Mohon tunggu...
Melysa Noviana
Melysa Noviana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/Mahasiswa

Suka baca

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resensi Buku "Rentang Kisah" Karya Gita Savitri Devi

15 Februari 2020   17:48 Diperbarui: 9 April 2021   19:53 6120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah Perjuangan di Negeri Panzer

  • Judul: Rentang Kisah
    Penulis: Gita Savitri Devi
    Editor: Ry Azzura
    Penerbit: Gagas Meddia
    Kota Terbit: Jakarta Selatan
    Tahun Terbit: 2017
    Cetakan ke: 4
    Jumlah Halaman: viii + 208 halaman
    ISBN : 978-979-780-903-4

Gita Savitri Devi adalah seorang lulusan Kimia Murni di Freie Universitat Berlin. Pada 2010 Gita pindah ke Jerman untuk menempuh pendidikan S1. Selain menghabiskan waktunya di laboratorium saat masih kuliah, Gita juga menulis blog dan membuat video blog (vlog) yang diunggah ke Youtube. Buku Rentang Kisah adalah buku pertamanya, buku ini menceritakan perjalanan hidupnya dari mulai SMA hingga berbagai pelajaran berharga di kehidupan Gita baik di Jakarta maupun di Jerman.

Kisahnya berawal dari ketidakharmonisan hubungan Gita dengan ibunya. Semua perintah dari ibunya harus selalu dituruti. Jika tidak, ibunya bisa marah. Kemarahan itu yang membuat Gita takut sekaligus membenci ibunya. Sampai-sampai saat sakit, dia tidak berani memberitahu ibunya.

Tetapi, setelah lama menderita sakit dia memutuskan untuk memberitahu ibunya. Dia tetap terus berusaha untuk tidak menyerah dengan keadaan (halaman 12). Namun, setelah sembuh dari sakitnya dia sadar bahwa penyebab hubungan ketidakharmonisan adalah dia menganggap ibunya sebagai musuh bukan orang tua (halaman 16). Dia menyadari bahwa seluruh waktu, energi, dan pikiran ibunya diberikan hanya untuknya dan adiknya (halaman 18).

Kemudian diceritakan dalam buku ini saat Gita SMA. Dia belum memikirkan mau kuliah apa dan dimana. Dia merasa bingung dalam memilih jurusan karena dia bukan tipe orang yang rajin belajar. Bahkan, dia merasa bahwa dirinya tidak tahu bagaimana cara belajar yang baik dan benar.

Pada tahun terakhir dia bertekad untuk punya tujuan dan cita-cita. Kemudian dia mulai memikirkan passion-nya dan mencari tahu bakatnya. Setelah itu, Gita memutuskan untuk mengambil jurusan desain grafis di ITB karena hobinya menggambar. Dia berusaha belajar dengan giat soal - soal latihan masuk perguruan tinggi. Atas hasil usahanya itu, dia berhasil mendapatkan kampus impiannya.

Suatu hari ibu Gita justru menawarkan kuliah di Jerman. Ini merupakan pilihan yang sulit baginya. Antara ITB sudah di depan mata dan dia juga tertarik kuliah di Jerman. Dia merasa bahwa pencapaiannya tidak terlalu dihargai. Sebenarnya dia yakin dengan pilihannya sendiri dan tidak terlalu mendengarkan pilihan ibunya. "Namun, aku juga percaya kalau ridho Allah adalah ridho orangtua. Bagaimana jalan menuju masa depanku mau lancar, kalau orang tua nggak mengizinkan."

Pada akhirnya, ia memilih untuk kuliah di Jerman dan tidak mengambil kesempatan kuliah di ITB karena mengingat ayah dan ibunnya pernah tinggal di Jerman. Walaupun sudah memantapkan pilihan di Jerman, nasib berkata lain. Ibunya mendapat informasi bahwa persyaratan mahasiswa minimal berusia 18 tahun. Saat itu usianya baru 17 tahun. Sebenarnya Jerman bisa menerima mahasiswa yang usianya dibawah 18 tahun dengan melampirkan surat izin dan tanda tangan dari orang tua agar bisa mengurus segala birokrasi di Jerman.

Mendengar hal itu dia langsung patah semangat dan kecewa. Kemudian ia sadar bahwa rasa kecewa dan marah itu tidak ada gunanya. "Untuk kali pertama aku belajar caranya ikhlas dan berprasangka baik atas jalan yang Allah kasih. Mungkin ini cara Dia untuk mendewasakan aku."

Setelah lama menunggu satu tahun Gita berangkat ke Jerman. Calon mahasiswa di Jerman harus menempuh Studienkolleg sebagai syarat menempuh perkuliahan yang sebenarnya, beserta tes tertulisnya selama dua semester. Materi pelajaran di Studienkolleg antara lain pelajaran SMA. Bedanya, jika di Jerman dituntut untuk tahu bagaiman rumus bisa tercipta.

"Ternyata prinsip orang Jerman agak berbeda dengan orang Indonesia; kalau 5 rumus bisa diturunkan dari satu persamaan, kenapa harus dihafal semua."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun