Kekayaan alam Indonesia sudah tidak perlu lagi kita perdebatkan, tapi "kemiskinan" dalam karakter asli orang Indonesia (pribumi) tidak boleh kita biarkan terkikis. Mengapa? Lalu dari mana asal usul hilangnya karakter bangsa yang rukun, santun, berbudi perkerti, ramah dan bertanggung jawab ini? Globalisasi menjadi salah satu kambing hitam yang sering dijadikan alternatif penyebab hilangnya karakter bangsa Indonesia.
Sumitra (2015) mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan kebangsaan yang dapat divisualisasikan dalam tiga lapisan atau tingkatan. Pertama, pada lapisan terdalam atau pada level individu dan keluarga. Pada level ini telah terjadi perubahan sosial yang sangat berbeda dari generasi baby boomers yang lahir sebelum tahun 1960-an. Telah terlihat adanya perubahan perilaku kolektif kalangan remaja di era ini, generasi remaja hari ini merupakan generasi dengan IT Minded yang hidup di lingkungan masyarakat yang memiliki kesadaran hukum dan sosial masyarakat yang tinggi, dengan dukungan perlengkapan dan teknologi modern yang canggih.Â
Generasi ini memiliki ciri khas yang unik seperti cenderung melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan (multitasking), lebih menyukai hal-hal yang bernuansa multimedia, lebih menyukai interaksi di dunia maya, sangat berbakat dalam belajar menyukai kegiatan yang menyenangkan, namun mudah frustasi dalam melakukan kegiatan yang sesungguhnya menuntut kreatifitas kecil, bertindak kurang disiplin, serta memiliki pola hidup dan pola pikir lebih menyukai sesuatu yang instant (Sudrajat, 2012 dalam Sumitra, 2015).
Tantangan kedua terletak pada level tengah atau level institusional dan nasional, yaitu terjadinya penetrasi budaya asing tanpa adanya filter yang memadai. Seperti yang kita lihat bahwa seluruh lapisan masyarakat hari ini dapat mengakses informasi global dengan sangat mudah. Berbagai macam informasi dari belahan dunia dapat kita akses melalui telepon genggam atau telepon pintar. Mari kita renungkan beberapa pertanyaan ini. Sejak tahun berapa remaja Indonesia mengagung-agungkan oppa-oppa dan unni-unni dari Korea Selatan? Apakah remaja hari ini lebih menyukai tarian khas daerah dengan berbagai macam unsur etnik yang melekat atukah lebih menyukai dugem di club-club malam? Bangsa Indonesia hanya butuh waktu sebentar untuk menerima budaya asing masuk namun harus menunggu sampai budaya tersebut diklaim orang asing baru merasa mencintai budayanya sendiri.
Tantangan ketiga terletak pada level internasional atau global, tantangan sekaligus ancaman terbesarnya dan merupakan sumber dari kedua tantangan sebelumnya, adalah terjadinya globalisasi. Â Proses globalisasi ini memiliki beberapa implikasi antara lain: 1) terbukanya berbagai kesempatan untuk mewujudkan kegiatan serta interaksi secara global, baik dalam bidang ekonomi dan perdagangan, industri, usaha dan jasa maupun pendidikan; 2) tumbuhnya bentuk-bentuk kerja sama di antara bangsa-banga, baik secara global ataupun regional, dengan melibatkan seluruh wilayah negara atau sebagian daripadanya baik dalam bidang ekonomi maupun bidang politik dan sosial budaya; 3) terjadinya strukturisasi yang mencakup wilayah dan kawasan dunia sebagai satu keseluruhan global baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya; 4) diadopsinya nilai-nilai global yang universal.
Tantangan-tantangan tersebut  sudah berada di depan mata kita, tidak bisa lagi kita menghindarinya atau malah menutup mata. Sebagai bangsa yang masih berjuang untuk bangkit, kita sudah harus mempersiapkan diri menghadapi dunia yang sudah semakin tanpa sekat ini (kondisi dunia yang sangat ekstreem). Bisa jadi suatu saat nanti Indonesia hanya menjadi desa yang kecil dari Negara yang disebut World.
Mari Berperan Berorientasikan Keilmuan Psikologi
Kalau kita berpendapat bahwa kita dapat melakukan suatu perubahan besar hanya dalam beberapa hari, maka kita masih terlalu naif. Â Sudah banyak sekali peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah guna memperbaiki perilaku buruk bangsa Indonesia. Sudah banyak dan sering disosialiasikan untuk membuang sampah pada tempatnya, tidak parkir motor sembarangan, dan tidak merokok di ruang terbuka. Apakah kebijakan-kebijakan tersebut sudah menuai hasil yang baik hari ini? Bahkan, apakah kebijakan tersebut dievaluasi atau dibiarkan mati?
Terlepas dari apakah kebijakan yang diusung oleh pemerintah sudah berhasil ataupun tidak, masing-masing dari kita haruslah mengevaluasi diri kita terlebih dahulu dan menanyakan pada diri kita sendiri apakah diri kita sudah siap berubah? Apakah kita akan mampu bertahan dan mampu menyesuaikan diri dengan tantangan yang sudah berada di depan mata kita? Untuk mampu menyesuaikan diri menghadapi perubahan di era informasi yang serba cepat dan tanpa batas ini, ada baiknya kita mempersiapkan diri kita sendiri dahulu menghadapi perubahan daripada menuntut perubahan yang mungkin belum tentu kita siap menerimanya.Â
Kenapa kita harus siap menghadapi perubahan? Ini sebenarnya pertanyaan mendasar yang mengharuskan kita kembali pada konsep dasar evolusi. Alih-alih anda setuju atau tidak pada konsep evolusi atau bahkan anda memandang teori evolusi sebagai sebuah teori yang sesat, ada suatu pointyang tidak dapat dipungkiri yaitu konsep survival of the fittest.
Singkatnya, jika kita siap menghadapi perubahan (perubahan dalam bentuk apapun; menyesuaikan diri menghadapi climate change, persasingan yang semakin ketat, populasi yang semakin meningkat) akibatnya kita dapat survive.Namun, jika kita tidak siap menghadapi perubahan dan tidak dapat menyesuaikan diri, maka kita sendiri yang akan terkena masalah. Bukankan keilmuan psikologi juga berkata demikian? (pelajari lebih lanjut tentang stress dan gangguan penyesuaian diri)