PENDAHULUAN
Al-Qur'an sebagai sumber rujukan utama menempati posisi sentral bagi seluruh disiplin ilmu agama Islam. Kitab suci ini diturunkan dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun lamanya dan menjadi Al-Huda (petunjuk), Al-Bayyinat (penjelas) serta menjadi Al-Furqan (pemisah antara yang haq dan yang bathil). Adanya pengumpulan dan penyusunan Al-Qur'an dalam bentuk seperti masa kini, tidak terjadi dalam satu masa, akan tetapi berlangsung beberapa tahun atas upaya beberapa orang dan berbagai kelompok (Muhammad Imam Asy Syakir & Sandi Pujiansyah, 2006). Cara paling sempurna dalam menjaga Al-Qur'an pada masa Nabi dan sahabat adalah dengan hafalan. Selain dikarenakan masih banyak sahabat yang buta huruf, hafalan orang Arab juga terkenal sangat kuat.
Pemeliharaan Al-Qur'an pada masa Nabi dan sahabat berkembang dengan adanya pencatatan ayat Al-Qur'an yang masih tergolong sangat tradisional, dikarenkan belum tersedianya alat pendukung yang handal. Bahkan, dinilai dari segi teknis alat-alat tulis yang digunakan dalam pencatatan Al-Qur'an pada masa tersebut masih sangat sederhana dan rawan terhadap kerusakan. Tempat menulis tersebut dapat berasal dari pelepah kurma dan tulang-belulang yang gampang lapuk dan patah, tinta yang mudah luntur, dan alat tulis menulis yang masih sangat sederhana (Zainuri AS, 1976).
Seiring perjalanan waktu dalam sejarah, mulai diturunkannya Al-Qur'an hingga wafatnya Rasulullah saw sampai kepada periode Khulafa Al-Rasyidin, masing-masing periode memiliki cara dan metode yang beragam dalam memelihara dan mengumpulkan Al-Qur'an. Dari penggalan di atas, maka pembahasan ini menjadi menarik untuk dikaji, khususnya dalam segi pembahasan aspek Sejarah proses pengumpulan Al-Qur'an pada masa Rasulullah SAW hingga pada masa sahabat.
PEMBAHASAN
- Pengertian Jam'ul Qur'an
  Pengertian Al-Jam'u secara etimologi berasal dari kata dasar - yang memuat arti "mengumpulkan". Kata jam'u juga memuat arti lain "menggabungkan suatu bagian ke bagian yang lain" (damma ba'duh ila ba'dih). Sedangkan, Al-Qur'an secara etimologi merupakan bentuk masdar 'qaraa' dan secara terminologi dipahami sebagai kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW, melalui perantara Jibril, disampaikan secara mutawatir dan sebagai ibadah bagi seseorang yang membacanya (Muhammad, 2020)
  Adapun definisi Jam'ul Qur'an secara terminologi mempunyai berbagai perbedaan  pendapat yang dikemukakan oleh para ulama. Menurut Az-Zarqani, pengertian Jam'ul Qur'an mempunyai dua pemahaman: pertama, memuat makna menghafal Al-Qur'an dalam hati manusia. Kedua, menuliskan huruf demi huruf ayat Al-Qur'an yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagian besar literatur yang membahas Ulumul Qur'an menggunakan istilah Jam'ul Qur'an untuk merujuk pada arti pengkodifikasian Al-Qur'an.
Istilah pengumpulan Al-Quran mempunyai dua pengertian yang merujuk pada kandungan makna jam'u  Al-Quran (pengumpulan Al-Quran), diantaranya: kata pengumpulan dalam arti penghafalannya di dalam dada atau hati, sehingga orang-orang yang hafal Al-Quran dapat disebut disebut jumma'u Al-Quran atau huffadz Al-Quran. Adapun kata pengumpulan dalam arti penulisannya, yakni perhimpunan seluruh Al-Quran dalam bentuk tulisan, yang memisahkan masing-masing ayat serta surah, atau hanya mengatur susunan ayat Al-Quran dan mengatur susunan semua ayat dan surah dalam beberapa shahifah yang kemudian disatukan sehingga menjadi suatu koleksi yang merangkum surah-surah yang telah disusun sebelumnya.
- Jam'ul Qur'an Masa Nabi Muhammad SAW Â Wahyu Al-Qur'an yang diterima Nabi Muhammad SAW dipelihara dari kemusnahan dengan dua cara, yaitu: pertama, menyimpannya ke dalam dada manusia dengan cara menghafalkannya. Kedua, merekam ayat Al-Qur'an secara tertulis di atas berbagai bahan untuk menulis, diantaranya: pelepah kurma, tulang belulang, dan lain-lain. (Al-Qattan, t.th.) Sehingga, ketika para ulama membahas terkait jam'u Al-Qur'an masa Nabi Muhammad SAW, maka yang dimaksudkan pada ungkapan tersebut adalah pengumpulan wahyu ayat Al-Qur'an yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW melalui cara pengumpulan dalam dada (hafalan) maupun dalam bentuk tulisan, baik bersifat sebagian atau seluruhnya (Irpina et al., 2022).
- Pengumpulan Al-Qur'an dalam Dada (Hafalan) Â Dalam catatan sejarah, semula Al-Qur'an dipelihara dan dikumpulkan dalam ingatan Rasulullah SAW dan para sahabat dengan cara menghafalnya. Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang bersifat ummi (tidak bisa membaca dan menulis), sekaligus sebagai utusan bagi kaumnya yang juga ummi. Hal ini sekaligus menjadi bukti nyata atas kemukjizatan dan keautentikan Al-Qur'an. Latar belakang tradisi masyarakat Arab yang terkenal mempunyai hafalan kuat sangat memungkinkan adanya pemeliharaan Al-Qur'an yang berupa hafalan atau pemeliharaan Al-Qur'an dalam dada manusia. Keadaan mayoritas masyarakat Arab yang mempunyai hafalan kuat mereka manfaatkan untuk menulis berbagai syair, berita dan berbagai karya tulis lainnya. Dalam penerimaan suatu wahyu ayat Al-Qur'an, pengumpulan Al-Qur'an dalam hafalan tersebut diawali dengan cara Rasulullah SAW melafadzkan ayat Al-Qur'an di hadapan para sahabat, kemudian para sahabat diperintahkan untuk mengulangi dan menghafal ayat tersebut. Dalam kondisi tersebut, Nabi Muhammad SAW memegang peran utama sebagai Sayyid Al-uffaz. Para sahabat berlomba-lomba secara antusias untuk menghafal wahyu ayat Al-Qur'an yang diajarkan oleh Nabi Muhammalld SAW. Suatu riwayat telah mengindikasikan bahwa kegiatan para sahabat menghafal dan mempelajari Al-Qur'an setiap pertemuannya sebanyak lima ayat. Sedangkan, terdapat pula riwayat lain yang mengatakan bahwa para sahabat menghafal dan mempelajari Al-Qur'an sebanyak sepuluh ayat setiap pertemuannya.
-    Para sahabat berupaya untuk merenungi ayat Al-Qur'an dan melakukan implementasi terhadap setiap ajaran yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut tercermin dengan cara para sahabat meneruskan pengajaran Nabi Muhammad SAW tersebut kepada istri, anak, keluarga serta keturunan mereka. Hal ini melatarbelakangi awal mula tradisi hifdz (menghafal) hingga berlangsung pada masa sekarang. Banyak hadis telah memuat informasi tentang para sahabat yang terlibat dalam pengumpulan ayat Al-Qur'an dalam dada atau hafalan, diantaranya  Ubay bin Ka'ab (w. 642), Mu'az bin Jabal (w. 639), Zaid bin Sabit, dan Abu Zaid Al-Ansari (w. 15 H.). Selain itu, terdapat pula nama sahabat lain yang juga sering disebut dalam riwayat, diantaranya: Usman bin Affan, Tamim Al-Dar, Abdullah bin Mas'ud, Salim bin Ma'qil, Ubadah bin amit, Abu Ayyub, dan Mu'jam Al-Jariyah. Bahkan, di dalam kitab Al-Itqan disebutkan bahwa lebih dari 20 sahabat  terkenal sebagai penghafal Al-Qur'an.
