Mohon tunggu...
Melyin Bendara
Melyin Bendara Mohon Tunggu... -

Mencoba ngobrol dengan saudara sekalian melalui tulisan. Salam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Transisi Kita dari Era Partai ke Era Tokoh?

18 Februari 2016   06:16 Diperbarui: 18 Februari 2016   07:04 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Sebelumnya, saya ingin memberitahu saudara bahwa saya sangat menghormati presiden kita bapak Jokowi. Walau bagaimanapun, beliau masih presiden kita. Jika terdapat ilustrasi atau deskripsi yang tidak saudara sukai, mohon maaf, hal tersebut tidak ada pretensi untuk merendahkan, sama sekali tidak. Saya hanya coba memberikan pandangan apa adanya. Jika setelah membaca tulisan ini ada hal yang menyinggung fanatisme-buta saudara terhadap suatu hal, mohon maaf, itu tidak disengaja. Terimakasih.)

Pilpres 2014 bagi saya adalah pemilu paling fenomenal yang pernah terjadi di Indonesia. Pada pemilu tersebut kita bisa melihat bagaimana rakyat ternyata memilih seorang presiden yang sangat jauh dari gambaran selama ini tentang sosok pejabat, apalagi kemudian menjadi pemimpin nomor satu bangsa ini.

Sosok kurus, berwajah melankolis (baca: murung), dandanan murah (walau orangnya kaya), terlihat tidak fit, dan masih banyak lagi, bisa menarik simpati masyarakat lebih baik daripada seorang yang tegap penuh wibawa dengan tatapan mata berkarakter. Jika seandainya tim Jokowi tidak sigap mempromosikannya seperti selama ini dan pemilih hanya tau Jokowi dari gambar, saya yakin 100%, orang-orang pasti lebih milih Prabowo.

Tapi yang paling menarik, ternyata gambaran visual dan ciri fisik Pak Jokowi ini malah menggambarkan sosok sederhana yang terkesan tidak mencari kemewahan sebagai pemimpin, melainkan menjadi ciri sosok yang tak segan-segan bekerja bersama rakyat. Lebih merakyat, menyerupai rakyat. Kemudian ia jadi populer.

Tapi sudahlah, itu hanya sedikit gambaran. Yang ingin saya sampaikan adalah selain gambaran Jokowi di atas, ada beberapa hal-hal yang cukup berbeda dari pemilu 2014 yang memberikan sinyal bahwa akan ada perkembangan fenomena dari rekonstruksi gaya perpolitikan negeri ini.

Pertama, untuk pertamakalinya pasca-reformasi pemilihan presiden betul-betul membelah massa menjadi 2 bagian. Pilihan yang sedikit menimbulkan fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu tokoh yang diidolakan. Jika tidak sepaham, orang akan lebih gampang mengenali siapa yang pantas dijadikan musuh. Hal ini berbeda dengan pemilu-pemilu pasca-reformasi sebelumnya. Pasca-reformasi masyarakat Indonesia dikejutkan sekaligus dimanjakan dengan begitu banyak pilihan.

Pilpres 2014 yang hanya menyediakan 2 pasangan calon, yang tentu saja membuat masyarakat menjadi hitam-putih. Kalau seseorang memilih 1 pasangan, maka seperti ada tanda tersirat bahwa secara politis ia telah memiliki lawan yang sering disebut “kubu sebelah”. Tidak jarang di masyarakat terdengar orang dalam satu keluarga, misalnya paman dengan ponakan, bertengkar hanya karena selera pemilihannya berbeda. Apalagi di tengah masyarakat, di warung orang bisa saja bertengkar gara-gara ada yang tiba-tiba berkomentar jelek tentang salah satu calon, serta-merta si pengomentar dianggap simpatisan kubu lawan. Pada titik ini, tensi fanatisme politik tiba-tiba meningkat.

Kedua, munculnya figur pemimpin yang bukan orang kuat partai. Pertanyaan yang muncul pada tahap ini adalah, apakah presiden Jokowi dipilih karena beliau diusung PDI-P? Atau Presiden Jokowi dipilih karena ia adalah Jokowi? Atau PDI-P menang pemilu partai karena mereka memiliki Jokowi? Jika dilihat dari pemilu sebelumnya ada peningkatan suara PDI-P sekitar 64% pada pemilu 2014. Kalau saya pribadi berasumsi keberhasilan PDI-P di pemilu 2014 karena ada andil yang besar setelah mereka memunculkan nama Jokowi ke permukaan. Lambat-lambat, simpati yang dihisap Jokowi dari masyarakat merembes ke PDI-P sehingga popularitas partai ini juga ikut terdongkrak.

Hal ini berbanding terbalik dengan Demokrat sebagai kampiun pada pemilu sebelumnya. Setelah 2 periode memimpin Indonesia, bisa dikatakan figur citra SBY sebagai orang kuat Demokrat segera melindap setelah adanya sosok idola baru di tengah masyarakat. Demokrat bisa jadi dinilai tidak lagi dapat menjadi solusi karena ketidak-puasan dari 2 periode jabatan yang  diemban figurnya, ditambah tidak adanya tokoh yang bisa diproyeksikan untuk maju memimpin lagi.

Ketiga, model kampanye digital menampakkan hasil yang sangat signifikan. Bukan berarti kampanye digital adalah hal yang baru di Indonesia, tetapi model kampanye ini memperlihatkan bagaimana lalu-lintas penyebaran informasi secara viral betul-betul berdampak. Hal ini juga berlaku untuk kampanye hitam yang pada masa pilpres banyak terjadi. Ketika satu tokoh dikaitkan dengan sebuah isu miring, orang dengan gampang berprasangka kubu mana pelakunya.

