Mohon tunggu...
Mely Sagita
Mely Sagita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tugas Sosiologi Hukum

24 September 2024   08:32 Diperbarui: 24 September 2024   08:32 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Analisis Positivisme:

Dalam filsafat hukum positivisme, hukum dianggap sebagai seperangkat aturan yang dibuat dan ditegakkan oleh otoritas yang berwenang, tanpa mempertimbangkan aspek moralitas atau niat individu. Dalam konteks kasus Sambo, hakim berpedoman pada aturan tertulis dalam KUHP, khususnya Pasal 340, yang menyatakan bahwa pembunuhan berencana harus dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk hukuman mati.

Dalam pandangan positivisme, apakah Sambo memiliki motivasi pribadi atau alasan moral untuk tindakannya tidak menjadi faktor yang dipertimbangkan. Yang penting adalah bahwa tindakannya memenuhi unsur-unsur pembunuhan berencana yang telah diatur secara objektif oleh undang-undang. Hakim hanya berfungsi untuk menerapkan hukum yang tertulis, tidak terpengaruh oleh faktor sosial, moral, atau emosi masyarakat. Dengan demikian, hukuman mati terhadap Sambo adalah hasil dari penerapan ketat hukum positif, di mana pengadilan hanya menerapkan aturan hukum yang berlaku.

2. Mazhab Hukum Positivisme

Mazhab hukum positivisme adalah aliran yang memandang bahwa hukum merupakan produk otoritas yang berwenang dan harus dipisahkan dari moralitas atau etika. Beberapa karakteristik utama dari mazhab ini antara lain:

  • Hukum sebagai aturan yang tertulis: Hukum adalah kumpulan aturan yang jelas dan ditetapkan oleh lembaga yang sah, seperti negara.
  • Pemisahan hukum dan moral: Hukum tidak perlu didasarkan pada keadilan atau nilai-nilai moral. Hukum berlaku karena diundangkan oleh otoritas, bukan karena isinya dianggap adil atau benar secara moral.
  • Kepastian hukum: Hukum yang tertulis harus diterapkan secara objektif, tanpa mempertimbangkan niat, tujuan, atau konsekuensi moral tindakan seseorang.

Tokoh utama dari mazhab ini adalah John Austin yang menekankan bahwa hukum adalah "perintah dari penguasa" yang harus diikuti oleh masyarakat, dan Hans Kelsen, dengan Teori Hukum Murni-nya, yang menganggap hukum harus terpisah dari semua aspek sosial, moral, dan politik.

3. Argumen tentang Mazhab Hukum Positivisme dalam Hukum Indonesia

Argumen Pro: Mazhab positivisme memiliki relevansi kuat dalam sistem hukum Indonesia karena negara ini menganut sistem civil law, di mana hukum tertulis dan undang-undang merupakan sumber hukum utama. Sistem hukum Indonesia menekankan pada aturan yang diundangkan secara resmi oleh lembaga legislatif atau eksekutif, sehingga memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Hakim di Indonesia sering kali memutuskan perkara dengan berpatokan pada undang-undang yang tertulis, sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip positivisme hukum.

Contoh: Dalam kasus tindak pidana korupsi, hakim berpegang teguh pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanpa mempertimbangkan niat atau keadaan moral pelaku. Penerapan hukum tersebut memberikan kejelasan dalam menghukum pelaku yang melanggar hukum positif yang sudah diundangkan.

Argumen Kontra: Namun, positivisme hukum sering kali dikritik karena dapat mengabaikan keadilan substantif. Dalam beberapa kasus, penerapan hukum positif secara kaku bisa menghasilkan ketidakadilan karena tidak mempertimbangkan situasi dan nilai-nilai moral atau adat yang berlaku di masyarakat. Di Indonesia, banyak aturan hukum yang kadang tidak sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai lokal atau keadilan substantif, sehingga muncul ketegangan antara penerapan hukum tertulis dengan rasa keadilan di masyarakat.

Contoh: Dalam kasus hukum adat atau hukum syariah, penerapan undang-undang yang murni berpedoman pada hukum positif bisa bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dipegang oleh masyarakat. Hukum positif bisa dianggap terlalu kaku dan tidak mencerminkan keadilan moral yang diharapkan oleh masyarakat adat atau komunitas keagamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun