Mohon tunggu...
Melyin Bendara
Melyin Bendara Mohon Tunggu... -

Mencoba ngobrol dengan saudara sekalian melalui tulisan. Salam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Transisi Kita dari Era Partai ke Era Tokoh?

18 Februari 2016   06:16 Diperbarui: 18 Februari 2016   07:04 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga poin bersanding dengan fenomena yang mirip dengan kemunculan Jokowi, munculnya beberapa nama yang tiba-tiba harum secara personal di khalayak yang lebih luas. Sebut  saja beberapa nama seperti Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, atau Ahok. Sosok-sosok pemimpin yang tiba-tiba dibicarakan bak selebritis di pentas politik. Tokoh-tokoh ini bisa dikatakan juga bukan tokoh-tokoh yang kuat dalam sebuah partai.

Persoalan yang terjadi kemudian adalah--meski tokoh-tokoh tersebut kemudian dicintai banyak orang atau pemilih--ketika mereka berada pada sistem kekuasaan yang lebih tinggi bukan tidak mungkin kendala-kendala terkait hubungannya dengan partai mengganggu rencana kerja pemerintahan. Ataupun seandainya tokoh-tokoh tersebut memiliki cita-cita yang mulia untuk perubahan, apakah mereka nantinya sanggup menghadapi tekanan-tekanan yang bersifat politis?

Salah satu yang bisa kita jadikan contoh adalah nada-nada sumbang yang timbul dari kerja pemerintah terpilih 2014-2019. Sudah mulai muncul ke permukaan pihak-pihak yang memperlihatkan kekecewaan dan merasa harapannya atas pemerintahan yang dipilih ternyata tidak memuaskan. Bahkan tidak jarang ditemukan malahan pendukung Jokowi pada pilpres lalu menyatakan ketidaksukaannya pada kerja pemerintah. Pada tahap ini kita seharusnya mulai sama-sama berpikir kesalahan terjadi di bagian yang mana?

Lalu muncul pula isu ketidak-harmonisan presiden dengan partai yang mengusungnya. Di beberapa kesempatan Jokowi juga dinilai tidak memenuhi janji-janji kampanye. Selain itu ada indikasi tekanan dari parlemen yang memperlihatkan sinyal kepentingan politis. Serta beberapa isu lain yang memperlihatkan bahwa presiden saat ini memiliki semacam kondisi yang bisa saja ditekan oleh kepentingan lain yang cukup kuat di luar kendalinya.

Hal ini sangat berbeda ketika kita melihat pemerintahan SBY (sekedar contoh mutakhir). SBY sebagai orang paling kuat di sebuah partai besar pemenang pemilu dapat dengan sangat leluasa menentukan arah kebijakan sekaligus memiliki daya kontrol politik yang begitu besar. Di parlemen beliau memiliki banyak anggota partai yang siap menyokong langkah pemerintah. Instruksi dan arahan-arahannya memiliki gelegar. Beliau berperan sebagai pemerintah yang sekaligus memiliki daya gempur politik sebagai puncak pengendali.

Jika hal-hal pada poin-poin di atas dapat diverifikasi, tentu kita mesti bertanya apakah kepopuleran cukup mumpuni untuk menghasilkan solusi-solusi kemasyarakatan setelah meraih kursi kemenangan? Untuk merebut hati pemilih mungkin bisa, tapi bertahan pada kancah perpolitikan yang lebih keras dan tebal muka apakah kepopuleran itu cukup?

Memang bisa dimaklumi ketika rakyat mulai meragukan kinerja partai tentu disebabkan karena sangat banyaknya figur partai yang terlibat masalah—terutama korupsi—lalu terjadi alih kepercayaan kepada sosok-sosok yang lebih merepresentasikan cita-cita mereka. Sosok-sosok yang dirasa lebih luhur menjadi figur-figur pemimpin populer, dan fenomena ini ditandai dengan kemunculan Jokowi dari Solo.

Melihat hal ini partai tentu tidak tinggal diam, figur-figur populer tersebut tentu bisa dijadikan bagian dari upaya menaikkan kepopuleran partai di tengah krisis kepercayaan ini. Partai kemudian dipilih bukan sekedar karena perjuangannya, namun dibarengi dengan adanya figur-figur yang bisa berlaku layaknya mesin popularitas. Jika kasus-kasus korupsi dan berbagai masalah lainnya tetap semarak di dalam sebuah partai politik, apakah kita cukup menumpukan harapan pada satu orang yang kita bicarakan bak selebritis tersebut?

Salah satu hal yang bisa ditangkap adalah, jika memang ada tokoh yang betul-betul punya kharisma atau pesona yang kemudian bisa meresap massa, bukan tidak mungkin suatu saat akan semakin besar peluang datangnya seorang calon pemimpin yang independen, punya kekuatan meski tanpa partai.

Entah fenomena ini akan berkembang seperti apa nantinya, kita simak bersama, lalu kita bicarakan lagi, jika tak ada hal lain yang bisa kita lakukan.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun