Tanpa disadari, perasaan sukanya itu berevolusi menjadi rasa cinta yang mendalam. Sayangnya, Sang Krayon belum berani menyampaikan perasaannya, ia takut tindakannya itu merusak persahabatan mereka.
Rasa takutnya itu berevolusi menjadi anak panah yang siap menembak tuannya. Sang Krayon menjadi mudah cemburu terhadap perempuan-perempuan lain yang mendekati lelaki bola itu. Semakin hari anak panah itu semakin ditarik lebih kuat kebelakang dan siap meluncur.
Sang Krayon tidak ingin merasa semakin tersiksa oleh perasaan yang tidak tersampaikan itu. Ia memberanikan diri dan merencanakan untuk menyampaikan perasaannya.
Anak panah melesat tanpa gagal menembaki tuannya. Siapa sangka Krayon akan patah, patah karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Lelaki bola itu menolak perasaan gadis ceria itu, ia mengakui bahwa ia menyukai gadis lain dan menganggap gadis ceria itu hanyalah seorang sahabat karibnya.
Apa yang ditakuti Sang Krayon menjadi kenyataan. Tindakan fatal yang diambilnya benar-benar membunuhnya. Sang gadis tetap menujukkan keceriaannya, namun bukanlah ceria yang natural, tetapi ceria layaknya hanyalah sebuah warna yang diberikan oleh krayon yang telah patah.Â
Sang gadis kini tidak lagi dijuluki sebagai Sang Krayon, namun Broken Crayon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H