- Pengumpulan Al-Qur'an dalam Bentuk Tulisan
Al-Quran merupakan kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril selama bertahun-tahun. Atas dasar hal tersebut, ini merupakan suatu keistimewaan tersendiri bagi Nabi Muhammad SAW karena terpilih menjadi utusan Ilahi untuk menyampaikan kepada umatnya. Dengan kurun waktu yang cukup lama dalam penerimaan wahyu tersebut, Allah memelihara Al-Quran dengan memudahkan Nabi membaca, menghafal dan memahaminya setelah itu Nabi membacakan dan menerangkan kepada para sahabat, beliau juga menyuruh para juru tulis untuk menuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Nabi telah berusaha semaksimal mungkin dalam menjaga keontetikan Al-Qur'an, dengan  menjaganya sebagai wirid keseharian. Walaupun kondisi Nabi ummiy (tidak bisa membaca dan menulis) dan umumnya masyarakat zaman tersebut juga tidak bisa membaca dan manulis maka mereka menghafalnya di dada dengan sungguh-sungguh dan pada waktu itu juga, jarang sekali ditemukan alat-alat tulis-menulis, sehingga mereka menjaga kehormatan Al-Qur'an dengan menghafal dan memahaminya atau jika tidak mengetahui maknanya mereka bertanya langsung kepada Nabi Muhammad SAW (Az-Zanjani, 2016)
Tidak bisa dibayangkan jika ayat-ayat yang diturunkan dengan jumlah yang sangat banyak dan dalam jangka waktu yang cukup lama dibiarkan dengan dihafal dalam dada saja. Maka, inisiatif dari para sahabat untuk menuliskan apa yang mereka hafal dari Nabi di atas pelepah kurma, papan, potongan kulit binatang, batu, dan alat tulis lain seadanya. Hal ini dilakukan tanpa adanya perintah dari Nabi, adapun beberapa sahabat yang dipilih sebagai al-kuttab atau juru tulis yaitu; Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Bbin Khattab, Utsman bin 'Affan, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Mu'awiyah, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit . Mereka menulis ayat-ayat Al-Quran ketika turun, kemudian Nabi menunjukan surat dari ayat-ayat yang disampaikan kala itu. Ketika Nabi mendikte, beliau juga memastikan dalam kepenulisan, dan sangat berhati-hati  sampai terlihat tulisannya atas apa yang telah dihafalkan, sehingga masih terjaga keotentikan dari Al-Qur'an tersebut (Shabuni, 1981).
Sekitar kurang lebih enam puluh lima sahabat ditugaskan oleh Nabi
Muhammad saw bertindak sebagai penulis wahyu (al-wahyu al-jaliyy). Mereka adalah Abdullah bin al Arqam, Abban bin Sa'id, Abu Umama, Abu Ayyub al Anshary, Abu Bakar as Sidiq, Abu Hudzaifah, Abu Sufyan, Abu Salamah, Abu Abbas, Ubayy bin Ka'ab Usaid bin al Hudair, Aus, Buraida, Bashir, Tsabit bin Qais, Sa'ad bin Rabi' Hudzaifah, Husain Ja'far bin Abi Thalib, Jahm bin Sa'ad, Suhaim, Hatib, Hanzalah, Huwaiti, Khalid bin Sa'id, Khalid bin Walid, az Zubair bin al Awwam, Zubair bin Arqam, Zaid bin Tsabit, , Sa'ad bin Ubada, Sa'id bin Sa'id, Shurahbil bin Hasna, Thalhah, Amir bin Fuhaira, Abbas, Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin Zaid, Abdullah bin Sa'ad, Abdullah bin Abdullah, Abdullah bin Amr, Uqbah al A'la bin Uqbah, Mundhir, Muhajir, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Amr bin al Ash, Muhammad bin Maslamah, Mu'adz bin Jabal, Mu'awiyyah, Mu'aqib bin Mughirah, Yazid bin Abi Sufyan, dan Ma'an bin 'Adi.
Dari banyaknya nama-nama pencatat wahyu atau juru tulis  (kuttab al-wahy) yang terkenal yaitu Zaid bin Tsbit. Beliau adalah seorang yang dalam periode setelah Nabi Saw. wafat terpilih sebagai orang yang dipercayai untuk mengumpulkan Al-Quran. Menurut Ibn Hajar al-'Asqalni, penyebab Zaid dalam dunia penulisan wahyu berada di atas angin dibanding yang lainnya maksudnya dikarenakan beliau termasuk orang yang paling sering menulis wahyu. Zaid sendiri baru masuk Islam setelah Nabi Saw. hijrah ke Madinah. Sebelum Zaid masuk Islam, unit-unit wahyu yang diterima Nabi Saw. di Madinah ditulis oleh Ubay bin Ka'ab. Oleh karenanya, Ubay tercatat sebagai orang yang pertama kali menulis wahyu di Madinah. Sebenarnya Zaid bin Tsbit pun tidak selalu hadir di sisi Nabi Saw. karena terkadang ia bepergian. Karena itulah wahyu di Madinah terkadang dicatat oleh orang lain. Sementara al-Khulafa al Arba'ah (Abu Bakar, Umar, Utsmn dan 'Ali), al-Zubair bin al-Awwm, Khalid bin Sa'd bin al-'Ash bin Umayyah dan saudaranya, Abban bin Sa'd bin al-'Ash bin Umayyah, Hanzhalah bin al-Rabi' alUsayyidi, Mu'aiqib bin Abi Fathimah, Abdullah bin al-Arqm al-Zuhri, Syarhabil bin Hasanah dan Abdullah bin Rawahah tercatat sebagai orang-orang yang menulis Al-Quran secara global (Suparyanto dan Rosad, 2020).