendadak seperti ini, sebenarnya sangat lumrah. Si Jago pura-pura takhluk, sebelum nanti, entah dapat suntikan kekuatan dari mana, menyerang lagi. Tak mau tertipu, warga memutuskan berjaga-jaga sepanjang malam. Junaidi tidak jadi mandi.

Benar saja, walau ditengah pekat malam, dingin angin September, tetes-tetes embun pun tak mampu meredam amukan Si Jago, benih-benihnya sempat bermunculan beberapa kali dari dalam tanah. Sebelum akhirnya langsung  disambar Junaidi dan warga. “Mampus Kau!”

 “Mungkin bumi sudah lapuk hingga memuntahkan apinya. Atau mungkin Tuhan hendak melaknat warga desa karena kebanyakan nyuri kelapa sawit milik PT, beli kupon judi buntut, nyawer biduan dan nyabung ayam ?” Kata Pak Sopian.

“Itukan anak kau, aku kan nggak! Anakku nggak! Kenapa pula ikut kena laknat!”

“Ku dengar anak kau keluar dari sekolah, Jun?” Tiba-tiba angin berhembus, membawa kebisuan, kebekuan di hati Junaidi.

***

SESUAI undangan Pak Salim, pada Minggu pagi, warga berkumpul di balai desa.  Ada tamu penting dari kota, hendak menyampaikan sesuatu yang teramat penting, entah sepenting apa.

“Bapak, kenal mereka?” Pak Arpan mengangkat bahu,“Mungkin mereka orang-orangnya Pak Kades.” Junaidi manggut-manggut.

Seperti bertemu saudara lama, dengan senyum mengembang, mereka, orang-orang berbaju biru, amat sangat ramah menyambut kedatangan warga.

Seolah sudah berkawan lama, mereka sangat memahami macam-macam kesulitan yang dialami warga. Seolah keluarga dekat, mereka bersedia membantu segala yang dibutuhan warga. Seperti kedua orang tua, mereka juga sangat tahu apa yang terbaik untuk warga. Disaat-saat keadaan mencekik seperti ini, Junaidi dan warga menganggap mereka semacam malaikat yang turun dari langit.

Sepulang dari balai desa. Masing-masing membawa sebuah kalender, kaos biru, kartu nama biru yang berisi nama sang malaikat lengkap dengan segala titel dan nomer telepon.

Malaikat berseragam biru, seperti sangat memahami betapa morat-maritnya perekonomian Junaidi. Mereka seolah tahu, betapa Junaidi sangat butuh uang untuk biaya sekolah anaknya, belanja sehari-hari Istrinya. Seolah ada yang membisikkan, sudah dua bulan lebih Junaidi tak ada penghasilan. Maka, tanpa diminta, Junaidi dan warga diberinya amplop. Isinya tak tanggung-tanggung cukup untuk menyambung hidup selama sebulan kedepan.  

Dua hari berikutnya, datang lagi tamu dari kota, tak kalah baik dari yang sebelumnya. Kali ini, mereka berseragam kuning. Malaikat berseragam kuning, begitu Junaidi menyebutnya.

Lagi, sebuah kalender, kaos kuning, kartu nama kuning berisikan nama sang malaikat lengkap dengan segala titelnya dan nomer telepon dibagikan ke semua warga.

Sekonyong-konyong, Sang Malaikat, membagikan paket sembako ke Junaidi dan warga. Cukup untuk makan sebulan kedepan.

“Betapa baiknya Malaikat berseragam kuning ini. Seolah mereka tahu, hampir mati aku tiap hari diomeli Istri.”

Seminggu berselang, warga dikagetkan bunyi sirine yang menguing sampai membangunkan ayam  seantero desa. Malaikat ketiga, berseragam merah, semerah mobil yang dibawanya. Mereka membawa mobil pemadam kebakaran.

Junaidi ternganga, seumur hidup belum pernah dilihatnya mobil seraksasa dan sewibawa ini. Persis seperti yang sering ditontonnya di TV. Tanpa dikomando, warga berdatangan, berkumpul, berkerumun. Mereka hendak melihat mobil.

“Mobil ini akan membantu warga memadamkan api selama sebulan kedepan.” Warga pun bersorak kegirangan. Mereka akan melihat mobil sebulan kedepan!

Para malaikat, seperti biasa, membagikan sebuah kalender, kaos merah, kartu nama merah berisikan nama sang malaikat lengkap dengan segala titelnya dan nomer telepon.

***

“Bapak, kenapa tiba-tiba banyak orang baik membantu warga?” April penasaran.

“Kata Pak Salim, mereka itu orang-orang penting. Calon kepala daerah!” Jawab Junaidi penuh gairah.

“Biasa, lagi musim kampanye!” Sela Ibunya.

“Bapak-Ibu jago-in yang mana ?” mereka saling pandang, tak ada yang menjawab.

Dalam hati Junaidi berdoa, semoga sepanjang tahun adalah musim kampanye agar dapurnya tetap mengepul, anaknya bisa sekolah.

Dan dia juga berdoa, semoga lima tahun mendatang para malaikat itu tidak menjelma menjadi iblis!

Dan doa itu terus diulang-ulangnya, setiap lima tahun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun