Mohon tunggu...
Melina
Melina Mohon Tunggu... Lainnya - Teknisi Pangan

Menulis untuk sharing, karena sharing is caring.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Migrasi ke Metaverse, Lakoni Laundry NFT

16 Januari 2022   07:32 Diperbarui: 16 Januari 2022   07:35 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tren metaverse dan NFT sudah kian menjamur dimana-mana. Belum lama ini Indonesia dihebohkan oleh Ghozali lantaran ia menjual foto selfienya sebagai NFT dan dihargai 3 juta dollar AS.

Artis-artis Indonesia pun tak mau ketinggalan dengan tren NFT ini! 

Syahrini sudah menciptakan avatar game berhijab pertama di dunia dan dijual sebagai NFT. Lalu, ada pasangan penyanyi Anang Hermansyah dan Ashanty yang akan meluncurkan token ASIX.

Tapi apasih sebenarnya NFT itu?

NFT atau Non-Fungible Token sebenarnya adalah sertifikat yang menandakan autentikasi bahwa digital art yang telah kamu beli adalah digital art yang asli.

Berbeda dengan dunia nyata, memang tidak dapat dipungkiri kalau seni yang beredar di dunia digital tidak dapat kamu ketahui keasliannya. Sampai kapan pun kalian tidak akan bisa membedakan apakah itu file yang asli pertama kali dibuat oleh sang pencipta karya seni atau bukan?

Akan tetapi, NFT di sini memberikan cara bagi kalian untuk membuktikan keaslian karya seni digital tersebut.

Sayangnya, hal ini berdampak pada perubahan nilai seni dari digital art tersebut. Yang dulu nilai seni itu bisa berbeda-beda untuk setiap orang yang menikmatinya, tapi sekarang nilainya terletak pada sertifikat yang sudah dipatok. Bukan lagi di karya seni itu sendiri.

Sehingga persoalan NFT dan nilai seni ini menuai perdebatan bagi sesama rekan seniman. Ada yang pro untuk menjual seni sebagai NFT dan banyak juga yang kontra. Setiap kubu menyuarakan pendapat masing-masing melalui kicauan mereka di Twitter.

Terutama tahun lalu.

Saya sering menemukan seruan dan ajakan untuk tidak mengindahkan NFT, baik di lini masa Twitter maupun melalui layanan live podcast Space di Twitter.

Lalu tahun ini.

Bahkan BTS pun tidak bisa terhindar dari kritikan pedas dan ancaman boykot karena rencanannya untuk menjual NFT.

Kami semua mencintai BTS, tetapi merusak lingkungan dengan cara apa pun bukanlah cara kami ingin mendukung mereka” 

Begitulah ujaran Mel Palmer, seorang penggemar BTS berusia 31 tahun dari Philadelphia yang dilansir dari The Korea Economic Daily.

Alasan untuk tidak setuju dengan NFT

Menurut mereka (kaum anti-NFT), NFT hanyalah alat para kaum kapitalis. Belum lagi, NFT turut menyumbang peran dalam pemanasan global. (Baca juga: Uang Kripto, Metaverse, dan Pemanasan Global)

NFT dan kapitalisme telah mengubah lika-liku dunia seni, termasuk perubahan paham pada seniman itu sendiri terhadap suatu karya seni. Memberikan kesan, seniman zaman sekarang lebih mementingkan pendapatan dan bukan menciptakan karya karena itu suatu seni.

Yah meskipun kembali lagi, salah satu tujuan seorang seniman menciptakan karya adalah memang untuk mencari nafkah.

Alhasil, NFT menyebabkan suatu karya seni diperlakukan layaknya sebuah saham. Orang-orang kaya berlomba-lomba membeli NFT, bagaikan suatu hobi.

Sisi Gelap Dunia Seni dan NFT

“Pencucian uang untuk menghindari pajak”

Cerita lama yang tiada habisnya dalam dunia seni.

Sedangkan, metaverse dan NFT memberikan peluang untuk hal itu terjadi. Karena transaksi jual beli karya seni dengan rantai perdagangan yang begitu kompleks membuat tindak penghindaran pajak menjadi semakin sulit terlacak.

Lihat saja Amerika,

Pada tanggal 17 Oktober 2021, UU Anti Pencucian Uang Tahun 2020 diberlakukan di Amerika Serikat. Harapannya agar pasar seni menjadi lebih teregulasi dan mejadi lebih transparan.

Menariknya adalah menjelang UU ini efektif diberlakukan, tingkat penjualan karya seni digital dalam pasar NFT mengalami peningkatan. Seolah-olah kaum penghindar pajak beramai-ramai migrasi ke dunia maya.

Hasil survey penjualan seni di pasar cryptoart tahun 2020-sekarang (Sumber: cryptoart.io).
Hasil survey penjualan seni di pasar cryptoart tahun 2020-sekarang (Sumber: cryptoart.io).

Bukankah ini menjadi sangat praktis? Bisa mencuci uang tanpa meninggalkan jejak, karena medianya DIGITAL ARTS! Ditambah lagi, belum ada yang meregulasi teknologi blockchain.

Ini menjadi agenda bagi Pemerintah Indonesia untuk bisa siap menerima metaverse dengan segala kekurangannya. Semoga kita bisa lebih bijak dalam menyerap teknologi baru ini ke dalam kehidupan kita.

Tulisan ini terinspirasi oleh seniman Cat Graffam.

Sumber: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun