Mohon tunggu...
mely santoso
mely santoso Mohon Tunggu... -

keluar dari sudut kosong yang tak membawamu kemanapun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesian Greatest Challenge: Melihat Tantangan Indonesia dan Menyiapkan Bangsa Menghadapi Perubahan

29 Juni 2017   13:30 Diperbarui: 29 Juni 2017   13:35 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bukan hanya pada aspek kekayaan alam negara, namun nilai-nilai budaya, karakter bangsa, dan interaksi sesama warga sudah mulai terkikis. Kita harus tegas untuk menjaga yang lama, dan berjuang menyesuaikan dengan hal baru.

Permasalahan

Sudah sejak lama kita sepakati dan kita agung-agungkan bahwa negara Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat mengagumkan seperti gunung emas, flora dan fauna, kekayaan budaya, bahasa dan bahkan kekayaan sejarah yang sangat menarik dan seperti tak ada habisnya untuk dibahas. Bagaimana tidak, hampir semua sumber daya alam ada di negara ini, agama-agama besar ada di Indonesia, dan beberapa hal seperti upacara adat dan lain sebagainya yang menjadikan Indonesia sebagai bangsa dengan berbagai keragaman. Hingga akhirnya tercetuslah sebuah semboyan "bhineka tunggal Ika" sebagai simbolis pemersatu keberagaman suku, bahasa, dan agama. 

Namun sayang, selain dikenal dengan kekayaan alam dan budaya yang begitu mewah, Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi, banyak masyarakat miskinnya yang belum terentaskan, Negara dengan ibu kota yang memiliki reputasi kurang menyenangkan: lalu lintas macet, banjir hampir setiap tahun, dan berbagai tindak kekerasan. Kebersihan umum juga tidak bisa jadi kebanggaan bangsa. Sampah berserakan di pasar, jalanan, tempat umum, dan memenuhi sungai-sungai, menyebabkan kebanjiran (Sarwono, 2015). 

Ketimpangan status ekonomi sosial pun sangat terasa jauh. Masih ada beberapa saudara kita yang berburu untuk mendapatkan makanannya di pedalaman sana, dan beberapa lainnya mencari makan melalui perundingan bisnis, investasi, jual beli saham, dan bahkan harus menyesuaikan jadwalnya dengan jadwal perusahaan luar negeri. Kita harus fair, walaupun sudah banyak perbaikan-perbaikan yang dilakukan, namun masih banyak juga masyarakat yang belum tersentuh akan perbaikan tersebut.

Jika kita amati, beberapa permasalahan yang dibahas di atas memiliki kesamaan yang sangat transparan terutama bagi yang mendalami bidang psikologi. Titik tengah permasalahan tersebut terletak pada "perilaku manusia"nya. Kita ulas lagi sedikit. Apakah tidak ada peraturan, nilai, dan norma yang melarang manusia (seluruh lapisan warga Indonesia; rakyat, Mentri, pemimpin, dan lain sebagainya) untuk tidak melakukan tindak korupsi? 

Kita sepakat bahwa mencuri atau mengambil hak milik orang lain tanpa persetujuan adalah perilaku yang tidak bermoral, baik dari segi agama (Islam terutama yang penulis ketahui) maupun dari nilai-nilai budaya yang ada di lapisan masyarakat. Pertanyaannya di sini adalah, apa yang menyebabkan seseorang melakukan perilaku korupsi? Mengapa dia melakukannya? Dan mengapa dia berani melanggar peraturan yang telah ditetapkan?.

Jika kita telisik lebih dalam, di era ini bangsa Indonesia sudah kehilangan banyak karakternya sebagai orang indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang memiliki karakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Hilangnya karakter tersebut disebabkan oleh berbagai banyak hal. Sebagai contoh. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengaku berprofesi sebagai entertainer atau public figure (walaupun tidak tenar-tenar banget) yang berperilaku tidak layak untuk ditiru. 

Berapa banyak YouTuber yang memaki-maki sesama profesinya, berbicara kasar, dan bahkan berani membuat konten-konten yang kurang mendidik. Orang dewasa, dengan perkembangan kognitif yang sudah mencapai tahap operasional formal setidaknya sedikit banyak dapat menyaring informasi yang diterima. Namun bayangkan jika informasi-informasi ini ditangkap langsung oleh anak-anak yang struktur kognitifnya belum terbentuk secara utuh?

Umumnya, anak melakukan proses belajar menggunakan teknik modelling (teknik belajar dengan observasi perilaku dan tindakan orang lain yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman berperilaku) disadari ataupun tidak. Sebagai contoh, jika setelah menonton salah satu vidio di YouTube lalu anak-anak meniru gaya bahasa, ucapan, bahkan kata-kata yang digunakan, maka role model pada belajar modelling ini sudah menjadi penyumbang pembentukan struktur kognitif anak. Contoh lain. Banyak teman-teman yang lahir pada tahun 90an bercerita bahwa pada masa kecilnya mereka ingin menjadi seperti power ranger merah, kapten Tsubasa, atau sekuat Goku ketika mereka sudah dewasa. 

Dari sini dapat disimpulkan bahwa tanpa disadari anak-anak telah mengalami proses belajar menggunakan prinsip modelling ini. Model yang dirasa baik akan mudah ditiru anak, terutama ketikamodel yang dijadikan acuan tersebut terkenal dan disukai oleh teman-teman sebayanya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika anak-anak jaman sekarang merasa asyik dengan konten vidio YouTube yang tidak mendidik lalu berkata "Aku ingin menjadi seperti dia di Masa depan?" atau tiba-tiba anak perempuan kita bicara "kalian semua suci aku penuh dosa" setelah menonton vidio tersebut.

Kekayaan alam Indonesia sudah tidak perlu lagi kita perdebatkan, tapi "kemiskinan" dalam karakter asli orang Indonesia (pribumi) tidak boleh kita biarkan terkikis. Mengapa? Lalu dari mana asal usul hilangnya karakter bangsa yang rukun, santun, berbudi perkerti, ramah dan bertanggung jawab ini? Globalisasi menjadi salah satu kambing hitam yang sering dijadikan alternatif penyebab hilangnya karakter bangsa Indonesia.

Sumitra (2015) mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan kebangsaan yang dapat divisualisasikan dalam tiga lapisan atau tingkatan. Pertama, pada lapisan terdalam atau pada level individu dan keluarga. Pada level ini telah terjadi perubahan sosial yang sangat berbeda dari generasi baby boomers yang lahir sebelum tahun 1960-an. Telah terlihat adanya perubahan perilaku kolektif kalangan remaja di era ini, generasi remaja hari ini merupakan generasi dengan IT Minded yang hidup di lingkungan masyarakat yang memiliki kesadaran hukum dan sosial masyarakat yang tinggi, dengan dukungan perlengkapan dan teknologi modern yang canggih. 

Generasi ini memiliki ciri khas yang unik seperti cenderung melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan (multitasking), lebih menyukai hal-hal yang bernuansa multimedia, lebih menyukai interaksi di dunia maya, sangat berbakat dalam belajar menyukai kegiatan yang menyenangkan, namun mudah frustasi dalam melakukan kegiatan yang sesungguhnya menuntut kreatifitas kecil, bertindak kurang disiplin, serta memiliki pola hidup dan pola pikir lebih menyukai sesuatu yang instant (Sudrajat, 2012 dalam Sumitra, 2015).

