Lemburku tiap hari juga tak ada guna. Beberapa kali aku ditinggalkan menyelesaikan sendiri. Pernah jam sepuluh malam aku baru selesai dari ruang pimpinan ruanganku sudah kosong. OB pun sudah pulang.
Hampir tiap hari aku kelabakan membagi waktu rapat, dan menyelesaikan pekerjaan. Mungkin ini yang disebut burnout.
Suamiku, dia yang mendengarkanku setiap hari. Padahal kala itu pun kantornya sedang kurang nyaman baginya. Dia yang dengan tegas menyadarkanku. Nggak usah masuk! Selama kurang lebih 5 hari dia minta  aku menenangkan pikiran.Â
Puluhan pesan masuk ke poselku setiap hari. Â Hari pertama 52 orang dan grup menghubungiku. Aku ingat sekali, aku menghitungnya. Berangsur turun hari ke 5 tinggal 20 an orang. Aku pun kaget ternyata sebanyak itu yang aku urusi tiap hari.
Tak ada yang benar-benar perduli dengan kesehatanku. Mereka hanya peduli pada tugas ini dan itu. Laporan ini dan itu. Serta daftar rapat.Â
Suamiku bilang. "Kamu Istri aku. Aku perduli sama kamu. Kamu berhenti dari kantor. Aku mohon kamu percaya sama aku. Aku tanggung semuanya. Gimanapun caranya!"
Adegan film apa ini.. Bukan... ternyata ini bukan adegan film.
Tidak mudah bagi saya mengambil keputusan itu. Kami sedang mengambil rumah baru. Pun deretan furnitur lengkap  sudah kami pesan melalui jasa interior. Sebagian memang sudah dibayar namun, tentu ini bukan hal kecil. Suamiku tak akan mampu sendirian. Tapi nyatanya dia berani mengambil tantangan berat itu.
"Nggak usah kamu pikir gimana caranya. Nanti aku yang pikir" katanya.
Selama 5 hari dia  dia sering mengajakku jalan-jalan, makan malam sesuai apapun yang aku inginkan. Dia mengajakku ke coffee shop hanya untuk mendengarku menangis panjang lebar. Padahal badanku pun demam. Tapi dia tahu, aku demam bukan karena sakit fisik. Tapi karena sakit pikiranku.
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, aku mengambil cuti tanpa gaji selama 2 tahun. Aku juga memiliki masalah kesehatan hingga akhirnya aku bisa mengambil cuti sepanjang ini.Â