Mohon tunggu...
Meliya Jayanti
Meliya Jayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi. Aktif dalam Organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melawan Lebel Strawberry Generation, Pemahaman dari Seminar "Memecah Stereotip Strawberry Generation"

30 Januari 2025   12:00 Diperbarui: 30 Januari 2025   15:11 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mental Health Campaign pada Rabu 22/01/2025, di Universitas Muhammadiyah Jakarta ( Sumber : Pribadi )

Rabu, 24 Januari 2025, Mahasiswa Semester 5 prodi ilmu komunikasi konsentrasi public relations (PR) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) menunjukkan kepeduliannya terhadap isu sosial dengan mengadakan beyond labels kesehatan mental bertema "Memecah Stereotip Strawberry Generation". Kegiatan ini bertujuan untuk meluruskan stigma negatif yang kerap melekat pada generasi muda khususnya Generasi Z yang sering dijuluki sebagai strawberry generation. Melihat bagaimana sudut pandang yang lebih terbuka yang dapat membuka Strawberry Generation mengungkap potensi luar biasa dalam dirinya.

Istilah "Strawberry Generation" sering digunakan untuk menggambarkan generasi muda yang dianggap rapuh, tidak tahan tekanan, dan mudah menyerah. Stigma ini sering kali menciptakan stereotip negatif yang merugikan sehingga para mahasiswa FISIP UMJ merasa perlu untuk mematahkan anggapan tersebut bahwa stereotip tersebut tidak sepenuhnya benar melalui kegiatan edukatif dan inspiratif.

Kegiatan ini berlangsung di Aula Kasman Singodimedjo, FISIP UMJ. Kegiatan menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi, yaitu Ibu Velda Ardia, S.I.Kom., M.Si. Dosen Mata kuliah Ilmu Kmunikasi FISIP UMJ dan Kak Safitri Herra, S.Pd. Sebagai pemateri yang membahas dan menggali berbagai stereotip dari berbagai bidang dan cara mengatasi Strawberry Generation.

Ibu Velda Ardia pada sesi awal membahas teori psikologi komunikasi dan membahas sedikit tentang Strawberry Generation. Teori menurut George A. Miller, didefinisikan sebagai "ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral (perilaku) dalam komunikasi, mengenai ruang lingkup psikologi komunikasi 4:

  • Persepsi Komunikasi: Persepsi adalah proses bagaimana seseorang menerima, menafsirkan, dan memahami pesan dalam komunikasi.
  • Emosi dalam Komunikasi: Emosi memainkan peran penting dalam komunikasi, karena dapat memengaruhi cara seseorang menyampaikan dan menerima pesan
  • Motivasi dalam Berkomunikasi: Motivasi adalah dorongan internal yang memengaruhi mengapa seseorang berkomunikasi.
  • Komunikasi Interpersonal: Komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi, perasaan, atau gagasan antara dua orang atau lebih dalam hubungan yang bersifat langsung dan pribadi, baik secara verbal maupun nonverbal.

Ibu Velda Ardia membahas buku berjudul Strawberry Generation karya Prof. Rhenald Kasali yang membahas generasi z digambarkan dengan banyak ide-ide segar, inovatif dan kreativitas yang tinggi tetapi generasi z dinilai mudah menyerah, sensitif, egois, serta pesimis.

Kak Safitri Herra menjelaskan inti dari kegiatan dan membahas awal mula hadirnya lebel ini yaitu " Strawberry Generation adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan generasi muda khususnya Generasi Z yang sering dianggap tidak tahan banting atau terlalu rapuh seperti buah stroberi yang mudah rusak. Istilah ini mulai populer di negara-negara Asia seperti Taiwan pada akhir abad ke-20 antara tahun 1997 hingga 2012 dan telah menyebar ke beberapa negara lainnya salah satunya indonesia. Konsep ini mengacu pada pandangan bahwa generasi muda saat ini cenderung lebih sensitif, emosional, dan kurang mampu menghadapi tekanan atau kesulitan dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Tapi, benarkah anggapan tersebut? Yuk, kita bahas lebih lanjut tentang generasi stroberi dalam artikel berikut

Buah Strawberry ( Sumber : Pinterst )
Buah Strawberry ( Sumber : Pinterst )

Strawberry Generation atau Generasi Stroberi, generasi ini dianggap rentan seperti buah stroberi yang mengambarkan bagaimana generasi muda khususnya gen z dianggap lebih sensitif dan mudah terpengaruh oleh masalah emosional dan mental. Merepresentasikan buah stroberi yang indah memiliki kulit tipis dan lembut mudah rusak ketika terkena benturan atau tekanan. hal ini dijadikan gambaran untuk menggambarkan karakteristik generasi z. Alasan buah stroberi digunakan sebagai perumpamaan fenomena ini karena memiliki tampilan yang menarik, rasa yang segar, dan harganya yang tidak murah. Hal ini dianggap mewakili generasi z secara statistik tumbuh dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya. Seperti halnya stroberi yang kini banyak dibudidayakan dengan teknologi canggih seperti rumah kaca, sesuatu yang tidak tersedia pada masa lalu.

Dalam pendapat beberapa orang strawberry Generation, mereka dinilai lebih cepat merasakan stres atau kecemasan, lebih mudah merasa terluka secara emosional atau cengeng mudah menangis, dan cenderung mengalami kesulitan untuk mengatasi masalah atau tantangan hidup. Beberapa penyebab yang sering dikaitkan dengan persepsi yaitu :

  • Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh orang tua yang sering kali memanjakan gaya hidup materi dan melindungi anak-anak mereka dari masalah atau risiko dapat memperburuk stereotip Strawberry Generation. Banyak orang tua yang dengan niat baik mencoba untuk memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka, sering kali dengan memberi segala sesuatu yang diinginkan secara materi dan menghindarkan mereka dari rasa sakit atau kegagalan. Hal ini menciptakan ketergantungan pada orang tua yang akhirnya membuat generasi Z tidak terbiasa menghadapi masalah atau tantangan secara mandiri. Ketika dihadapkan pada kesulitan hidup atau tekanan sosial mereka mungkin merasa kebingungan karena tidak memiliki pengalaman dalam mengatasi masalah tersebut tanpa bantuan dari orang lain. Pola asuh yang terlalu protektif juga bisa mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengembangkan ketahanan mental dan kemandirian dalam menghadapi tantangan.

  • Kemajuan Teknologi

Kemajuan teknologi memungkinkan segala sesuatu menjadi lebih cepat dan mudah diakses. Generasi Z tumbuh dengan akses yang lebih mudah, terbiasa dengan kehidupan yang serba instan, seperti belanja online, belajar online, dan aplikasi yang memberikan jawaban cepat seperti google dan AI. Membuat ketergantungan pada teknologi dan mengurangi keterampilan untuk menyelesaikan masalah secara mandiri, bisa dikatakan generasi z tidak terbiasa dengan tantangan fisik atau emosional yang lebih berat.

Selain kemudahan akses, perkembangan teknologi juga membuat generasi Z lebih terbiasa dengan ekspektasi yang serba cepat dan instan. Akibatnya, mereka kurang terbiasa dengan proses yang panjang dan berliku. Pola pikir ini bisa membuat mereka lebih mudah merasa frustasi ketika menghadapi tantangan yang memerlukan waktu lama untuk diselesaikan. Mereka juga cenderung mencari solusi instan dari pada mencoba memahami akar masalahnya secara mendalam.

  • Tekanan Sosial Media

Mereka seringkali lebih terpapar pada masalah sosial dan dunia luar yang dapat menyebabkan kecemasan meliputi meningkatnya tekanan sosial yang berasal dari media sosial, ekspektasi tinggi dalam pendidikan dan pekerjaan, serta ketidakpastian ekonomi yang mendorong banyak generasi z merasa terjebak dalam situasi. Dimana Media sosial brending semua orang agar selalu terlihat "sempurna", yang membuat generesi z berkonsentrasi pada penampilan dari pada kekuatan mental atau karakter. Hal ini dapat menyebabkan tekanan mental seperti stres, kecemasan, dan perasaan tidak cukup baik.

Tidak hanya tekanan sosial media, generasi Z juga menghadapi tantangan dari perubahan tren gaya hidup yang menuntut mereka untuk selalu "up-to-date" agar tetap relevan di lingkungan sosial mereka. Budaya kompetitif yang semakin meningkat di dunia pendidikan dan pekerjaan menciptakan tekanan ekstra yang dapat berdampak pada kesehatan mental mereka. Standar kesuksesan yang terus berkembang sering kali membuat mereka merasa tidak pernah cukup baik, sehingga meningkatkan risiko stres dan kecemasan.

  • Perubahan Nilai dan Budaya

Nilai-nilai tradisional seperti disiplin, kerja keras, dan ketahanan mental cenderung tergeser oleh fokus pada kenyamanan dan kebebasan. Generasi z lebih mengutamakan keseimbangan hidup dan pengalaman pribadi dibandingkan bekerja keras seperti generasi sebelumnya. Generasi z menghindari pekerjaan yang terlalu menyita waktu atau membebani dan lebih mengutamakan fleksibilitas dalam menjalani karier atau pendidikan. Hal ini bertujuan agar mereka memiliki cukup waktu untuk mengejar passion, hobi, atau kumpul bersama keluarga, teman teman, pasangan yang dianggap penting untuk kebahagiaan mereka. Generasi z dianggap tidak memiliki semangat kompetisi atau daya juang yang tinggi karena fokus mereka lebih ke aspek kebahagiaan daripada pencapaian besar, alasan mengapa Generasi Z sering dicap sebagai generasi yang lebih lemah.

  • Fokus pada Mental Health

Generasi Z lebih terbuka dalam membicarakan masalah kesehatan mental, mengungkapkan masalah emosional dan mental yang mereka hadapi. Mereka lebih cenderung untuk mencari bantuan ketika merasa kesulitan dan tidak malu untuk berbicara tentang kesehatan mental mereka, yang sering kali dianggap sebagai tanda kelemahan atau ketidakmampuan untuk mengelola stres oleh generasi sebelumnya. Generasi Z sering dianggap lebih mudah rapuh dalam menghadapi stres dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang cenderung lebih tangguh atau kebal terhadap tantangan hidup.

Namun penting untuk dipahami bahwa kesadaran akan kesehatan mental bukan berarti generasi ini lebih lemah. Justru mereka lebih peka terhadap kesejahteraan emosional dan berusaha mencari solusi yang sehat untuk mengatasi tekanan. Perubahan paradigma ini sering kali bertentangan dengan cara pandang generasi sebelumnya yang lebih cenderung mengabaikan atau menekan masalah emosional demi terlihat kuat. Meskipun banyak orang melihat Generasi Z sebagai generasi yang rapuh, cengeng dan terlalu nyaman dengan kehidupan yang mudah, banyak dari mereka yang sedang berusaha membuktikan bahwa label "Strawberry Generation" tidaklah benar. Untuk melawan stereotip ini, ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh generasi z:

  • Memperkuat Pertahanan Mental dan Mengelola Emosi

Belajar membangun ketahanan mental, belajar dari kegagalan, mengelola kecemasan, dan memperlihatkan bahwa kita mampu menghadapi tantangan hidup dengan cara yang positif. Mulailah menghadapi masalah secara langsung tanpa lari dari kesulitan. Misalnya berlatih menghadapi kegagalan atau berani keluar dari zona nyaman menunjukkan bahwa generasi Z juga mampu bertahan dalam kondisi yang sulit. 

Selain membangun ketahanan mental, generasi Z juga perlu mengembangkan kecerdasan emosional agar lebih tangguh dalam menghadapi tekanan sosial dan profesional. Kemampuan mengelola emosi, beradaptasi dengan situasi sulit, serta tetap tenang di bawah tekanan adalah keterampilan penting yang dapat membantu mereka menghadapi tantangan hidup dengan lebih percaya diri. Dengan meningkatkan kecerdasan emosional mereka bisa membuktikan bahwa kelembutan bukanlah kelemahan, tetapi justru kekuatan yang memungkinkan mereka tetap berpikir jernih di situasi sulit.

  • Mulai Berani Untuk Mengambil Keputusan

Belajar mengambil tanggung jawab untuk membuat keputusan sendiri dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut. Hal ini akan mengembangkan rasa tanggung jawab dan keberanian. Penting juga untuk membangun rasa percaya diri dengan meyakini bahwa kita memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat meski terkadang tidak ada pilihan yang sempurna. Keberanian untuk mengambil tanggung jawab atas keputusan akan menunjukkan bahwa gen z mampu berdiri di atas kaki sendiri. 

Selain itu, generasi Z juga harus berani mengambil risiko dan menghadapi ketidakpastian. Alih-alih mencari zona nyaman, mereka bisa mulai mencoba hal-hal baru yang menantang baik dalam dunia akademik, profesional, maupun kehidupan pribadi. Dengan menunjukkan keberanian dalam menghadapi tantangan mereka dapat menghilangkan stigma bahwa mereka terlalu takut gagal atau tidak siap menghadapi realitas dunia kerja dan kehidupan sosial.

  • Memanfaatkan Teknologi

Belajar memanfaatkan kemampuan teknologi dengan menciptakan konten yang menarik dan relevan dari platform seperti media sosial di mana ide-ide segar dan inovatif. menciptakan hiburan tetapi juga memberikan edukasi, motivasi, dan bahkan menyebarkan kesadaran sosial melalui konten untuk mendukung kampanye sosial seperti conten creator atau influancer, mempromosikan literasi digital, atau bahkan mengembangkan bisnis berbasis kreativitas maupun digital. Dengan menunjukkan bahwa kreativitas ini bukan hanya sekadar hiburan tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat, generasi Z bisa menggugurkan pandangan bahwa mereka pemalas justru generasi z membuktikan bahwa generasi yang kreatif dalam dunia teknologi digital. 

Mereka juga bisa memanfaatkan peluang digital untuk membangun personal branding yang kuat, menunjukkan kompetensi dan dedikasi mereka dalam berbagai bidang. Dengan memanfaatkan media sosial dan platform digital secara positif, generasi Z dapat memperlihatkan bahwa mereka tidak hanya aktif dalam tren sosial tetapi juga produktif dan berkontribusi dalam berbagai sektor.

  • Berpartisipasi pada aksi sosial dan lingkungan

Berpartisipasi dalam aksi sosial, lingkungan atau gerakan positif lainnya, mereka tidak hanya memperjuangkan hak mereka sendiri, tetapi juga kebaikan bersama. Ini menjadi bukti bahwa generasi Z memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap masa depan dunia dan siap berkontribusi untuk mencapainya.

Pada akhirnya yang perlu dipahami adalah bahwa setiap generasi memiliki tantangan dan keunggulannya masing-masing. Jika generasi sebelumnya lebih dikenal dengan ketahanan fisik dan mentalnya maka generasi Z memiliki keunggulan dalam berpikir kritis, kreativitas, dan adaptasi terhadap perubahan zaman. Melalui kombinasi antara ketahanan mental, keterampilan sosial, serta pemanfaatan teknologi yang tepat, generasi Z dapat membuktikan bahwa mereka bukanlah generasi yang lemah melainkan generasi yang siap menghadapi dunia dengan cara mereka sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun