Gambar di atas menunjukkan salah satu contoh serangan siber, yaitu peretasan papan iklan elektronik di berbagai negara, termasuk di Spanyol, yang digunakan untuk menampilkan pesan pro-Palestina. Peretasan ini menggambarkan bagaimana dimensi digital kini menjadi sarana baru untuk menyebarkan pengaruh dan propaganda, sekaligus menunjukkan peran kelompok peretas dalam konflik internasional.
Konflik antara Israel dan Hamas pada 7 Oktober 2023 telah menghadirkan dinamika baru dengan adanya serangan di ranah digital. Konflik ini memperluas ruang lingkup peperangan dari medan fisik ke dunia maya. Serangan mematikan yang dilancarkan Hamas pada hari itu diyakini telah dipersiapkan dengan dukungan operasi siber yang ekstensif, yang menunjukkan betapa pentingnya aspek digital dalam perencanaan taktik modern.
Melalui unit peretasnya, yang dikenal sebagai Gaza Cybergang, Hamas telah melakukan spionase terhadap instalasi militer Israel. Upaya pengumpulan informasi sensitif ini memberikan intelijen penting. Intelijen tersebut berperan langsung dalam efektivitas serangan fisik.
Menggunakan teknik siber canggih seperti phishing dan penyusupan digital, kelompok tersebut berhasil meretas sistem milik Israel untuk memperoleh data strategis terkait penempatan dan kelemahan target-target militer. Informasi ini terbukti instrumental dalam melancarkan serangan. Hal ini mengindikasikan peningkatan keterkaitan antara operasi siber dan operasi lapangan dalam konflik modern.
Saat serangan 7 Oktober berlangsung, kelompok peretas pro-Palestina lainnya, AnonGhost, meluncurkan aplikasi seluler yang memiliki nama serupa dengan aplikasi peringatan yang sudah dikenal oleh warga Israel. Dalam konteks peperangan psikologis, aplikasi palsu ini menyebarkan peringatan yang menyatakan adanya ancaman dari Hamas. Peringatan tersebut bahkan mencakup informasi palsu seperti ancaman serangan nuklir.
Di balik layar, aplikasi tersebut tidak hanya menyebarkan informasi menyesatkan yang memicu kepanikan, tetapi juga mengumpulkan data pengguna yang meliputi kontak, pesan teks, hingga log panggilan. Kehadiran aplikasi ini menimbulkan ketakutan, meningkatkan rasa ketidakamanan, dan menyebarkan kebingungan di kalangan warga sipil Israel. Akibatnya, warga sipil Israel mengalami dampak psikologis yang berat akibat peringatan-peringatan palsu ini.
Penipuan semacam ini memperlihatkan taktik siber baru yang tidak hanya menyerang fisik, tetapi juga berusaha mengacaukan mental dan moral pihak lawan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Perang siber yang dilancarkan oleh Hamas dan sekutu-sekutunya ini tidak hanya menyasar kekuatan militer Israel. Serangan tersebut juga menargetkan infrastruktur kritis yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari warga sipil.
Serangan  Distributed Denial of Service (DDoS) dan serangan malware diarahkan kepada situs-situs media, bank, dan lembaga pemerintah Israel. Serangan ini menyebabkan gangguan operasional yang luas dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap layanan digital. Selain itu, serangan tersebut bahkan menghambat akses ke informasi yang akurat.
Upaya mempengaruhi opini publik Israel, Hamas dan kelompoknya mengadakan kampanye propaganda yang luas melalui media digital. Kelompok ini berhasil meretas papan digital di tempat-tempat umum dan menyebarkan pesan pro-Palestina. Mereka juga mempublikasikan berita palsu yang bertujuan menanamkan keraguan dan ketidakpercayaan di antara warga Israel.
Tindakan ini menunjukkan bahwa dimensi siber tidak hanya digunakan untuk pengumpulan intelijen atau sabotase, tetapi juga sebagai alat untuk membentuk opini publik dan mengatur narasi. Di sisi lain, Israel, yang dikenal memiliki kapabilitas siber global, menghadapi tantangan besar. Tantangan tersebut terkait dengan upaya menangani serangan siber dari Hamas.