“Hape itu penting, kalau motor tiba-tiba mogok di tengah kelapa sawit, terus kamu diapa-apain orang bagaimana? Bapak-Ibu sudah tidak ada uang.”
Ibu meminta April, untuk sementara waktu, berhenti sekolah. Setidaknya sampai ekonomi keluarga membaik, kemarau berakhir, harga getah karet membaik. Tapi, itu entah kapan.
***
DI musim kemarau, di desa Junaidi, matahari tak pernah benar-benar terbit, tak pula tenggelam. Siang dan malam hampir tak ada beda. Malam gelap, tentu saja karena belum ada listrik, pagi berkabut, siang sampai sore berasap.
Setelah lelah seharian berjibaku dengan Si Jago, tak dirasa, diantara kabut samar-samar tampak semburat cahaya merah keemasan di langit pojok barat, “Waktunya mandi,” pikir Junaidi.
Untuk menghindari antrian, Junaidi buru-buru ke belik, –sumur tanah lempung yang digali di rawa-rawa, digunakan saat darurat air di musim kemarau– anak-anak, bujang, gadis, bapak-bapak, emak-emak sampai simbah-simbah sudah mengular. Sial, Junaidi dapat buntutnya.
Setelah sekitar satu setengah jam menunggu, Junaidi dapat giliran. Belum juga sempat membuka baju, samar-samar terdengar suara kemerotak, kemerosok dari selatan. Sekonyong-konyong Junaidi lari pontang-panting, begitu juga warga, langsung berhamburan ke sumber suara. Entah dari mana asalnya, Si Jago ngamuk lagi.
Lagi-lagi, Junaidi dan warga harus berurusan dengan Si Jago. Setelah dua jam berduel, akhirnya Si Jago berhasil ditakhlukkan. Kebun Pak Arman menjadi arang, bukan hanya setengah tapi semuanya, kebun Pak Salim menghitam sebagian. Lagi, untuk sementara kebun junaidi masih aman.
Serangan mendadak seperti ini, sebenarnya sangat lumrah. Si Jago pura-pura takhluk, sebelum nanti, entah dapat suntikan kekuatan dari mana, menyerang lagi. Tak mau tertipu, warga memutuskan berjaga-jaga sepanjang malam. Junaidi tidak jadi mandi.
Benar saja, walau ditengah pekat malam, dingin angin September, tetes-tetes embun pun tak mampu meredam amukan Si Jago, benih-benihnya sempat bermunculan beberapa kali dari dalam tanah. Sebelum akhirnya langsung disambar Junaidi dan warga. “Mampus Kau!”
“Mungkin bumi sudah lapuk hingga memuntahkan apinya. Atau mungkin Tuhan hendak melaknat warga desa karena kebanyakan nyuri kelapa sawit milik PT, beli kupon judi buntut, nyawer biduan dan nyabung ayam ?” Kata Pak Sopian.