"Langit biru angin berhembus
Harum semerbak bunga di taman
Andai kau tahu hatiku tandus
Mati tertembak kau tinggalkan"
Seorang gadis rok abu-abu, berpotongan rambut tak bergaya berwarna hitam, berkacamata bulat, dan kulit sawo matang. Membaca dan mempelajari hal-hal yang baru merupakan kegemaran gadis tersebut. Dimana pun ia berada, disana ia menabur canda dan tawa. Gadis ini dijuluki sebagai Sang Krayon karena kehadirannya mewarnai kehidupan-kehidupan disekitarnya.
Setiap pagi sebelum berkokoknya ayam, gadis ini pasti telah bangun dari lelap dan berada di halaman rumahnya, bertengger di tempat tidur jaring yang tergantung di antara dua pohon di halamannya, sambil membaca cerpen.
Pagi berganti siang, biasanya Sang Krayon selalu berada di lapangan dan memandangi seorang lelaki yang sedang bermain bola, ia telah lama menyukainya. Namun, tidak pernah ia memberanikan diri menyampaikan perasaan tersebut. Hanya sekedar pertemanan biasa yang menghubungkan mereka.
Setelah memandangi lelaki tersebut dari kejauhan, gadis ini pun segera pulang karena hari menjelang malam. Begitulah rutinitas akhir pekan Sang Krayon. Tidak pernah ia mengeluh atas hari-harinya. Selalu tampak ceria yang kadang-kadang membuat banyak orang iri atas hidupnya.
Bertahun-tahun ia menjalani kehidupan macam itu dan sampailah pada satu saat dimana gadis ceria ini beranjak menduduki bangku kampus semester pertamanya. Siapa sangka ia akan bertemu dengan lelaki bola itu di kampus yang sama, fakultas yang sama, jurusan yang sama, dan sama pula seksi kelasnya. Hubungan mereka pun menjadi selangkah lebih dekat dibanding sebelumnya. Pertemenan diantara mereka berevolusi menjadi sebuah persahabatan.
Rutinitas kehidupan kampus Sang Krayon berubah tiga ratus enam puluh derajat dibanding kehidupan SMA-nya. Setiap pagi ia tidak lagi bertengger dan membaca buku cerpen di halaman rumahnya, tetapi segera lah ia mempersiapkan diri untuk pergi ke kampus bersama-sama dengan lelaki yang disukainya itu. Delapan puluh persen kehidupan gadis ini dihabiskan di kampus sedangkan sisanya dirumah hanya untuk beristirahat.
Hari demi hari berlalu dengan tidak begitu saja, Sang Krayon menjalani kehidupan cerianya yang lebih ceria dibanding sebelumnya. Ia begitu senang karena setiap harinya ia menghabiskan waktu dengan lelaki bola kesukaannya itu. Kemanapun perginya, mereka selalu bersama-sama layaknya sepasang Galih dan Ratna. Â
Tanpa disadari, perasaan sukanya itu berevolusi menjadi rasa cinta yang mendalam. Sayangnya, Sang Krayon belum berani menyampaikan perasaannya, ia takut tindakannya itu merusak persahabatan mereka.
Rasa takutnya itu berevolusi menjadi anak panah yang siap menembak tuannya. Sang Krayon menjadi mudah cemburu terhadap perempuan-perempuan lain yang mendekati lelaki bola itu. Semakin hari anak panah itu semakin ditarik lebih kuat kebelakang dan siap meluncur.
Sang Krayon tidak ingin merasa semakin tersiksa oleh perasaan yang tidak tersampaikan itu. Ia memberanikan diri dan merencanakan untuk menyampaikan perasaannya.
Anak panah melesat tanpa gagal menembaki tuannya. Siapa sangka Krayon akan patah, patah karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Lelaki bola itu menolak perasaan gadis ceria itu, ia mengakui bahwa ia menyukai gadis lain dan menganggap gadis ceria itu hanyalah seorang sahabat karibnya.
Apa yang ditakuti Sang Krayon menjadi kenyataan. Tindakan fatal yang diambilnya benar-benar membunuhnya. Sang gadis tetap menujukkan keceriaannya, namun bukanlah ceria yang natural, tetapi ceria layaknya hanyalah sebuah warna yang diberikan oleh krayon yang telah patah.Â
Sang gadis kini tidak lagi dijuluki sebagai Sang Krayon, namun Broken Crayon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H