Tantangan kedua terletak pada level tengah atau level institusional dan nasional, yaitu terjadinya penetrasi budaya asing tanpa adanya filter yang memadai. Seperti yang kita lihat bahwa seluruh lapisan masyarakat hari ini dapat mengakses informasi global dengan sangat mudah. Berbagai macam informasi dari belahan dunia dapat kita akses melalui telepon genggam atau telepon pintar. Mari kita renungkan beberapa pertanyaan ini. Sejak tahun berapa remaja Indonesia mengagung-agungkan oppa-oppa dan unni-unni dari Korea Selatan? Apakah remaja hari ini lebih menyukai tarian khas daerah dengan berbagai macam unsur etnik yang melekat atukah lebih menyukai dugem di club-club malam? Bangsa Indonesia hanya butuh waktu sebentar untuk menerima budaya asing masuk namun harus menunggu sampai budaya tersebut diklaim orang asing baru merasa mencintai budayanya sendiri.

Tantangan ketiga terletak pada level internasional atau global, tantangan sekaligus ancaman terbesarnya dan merupakan sumber dari kedua tantangan sebelumnya, adalah terjadinya globalisasi.  Proses globalisasi ini memiliki beberapa implikasi antara lain: 1) terbukanya berbagai kesempatan untuk mewujudkan kegiatan serta interaksi secara global, baik dalam bidang ekonomi dan perdagangan, industri, usaha dan jasa maupun pendidikan; 2) tumbuhnya bentuk-bentuk kerja sama di antara bangsa-banga, baik secara global ataupun regional, dengan melibatkan seluruh wilayah negara atau sebagian daripadanya baik dalam bidang ekonomi maupun bidang politik dan sosial budaya; 3) terjadinya strukturisasi yang mencakup wilayah dan kawasan dunia sebagai satu keseluruhan global baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya; 4) diadopsinya nilai-nilai global yang universal.

Tantangan-tantangan tersebut  sudah berada di depan mata kita, tidak bisa lagi kita menghindarinya atau malah menutup mata. Sebagai bangsa yang masih berjuang untuk bangkit, kita sudah harus mempersiapkan diri menghadapi dunia yang sudah semakin tanpa sekat ini (kondisi dunia yang sangat ekstreem). Bisa jadi suatu saat nanti Indonesia hanya menjadi desa yang kecil dari Negara yang disebut World.

Mari Berperan Berorientasikan Keilmuan Psikologi

Kalau kita berpendapat bahwa kita dapat melakukan suatu perubahan besar hanya dalam beberapa hari, maka kita masih terlalu naif.  Sudah banyak sekali peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah guna memperbaiki perilaku buruk bangsa Indonesia. Sudah banyak dan sering disosialiasikan untuk membuang sampah pada tempatnya, tidak parkir motor sembarangan, dan tidak merokok di ruang terbuka. Apakah kebijakan-kebijakan tersebut sudah menuai hasil yang baik hari ini? Bahkan, apakah kebijakan tersebut dievaluasi atau dibiarkan mati?

Terlepas dari apakah kebijakan yang diusung oleh pemerintah sudah berhasil ataupun tidak, masing-masing dari kita haruslah mengevaluasi diri kita terlebih dahulu dan menanyakan pada diri kita sendiri apakah diri kita sudah siap berubah? Apakah kita akan mampu bertahan dan mampu menyesuaikan diri dengan tantangan yang sudah berada di depan mata kita? Untuk mampu menyesuaikan diri menghadapi perubahan di era informasi yang serba cepat dan tanpa batas ini, ada baiknya kita mempersiapkan diri kita sendiri dahulu menghadapi perubahan daripada menuntut perubahan yang mungkin belum tentu kita siap menerimanya. 

Kenapa kita harus siap menghadapi perubahan? Ini sebenarnya pertanyaan mendasar yang mengharuskan kita kembali pada konsep dasar evolusi. Alih-alih anda setuju atau tidak pada konsep evolusi atau bahkan anda memandang teori evolusi sebagai sebuah teori yang sesat, ada suatu pointyang tidak dapat dipungkiri yaitu konsep survival of the fittest.