Ada banyak isu yang dihembuskan kemudian merambat ke mana-mana. Salah satu yang terdampak oleh pola ini adalah bagian masyarakat yang memiliki keterbatasan akses pada internet. Untuk kelompok yang memiliki kemudahan akses, ketika mebaca atau melihat sebuah isu miring berkembang di internet, mereka sekaligus juga dapat menetralisir dirinya sendiri dengan mencari informasi tandingan. Sedangkan kelompok dengan akses terbatas, ketika dihembuskan ke telinganya sebuah isu, kemungkinan besar akan terpengaruh tanpa sempat mencari kebenaran informasi.

Ketiga poin bersanding dengan fenomena yang mirip dengan kemunculan Jokowi, munculnya beberapa nama yang tiba-tiba harum secara personal di khalayak yang lebih luas. Sebut  saja beberapa nama seperti Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, atau Ahok. Sosok-sosok pemimpin yang tiba-tiba dibicarakan bak selebritis di pentas politik. Tokoh-tokoh ini bisa dikatakan juga bukan tokoh-tokoh yang kuat dalam sebuah partai.

Persoalan yang terjadi kemudian adalah--meski tokoh-tokoh tersebut kemudian dicintai banyak orang atau pemilih--ketika mereka berada pada sistem kekuasaan yang lebih tinggi bukan tidak mungkin kendala-kendala terkait hubungannya dengan partai mengganggu rencana kerja pemerintahan. Ataupun seandainya tokoh-tokoh tersebut memiliki cita-cita yang mulia untuk perubahan, apakah mereka nantinya sanggup menghadapi tekanan-tekanan yang bersifat politis?

Salah satu yang bisa kita jadikan contoh adalah nada-nada sumbang yang timbul dari kerja pemerintah terpilih 2014-2019. Sudah mulai muncul ke permukaan pihak-pihak yang memperlihatkan kekecewaan dan merasa harapannya atas pemerintahan yang dipilih ternyata tidak memuaskan. Bahkan tidak jarang ditemukan malahan pendukung Jokowi pada pilpres lalu menyatakan ketidaksukaannya pada kerja pemerintah. Pada tahap ini kita seharusnya mulai sama-sama berpikir kesalahan terjadi di bagian yang mana?

Lalu muncul pula isu ketidak-harmonisan presiden dengan partai yang mengusungnya. Di beberapa kesempatan Jokowi juga dinilai tidak memenuhi janji-janji kampanye. Selain itu ada indikasi tekanan dari parlemen yang memperlihatkan sinyal kepentingan politis. Serta beberapa isu lain yang memperlihatkan bahwa presiden saat ini memiliki semacam kondisi yang bisa saja ditekan oleh kepentingan lain yang cukup kuat di luar kendalinya.

Hal ini sangat berbeda ketika kita melihat pemerintahan SBY (sekedar contoh mutakhir). SBY sebagai orang paling kuat di sebuah partai besar pemenang pemilu dapat dengan sangat leluasa menentukan arah kebijakan sekaligus memiliki daya kontrol politik yang begitu besar. Di parlemen beliau memiliki banyak anggota partai yang siap menyokong langkah pemerintah. Instruksi dan arahan-arahannya memiliki gelegar. Beliau berperan sebagai pemerintah yang sekaligus memiliki daya gempur politik sebagai puncak pengendali.

Jika hal-hal pada poin-poin di atas dapat diverifikasi, tentu kita mesti bertanya apakah kepopuleran cukup mumpuni untuk menghasilkan solusi-solusi kemasyarakatan setelah meraih kursi kemenangan? Untuk merebut hati pemilih mungkin bisa, tapi bertahan pada kancah perpolitikan yang lebih keras dan tebal muka apakah kepopuleran itu cukup?

Memang bisa dimaklumi ketika rakyat mulai meragukan kinerja partai tentu disebabkan karena sangat banyaknya figur partai yang terlibat masalah—terutama korupsi—lalu terjadi alih kepercayaan kepada sosok-sosok yang lebih merepresentasikan cita-cita mereka. Sosok-sosok yang dirasa lebih luhur menjadi figur-figur pemimpin populer, dan fenomena ini ditandai dengan kemunculan Jokowi dari Solo.

Melihat hal ini partai tentu tidak tinggal diam, figur-figur populer tersebut tentu bisa dijadikan bagian dari upaya menaikkan kepopuleran partai di tengah krisis kepercayaan ini. Partai kemudian dipilih bukan sekedar karena perjuangannya, namun dibarengi dengan adanya figur-figur yang bisa berlaku layaknya mesin popularitas. Jika kasus-kasus korupsi dan berbagai masalah lainnya tetap semarak di dalam sebuah partai politik, apakah kita cukup menumpukan harapan pada satu orang yang kita bicarakan bak selebritis tersebut?

Salah satu hal yang bisa ditangkap adalah, jika memang ada tokoh yang betul-betul punya kharisma atau pesona yang kemudian bisa meresap massa, bukan tidak mungkin suatu saat akan semakin besar peluang datangnya seorang calon pemimpin yang independen, punya kekuatan meski tanpa partai.

Entah fenomena ini akan berkembang seperti apa nantinya, kita simak bersama, lalu kita bicarakan lagi, jika tak ada hal lain yang bisa kita lakukan.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun