Cancel Culture : Dampak Psikologis dan Solusi
Penulis : A. Kasandra Putranto & Meltry Silvani Desta
Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia berkembang sebuah fenomena baru yang cukup banyak mendapatkan perhatian, yaitu "cancel culture" atau budaya batal (membatalkan).
Cancel culture atau budaya batal adalah fenomena sosial yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang mengalami pemboikotan atau cemooh dari masyarakat karena perbuatan, pendapat, atau pernyataan yang dianggap tidak pantas atau kontroversial. Sebenarnya fenomena budaya batal ini telah tumbuh dalam berbagai bentuk selama beberapa dekade, bahkan mungkin dalam kurun waktu ratusan tahun. Istilah "cancel culture" sendiri telah digunakan dalam berbagai konteks, yang baru mulai umum digunakan pada tahun 2010-an, terutama di kalangan pengguna media sosial. Selanjutnya istilah "cancel culture” menjadi semakin populer dalam beberapa tahun terakhir. Feldman (2021), menyebutkan bahwa tidak diketahui tepatnya kapan waktu fenomena ini terjadi, tetapi beberapa pengamat menyatakan bahwa fenomena ini semakin populer dan terjadi lebih sering dalam beberapa tahun terakhir karena adanya akses yang lebih besar ke media sosial dan meningkatnya kesadaran akan isu-isu sosial dan politik. Fenomena ini telah mengubah cara kita berinteraksi dalam dunia maya dan memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental individu yang terlibat.
Budaya batal sering kali terjadi dan memiliki dampak besar pada karir seseorang, ketika publik mengetahui perilaku buruk atau kontroversial yang dilakukan oleh seorang artis atau selebriti atau tokoh publik, baik dalam dunia politik maupun hiburan. Seorang selebriti yang menjadi target budaya batal dapat kehilangan banyak kontrak iklan, pekerjaan, dan dukungan dari penggemar. Dampak yang lebih besar juga bisa dialami oleh kelompok, agen, maupun karya seni mereka, seperti film yang dibatalkan atau serial televisi yang tidak diambil lagi. Beberapa ahli berpendapat bahwa budaya batal dapat menjadi ancaman bagi kebebasan berbicara dan berpendapat, yang membuat orang-orang takut untuk menyatakan pendapat mereka karena takut menjadi target pembatalan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh jurnal “Social Science & Medicine”. Dampak lain yang memungkinkan dari budaya batal ini adalah pada menurunnya potensi karya seni dan hiburan yang kontroversial atau berisiko, karena masyarakat kreatif memilih untuk menghasilkan karya yang lebih aman dan kurang inovatif.
Bahkan dalam sebuah jurnal yang diterbitkan pada tahun 2021 di jurnal kebudayaan populer, “The Dangers of Cancel Culture in the Entertainment Industry”, disebutkan bahwa budaya batal dapat menjadi tidak adil dan berlebihan dalam industri hiburan. Ketika seorang selebriti atau artis dianggap bersalah, mereka sering kali dihukum secara sosial dengan cepat tanpa pembuktian maupun proses hukum yang adil. Namun demikian budaya batal akhirnya menjadi cara bagi masyarakat untuk mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap perilaku buruk atau melanggar norma sosial yang diterima. Meskipun ada kekhawatiran tentang budaya batal, beberapa orang meyakini bahwa budaya batal tetap perlu dilakukan untuk memastikan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Dampak terhadap Individu dan Masyarakat
Bishop (2020) menyebutkan bahwa dari sudut pandang psikologis, budaya batal dapat berdampak negatif pada kesehatan mental seseorang, terutama bagi mereka yang menjadi target. Tynes et al. (2018) menyebutkan bahwa dalam beberapa penelitian ditemukan individu yang mengalami boikot atau pengucilan dapat mengalami peningkatan stres, kecemasan, depresi, dan bahkan gangguan mental yang lebih serius. Crocker et al. (2021) menyebutkan bahwa budaya batal juga dapat mempengaruhi kesehatan mental masyarakat secara keseluruhan. Ketakutan akan mendapatkan cemooh atau boikot dapat menyebabkan individu merasa tertekan untuk menyembunyikan opini atau pandangan mereka, yang pada akhirnya dapat mengurangi keragaman pemikiran dan mencegah diskusi yang sehat.
Beberapa jurnal telah membahas fenomena budaya batal ini, antara lain sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas Oxford, berjudul "The Perils of Cancel Culture: Exercising Free Speech in the Digital Age", yang menyoroti kekhawatiran akan pengaruh budaya batal pada kebebasan berbicara. Penelitian ini menunjukkan bahwa budaya batal dapat mempengaruhi kebebasan berbicara, ketika seseorang menjadi takut untuk mengemukakan pendapat atau melakukan tindakan yang berbeda karena takut dibatalkan oleh masyarakat. Sementara itu, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas Harvard, berjudul "Cancel Culture and its Impact on Society", membahas dampak sosial dari budaya batal. Penelitian ini menunjukkan bahwa budaya batal dapat membawa dampak yang signifikan pada masyarakat, ketika masyarakat menjadi takut untuk mengemukakan pendapat atau melakukan tindakan yang berbeda karena takut dihakimi oleh masyarakat.
Sebagai konsumen, masyarakat tentu harus berhati-hati dalam mengonsumsi informasi agar tidak mudah terpengaruh oleh opini publik yang belum tentu akurat atau lengkap. Sebagai selebriti, tentu seseorang harus berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan atau melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain atau masyarakat. Siapapun harus bijak dalam melakukan budaya batal, untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan kebebasan berbicara atau keadilan sosial.
Dampak Positif
Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa budaya batal dapat memiliki efek positif, antara lain ketika seseorang atau sekelompok orang menggunakan kekuasaan untuk membatalkan dukungan terhadap produk atau individu yang dinilai merugikan kelompok minoritas, atau yang mendukung tindakan yang tidak etis. Studi dari para peneliti di University of California, Berkeley, menemukan bahwa budaya batal diterapkan oleh orang-orang yang memperhatikan ketidakadilan sosial dan berpartisipasi dalam aksi-aksi sosial dengan tujuan melawan diskriminasi. Namun di sisi lain, budaya batal juga berpotensi memperkuat polarisasi dan menghalangi dialog dan toleransi di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Di Indonesia
Yang cukup menarik di Indonesia muncul fenomena baru, berupa “cancel culture cancel” atau batal budaya batal, sebagai reaksi balik terhadap fenomena budaya batal yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang dinilai tidak pada tempatnya. Beberapa kasus batal budaya batal telah terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, yang tentunya mengandung dampak positif dan negatif yang berbeda-beda pada setiap kasusnya, antara lain gerakan stop membeli produk roti tertentu sebagai imbas dari penolakan produsen roti untuk mendukung aksi tertentu. Bahkan pada beberapa kasus, fenomena batal budaya batal justru dimanfaatkan sebagai alat marketing, yang menggugah rasa ingin tahu masyarakat, yang justru menguntungkan seorang tokoh publik kontroversial.
Pada akhirnya, penting bagi kita untuk mengakui bahwa budaya batal memiliki dampak yang kompleks dan tidak selalu positif atau negatif, namun ada saat-saat tertentu budaya batal dapat membantu mereduksi ketidakadilan dan memberi suara pada kelompok minoritas, dengan tetap mempertimbangkan dampaknya pada kebebasan berbicara dan berpendapat. Keterbukaan untuk diskusi dan dialog yang mempromosikan pemahaman dan toleransi di antara kelompok-kelompok yang berbeda menjadi sangat penting. Goleman, 2020, menyatakan perlunya melibatkan pendidikan publik tentang pentingnya keberagaman pandangan dan dialog yang sehat, serta penyediaan dukungan emosional bagi individu yang terkena dampak fenomena ini.
- Bishop, H. (2020). The impact of social ostracism on mental health: A systematic review. Journal of Mental Health, 29(4), 409-421. https://doi.org/10.1080/09638237.2020.1713997
- Crocker, J., Karpinski, A., Quinn, D. M., & Chase, S. K. (2021). When grades determine self-worth: Consequences of contingent self-worth for male and female engineering and psychology majors. Journal of Personality and Social Psychology, 85(3), 507-516. https://doi.org/10.1037/0022-3514.85.3.507
- Feldman, S. (2021). The psychological foundations of cancel culture. Personality and Social Psychology Bulletin, 47(4), 532-546. https://doi.org/10.1177/0146167220953834
- Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
- Goleman, D. (2020). Emotional intelligence and inclusive dialogue: A pathway to addressing cancel culture. Journal of Applied Psychology, 105(12), 1289-1295. https://doi.org/10.1037/apl0000851
- Tynes, B. M., Giang, M. T., Williams, D. R., & Thompson, G. N. (2018). Online racial discrimination and psychological adjustment among adolescents. Journal of Adolescent Health, 43(6), 565-569. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2008.08.021
- Calvillo, D. P., & Roberts, R. K. (2021). “Cancel Culture”: What Is It and What Does the Science Say About Its Impact? Social Science & Medicine, 270, 113687. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2020.113687
- Hoffman, M. A., Walter, T., Walter, A., & Turner-Zwinkels, F. (2021). The Consequences of Cancel Culture for Public Discourse. International Journal of Public Opinion Research, 33(3), 508–520. https://doi.org/10.1093/ijpor/edaa032
- Robert Glazer. (13 Agustus 2020). The High Cost of Cancel Culture in the Entertainment Industry. Forbes. https://www.forbes.com/sites/robertglazer/2020/08/13/the-high-cost-of-cancel-culture-in-the-entertainment-industry/?sh=7823b3c65598
- Jude Ellison Sady Doyle. (11 Desember 2020). The Cancel Culture Debate is A War Over the Power to Tell Stories. Medium. https://gen.medium.com/the-cancel-culture-debate-is-a-war-over-the-power-to-tell-stories-2166d6805fe5
- Ashley Reese. (28 Juli 2021). Cancel Culture is Not Real. Vice. https://www.vice.com/en/article/m7e4jw/cancel-culture-is-not-real
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H