Singkatnya, jika kita siap menghadapi perubahan (perubahan dalam bentuk apapun; menyesuaikan diri menghadapi climate change, persasingan yang semakin ketat, populasi yang semakin meningkat) akibatnya kita dapat survive.Namun, jika kita tidak siap menghadapi perubahan dan tidak dapat menyesuaikan diri, maka kita sendiri yang akan terkena masalah. Bukankan keilmuan psikologi juga berkata demikian? (pelajari lebih lanjut tentang stress dan gangguan penyesuaian diri)

Anda boleh setuju atau tidak tentang alasan "kenapa kita harus siap mengahadapi perubahan" yang saya ajukan, atau bahkan boleh juga mengajukan alasan lain. Kesiapan kita menentukan keberhasilan dari langkah yang kita ambil. Setidaknya seperti itu.  Uber adalah contoh pembawa perubahan. Perusahaan asal Amerika yang bergerak di bidang transportasi dan food deliveringini secara tidak langsung telah memperlihatkan bahwa sebagian manusia telah siap menghadapi perubahan dan sebagian lagi tidak siap.

 Lawan-lawan bisnis Uber di beberapa negara sepertinya tidak memprediksikan akan datangnya Taxy yang tidak terlihat di antara mereka, taxy yang melebur diantara mobil-mobil pribadi lainnnya, mereka (perusahaan saingan Uber tersebut) seperti sudah nyaman dengan diri mereka sendiri. Dan ketika Uber datang tanpa terlihat, mereka lantas terkejut lalu seakan tidak menerimanya. 

Di Indonesia sendiri, fenomena maraknya demo terhadap go-jek merupakan contohnya. Tidak terpikirkan sebelumnya bagaimana seorang driverojek mau menjemput, mengantar makanan, membersihkan rumah, atau bahkan membelikan pulsa hanya dengan sentuhan jari pada telepon pintar. Pemesan hanya tinggal leyeh-leyehsaja di tempat.  

Sebagian besar masyarakat, terutama yang telah berprofesi sebagai driverangkutan umum atau pangkalan ojek yang tidak siap dengan perubahan ini akan banyak merasa dirugikan, penghasilan mereka menurun, sepi pelanggan dan lain sebagainya sedang mereka tidak bisa beralih dari pekerjaan mereka karena harus membiayai anak istri dan untuk makan sehari-hari (paradoks tentang manakah yang harus kita bela apakah keberadaan go-jek atau pangkalan ojek, akan kita bahas pada tulisan lain).

Coba bayangkan, perusahaan transportasi tanpa memiliki taxy, perusahaan pangkalan ojek tanpa memiliki sepeda motor sendiri. Sampai paragraf ini saya sendiri kepikiran untuk mendirikan perusahaan catering tanpa memilki warung atau memilik keahlian memasak, pesankan saja masakan pada orang lain atau pada warung langganan kita, kita tinggal terima telepon, antar pesanan, terima uang, bagi jatah pada pemasak, ambil jatah kita, jika modal sudah lumayan terkumpul baru dirikan kantor utama. Garis besarnya, hal pertama yang harus kita siapkan untuk menghadapi perubahan dan dapat menyesuaikan diri dalam perubahan adalah kesiapan diri sendiri. Tanpa itu, kita tidak akan bertahan lama.

Hal penting kedua yang harus diusahakan sebagai langkah menghadapi perubahan dan tantangan bangsa adalah menjaga nilai-nilai luhur bangsa dengan mengusahakan masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai religiusitas (dalam hal ini Islam) yang baik. Untuk apa? Coba bayangkan jika seluruh masyarakat Indonesia sudah terkontaminasi budaya asing, budaya memakai hot pants bagi perempuan, tidak lagi bersopan santun ketika bertemu sesama, saling melontarkan kata-kata kotor yang katanya terlihat keren, dan hilangnya tradisi tarian daerah, maka nilai religiusitaslah yang mampu menangani luntrunya itu. Dan beruntungnya, nilai-nilai religiusitas kebanyakan bangsa Indonesia bersandingan dengan nilai-nilai budaya yang dianut. 

Sebagai contoh budaya beturur kata dengan sopan santun adalah budaya bertutur bagi mayoritas masyatakat Jawa yang juga merupakan salah satu ajaran dalam nilai-nilai Islam. Dan masih banyak nilai budaya lokal yang berkesinambungan dengan nilai religiusitas Muslim. Dengan demikian, budaya ini bisa saling menguatkan satu sama lain agar dapat terus terjaga keutuhan nilai-nilai religiusitas maupun nilai-nilai budaya pribumi sendiri. Inilah yang saya sebut sebagai menjaga yang lama.

Selanjutnya, hal yang tidak kalah pentingnya dan sangat bersinggungan dengan keilmuan psikologi adalah meningkatkan kebutuhan berprestasi (need of achievement) pada masyarakat, terutama pemuda Indonesia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan militansi bangsa untuk menghadapi perubahan dan  tantangan. David McClelland (1961, dalam Sumitra, 2015) yang meniliti mengapa suatu bangsa lebih maju dari bangsa yang lainnya, menemukan bahwa kunci dari keberhasilan bangsa-bangsa yang maju adalah adanya kebutuhan untuk berprestasi pada masyarakat di suatu bangsa. 

Pada dasarnya, McClelland menemukan bahwa orang-orang yang motif berprestasinya tinggi akan memikirkan untuk melakukan sesuatu lebih baik dari orang lain dengan hasil capaian yang diusahakan untuk melebihi ukuran yang ditetapkannya sendiri. Sedangkan dalam tingkah laku sehari-harinya ia akan mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatannya sendiri, berupaya mencari umpan-balik tentang apa yang sudah dilakukannya, memilih resiko yang menantang tetapi masih realistik dan berupaya untuk melakukan sesuatu dengan cara-cara yang kreatif.

 Mengingat bahwa motivasi berprestasi ini dapat ditingkatkan, maka harapnnya baik dari sisi fasilitator maupun diri sendiri, adalah agar menyediakan lapangan yang luas bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan kaum Muda khususnya untuk menantang mereka memiliki prestasi-prestasi yang baik di berbagai bidang, salah satunya dengan mengadakan kompetisi-kompetisi secara sehat. Kompetisi yang sehat tersebut bertujuan meningkatkan rasa persaingan yang sehat dan memicu munculnya motivasi untuk berprestasi pada berbagai bidang. Dengan peningkatan need of achievement, diharapkan mampu membawa masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal baru sehingga menganggap hal baru tersebut sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi, bukan sebagai ancaman yang harus dihindari.

Akhirnya, semua yang anda baca di atas tidak akan berarti apa-apa jika anda hanya berdiam diri. Selamanya anda akan berada pada sisi ketakutan anda tentang "akan jadi apa saya kelak" jika anda tidak mengusahakan sesuatu dari sekarang. Anda mungkin paham konsep tentang motivasi berprestasi yang telah kita bahas, namun apakah anda mampu menantang diri anda untuk berprestasi? Menantang diri anda belajar sesuatu hal baru? Memaksa diri anda menghasilkan suatu karya? Jika kita tidak bisa menerapkan apa yang kita pahami (pemahaman tentang motivasi berprestasi), mungkin itulah yang disebut sebagai "teori tidak seajalan dengan praktik".

Dafar Pustaka

  • Sarwono, S. (2015). Diperlukan revolusi mental dalam pembangunan karakter bangsa Indonesia. Himpsi; revolusi mental: Makna dan Realisasi. Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga. Surabaya.
  • Sumitra, N. (2015). Revolusi mental dalam pembangunan karakter bangsa Indonesia: suatu tinjauan psikologi. Himpsi; revolusi mental: Makna dan Realisasi. Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga. Surabaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun