Pada suatu rapat evaluasi, akhirnya saya memberanikan diri untuk memberi masukan ke pimpinan, supaya kita sedikit memberikan perhatian pada OB yang sedang hamil ini.
Harapan saya hanya supaya para staf meringankan tugasnya, kalau sekedar antar berkas di lantai yang sama, bisa dilakukan sendiri, dan menitip beli makanan hanya saat jam makan (terkadang suka ada yang membeli cemilan atau lapar lagi diluar jam istirahat). Serta kalau bisa tempatnya sama dengan yang lain, atau setidaknya searah. Jadi dia tidak terlalu banyak berjalan jauh.
Di dalam rapat, saran saya disetujui.
Tapi setelah rapat ada 3 orang protes pada saya. Katanya memang begitulah tugas OB. Juga bahwa hamil itu biasa saja, tak perlu dispesialkan, OB yang lain juga ada yang hamil tetap tugas seperti biasa.Â
Mereka juga protes karena tidak bisa bebas memilih makanan dengan bebas karena belum tentu satu selera dengan pegawai yang lain. Uniknya yang protes ini ketiganya wanita. Hehehe...
"Tidak semua hamil itu mudah Bu. Ada kalanya hamilnya rewel, sering pusing, mabuk dan lemas. Ni Mbak OB keringetan terus dan pucet." Jawabku.
Hari berganti, saya lihat beberapa orang masih berperilaku sama. OB saya pun masih sering berkeringat dan pucat. Sesekali aku mengingatkannya untuk banyak minum dan istirahat dulu kalau tidak kuat.
Suatu hari dia tidak masuk."Biar lah saja dia tak masuk. Itu lebih baik daripada memaksakan bekerja seperti ini", batinku. Tapi kemudian ada pesan di grup. Dia mengabarkan bahwa dia mengalami keguguran.
Ya ini kisah nyata. Bukan karangan saya. OB itu mengundurkan diri kemudian. Padahal saya yakin dia masih membutuhkan pekerjaan ini.
OB kami kemudian diganti pria. Kerjaannya sama saja. Bahkan kurasa makin berat. "Tapi tak apa dia kan lelaki." Mungkin itu pikir para pegawai.
Menurut saya kita sebaiknya juga lebih memahami dan memiliki empati kepada para OB. Memang itu tugas mereka, tapi bukan berarti kita bisa menyuruh mereka melakukan apa saja kapan saja.